Ua Muhi Sambas Saridam: Dari Suara Hangat Penyiar Radio hingga Tawa Riang Pemain Seni Lengser

Ua Muhi Saridam Sambas, saat berperan sebagai Pemain Lengser.--(foto: dok ua muhi)

Lebak, BantenGate.id – Tidak semua orang mampu menyeimbangkan suara hangat di udara dengan tawa riang di panggung tradisi. Namun, Ua Muhi Sambas Saridam berhasil menjalani keduanya dengan hati lapang dan penuh keikhlasan.

Bacaan Lainnya

Dalam kesehariannya, pria tinggi besar dengan tubuh gembrot ini akrab di telinga pendengar Radio Panorama FM 94,4 MHz di Muara Binuangeun, ujung selatan Banten. Suaranya hangat, santun, sesekali diselipi canda, membuat pendengar merasa seolah ditemani seorang sahabat. Namun, ketika panggung budaya sunda memanggil, sosok yang sama menjelma menjadi pemeran Lengser—tokoh tua bijak penuh kelakar—yang selalu ditunggu kehadirannya.

“Menjadi penyiar radio maupun pemeran Lengser itu bukan dari bangku kuliah. Saya belajar otodidak, menonton lawakan, bertanya ke sesepuh, bahkan mencoba berakting di depan kaca,” kata Ua Muhi di Panorama FM, Sabtu (23/8/2025) sore, sambil melontarkan canda khas yang mencairkan suasana.

Ua Muhi dilahirkan pada Februari 1977 di Kampung Pamalang, pelosok Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak. Perjalanan hidupnya penuh warna. Pernah merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah apotek, kemudian ia  pulang kampung dan bergabung dengan Panorama FM. Tak disangka, kepulangannya justru membuka jalan menuju panggung seni tradisi.

“Ua mah dilahirkeun di barak, digolerkeun dina tangkal awi, diayun handapeun catang, dikolambuan ku kecrik pikeun ngusir reungit, tapi sieun ku kelong,” ujarnya dalam bahasa Sunda dan gelak tawa.

Di kala pulang ke kampung Pamalang, di Cijaku,  Ua Muhi, biasa menggembala kerbau, di tengah hutan, menghirup udara segar.–(foto:dok ua muhi)

Debutnya sebagai Lengser terjadi pada 2018 ketika ia diundang H. Sudirman, gurunya di Kampung Cisarap, yang menikahkan putri tercinta.

“Waktu itu saya dan kawan-kawan ingin memeriahkan hajatan guru tercinta yang telah mengajari kami baca tulis. Niatannya mau nyumbang, tapi dana terbatas. Maklum baru berhenti bekerja. Maka kami sepakat menyumbangkan seni Lengser saja. Saya jadi pemeran Lengser, ada yang jadi dalang, ada juga pamayung,” kenangnya.

Tak dinyana, penampilan itu berhasil mengundang gelak tawa sekaligus kagum dari para tamu. Sejak saat itu, panggilan untuk tampil terus berdatangan, dari hajatan pernikahan hingga penyambutan tamu kehormatan. Meski demikian, dengan rendah hati ia mengaku lebih sering dipanggil saat tuan rumah tak mampu menyewa grup Lengser yang sudah terkenal.

“Ua Muhi, menerima bayaran  seikhlasnya saja dari pemangku hajat.  Tak apa, yang penting tamu senang dan bahagia,” katanya sambil terkekeh.

Saweran  yang Tak Terlupakan

Ua Muhi punya segudang cerita lucu selama menjadi Lengser. Salah satunya ketika ia diminta tampil di Malingping, meski tuan rumah tidak memiliki cukup uang untuk mengundang grup Lengser. Dengan ikhlas, Ua Muhi menyanggupi. Ua Muhi tampil seorang diri, ia hanya ditemani musik gamelan sunda yang diputar dari compact disc. Tak ada dalang, tak ada pamayung, tetapi suasana tetap meriah. Di luar dugaan.

“Eh, banyak tamu undangan yang nyawer. Uang kertas sampai berterbangan. Totalnya Rp2 juta! Itu saweran terbesar yang pernah ua  terima selama jadi Lengser,” kenangnya sambil tertawa lepas.

Sebagai anak kedua dari lima bersaudara, Ua Muhi memegang satu prinsip: ikhlas. Di balik mikrofon, ia menyapa pendengar dengan hangat. Di panggung, ia menjelma menjadi Lengser yang menghadirkan tawa sekaligus makna.

“Jadi penyiar harus bisa menghibur dan memberi informasi bermanfaat. Jadi Lengser pun sama, harus membuat acara meriah dan penuh tawa,” katanya lugas.

Bagi Ua Muhi, menjadi Lengser bukan hanya soal hiburan. Dalam tradisi Sunda, Lengser melambangkan pemimpin bijak yang rela turun tahta dengan terhormat. Saat tampil, ia diiringi pamayung, simbol perlindungan dan kehormatan, serta dipandu dalang yang memberi wejangan dan arah hidup.

Filosofi itu diam-diam ia jalani dalam setiap penampilannya. Lengser bukan sekadar peran, melainkan pengingat tentang kerendahan hati, kebijaksanaan, dan bagaimana pemimpin sejati seharusnya hadir bagi rakyatnya.

Kini, Ua Muhi menjadi jembatan unik di tengah derasnya arus modernisasi. Dari studio radio, ia menyapa dengan suara menenangkan. Dari panggung tradisi, ia menghadirkan tawa sekaligus melestarikan budaya. Dua dunia berbeda, tetapi sama-sama membawa kebahagiaan.

Saat ditanya, lebih senang jadi penyiar atau pemeran Lengser? Dua-duanya. Selama bisa memberi manfaat dan menghibur orang, itu yang paling utama,” tutup Ua Muhi sambil merapikan rambutnya yang terurai pajang.--(dimas)

Pos terkait