Menginap di Bobocabin Sukawana: Tidur Nyenyak di Tengah Hamparan Kebun Teh

Diantara tumbuhan teh, di Bobocabin, Sukawana.--(foto: dok

Oleh: Apt.Putri Permata Sari, S.Farm

(Catatan Perjalanan )

 

Bacaan Lainnya

BANDUNG selalu punya cara untuk merangkul setiap tamu. Kali ini, langkah membawaku ke kawasan Parongpong, tepatnya ke Kebun Teh Sukawana. Disana aku  bermalam di Bobocabin, diantara hamparan hijau teh yang menutupi lereng pegunungan Tatar Parahyangan bagai permadani raksasa yang terbentang tanpa ujung.

Di tengah keindahan  bukit itu berdiri deretan Bobocabin Sukawana—sebanyak 36 unit kabin modern yang menawarkan kenyamanan untuk penginapan di tengah kesunyian alam. Bobocabin bukan sekadar tempat tidur di tengah hamparan kebun teh; ia adalah ruang jeda bagi pikiran.

Kebun Teh Sukawana sendiri bukanlah kebun teh biasa. Ia adalah kanvas hidup yang telah melintasi lebih dari seabad, dari masa kolonial Belanda hingga era modern. Suasana alam, keheningan, intensitas cahaya pagi dan senja—semuanya menciptakan ruang untuk mendengar diri sendiri, merawat rindu yang sering terkubur oleh riuh kota.

Kebun Teh Sukawana mulai dibuka pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1900-an, saat pemerintah kolonial Belanda gencar membuka perkebunan teh di dataran tinggi Priangan. Tanah vulkanik subur, curah hujan melimpah, dan udara pegunungan yang sejuk menjadi alasan kawasan ini dipilih.

Dulu, kebun ini dikenal dengan nama Sukawana Tea Estate. Hasil panennya sebagian besar diekspor ke Eropa melalui pelabuhan Batavia hingga Rotterdam. Teh dari lereng Sukawana dipandang sebagai teh pilihan: harum, kuat, dan mewakili reputasi teh tanah Jawa Barat di kancah dunia.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan kebun beralih ke tangan bangsa sendiri. Awalnya melalui Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), lalu berganti menjadi PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). Meski melewati pergantian era dan nama, kualitas teh Sukawana tetap terjaga. Hingga kini, pemetik teh masih menggunakan cara tradisional “dua daun satu pucuk” untuk menjaga cita rasa khas, menjadikannya tetap sebagai komoditas ekspor.

Perjalanan Menuju Sukawana

Perjalananku pada hari Kamis  (11/9/2025) sore. Dari pusat Kota Bandung, saya melalui route jalur Sersan Bajuri–Ledeng. Saya tidak melalui jalur ke Lembang, karena menghindari jalanan macet. Saat memasuki Jalur Sersan Bajuri, jalanan mulai menanjak dan berkelok. Di kiri dan kanan sepanjang jalur ini, banyak penduduk yang menjual aneka tanaman hias. Setelah melewati perempatan, beberapa saat kemudian saya berbelok kanan menuju jalan perkebunan. Saat memasuki areal jalan perkebunan, aspal terkelupas, kerikil berserakan. Namun tetap indah dan menyenangkan. Suasana sunyi mengiringi setiap tikungan, seakan menyambutku memasuki wilayah yang berbeda.

Kendaraan yang kutumpangi—kuda besi Jepang—melaju perlahan, dengan kecepatan sekira 5 km per jam. Bukan karena tak sanggup menanjak, melainkan aku sengaja menahan laju. Ingin menikmati panorama kiri-kanan: hamparan teh hijau yang tertata rapi, lembah-pegunungan yang memeluknya, udara yang kian menusuk tapi tetap mengundang. Dalam perjalanan, saya beberapa kali berpapasan dengan iringan jeef landrover, yang nampaknya sudah melakukan tracking off road ke puncak pegunungan.

Hampir setengah jam perjalanan, akhirnya aku tiba di area Bobocabin Sukawana. Begitu turun, terasa seolah memasuki dunia terpisah dari hiruk pikuk kota—udara bisa dihirup lebih dalam, dan bunyi alam jadi orkestra utama.

Senja di Kebun Teh, Saat Cahaya dan Bayangan Bermain
Penginapan Bobocabin, di kebun Teh Sukawana, diantara pohon teh yang tumbuh subur dan udara sejuk.–(foto:dok)

Senja itu di area Kebun The Sukawana, langit memancarkan warna oranye lembut, sinar terakhir matahari menembus pucuk daun teh, memantulkan kilau keemasan. Aroma tanah sedikit basah berpadu dengan wangi daun teh, menghadirkan pengalaman bukan sekadar visual, tapi juga inderawi.

Tak berselang lama, saat malam mulai merambat. Lampu-lampu di sepanjang spot jalan yang dicor di sekitar penginapan bobocabin, menyala satu per satu. Dari kejauhan, tampak bagai ribuan kunang-kunang menebar cahaya di lereng. Tak ada deru mesin berat; hanya sesekali gesekan roda kendaraan tamu yang melintas di bawah cabin, bersaing lembut dengan desir angin pegunungan. Selimut jadi pelukan hangat, sementara suara burung malam dan jangkrik melapisi keheningan.

Malam itu, terasa dengan tenang. Suhu menunjukkan 22°C, cukup dingin untuk membuat selimut jadi sahabat terbaik. Aku memilih memutar lagu-lagu nostalgia dari perangkat audio di penginapan bobocabin, sambil menatap keluar melalui pintu kaca. Tidak ada suara mesin, tidak ada kebisingan. Hanya denting musik lembut, berpadu dengan desir angin.

Menginap di Bobocabin Sukawana bukan sekadar beristirahat; ini adalah perjalanan pulang ke alam, sekaligus pulang ke dalam diri sendiri. Suasana perkebunan teh—yang dulu dibangun untuk memenuhi selera bangsawan Eropa—kini memberi jeda bagi siapa saja yang ingin keluar dari rutinitas kota.

Sukawana adalah ruang lintas waktu: menyimpan sejarah kolonial, bertahan dalam era modern, dan kini menjadi panggung wisata berwawasan lingkungan. Di hamparan kebun teh inilah, kita bisa merasakan bagaimana diam bukanlah ketiadaan suara, melainkan sapaan lembut dari masa lalu dan masa kini yang bertemu.

Suasana Fajar yang Menghidupkan

Saat saya terjaga dari tidur pulas, sekitar 05.30 WIB, udara pagi terasa begitu dingin dan sangat segar. Rasanya seperti setiap napas mengisi ruang dada dengan ketenangan. Saya keluar ke balkon kabin, menyeruput teh hangat —dan duduk diam, memandang kaki langit di mana sinar pertama menyentuh gunung-gunung di garis cakrawala.

Burung‐burung saling bersahut-sahutan. Pepohonan di pinggir kebun teh bergerak pelan oleh angin. Jalanan kecil yang tadi malam petang tampak terang lampu malam, kini berganti siluet gelap menerobos kabut. Kabut tipis itu terasa seperti tirai tipis yang membasahi kulit wajahmu, membuat pagi terasa lebih “nyata”.

Di Sukawana, pagi bukan sekadar pergantian waktu. Ia adalah peristiwa. Kabut tipis menggantung di atas kebun, sementara matahari menyelinap pelan di antara pepohonan. Embun di helai teh berkilau bagai ribuan kristal.

Aku berjalan di antara pepohonan teh, dan membiarkan sepatu basah oleh tanah lembap. Udara segar masuk ke paru-paru dengan lega. Burung-burung berkicau, seolah menjadi pemandu wisata alami. Setiap sudut terasa instagramable—tapi lebih dari itu, setiap sudut menghadirkan rasa syukur yang sederhana.–(***)

*). Penulis adalah mahasiswa program pasca sarjana MARS, Universitas Esa Unggul, Jakarta

Pos terkait