Seren Taun Cisungsang: Jejak 671 Tahun Pelestarian Adat Leluhur

Bupati Lebak, Moch. Hasbi Asyidiqi Jayabaya, di acara Seren Taun Masyarakat Adat Cisungsang.--(foto: Kojek/adpim)
Oleh: H Edi Murpik

(Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten)

Bacaan Lainnya

ACARA adat Seren Taun merekam jejak panjang perjalanan masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang yang telah mengakar sejak abad ke-14 silam, jauh sebelum Kesultanan Banten berdiri. Tradisi yang berlangsung di lima kaolotan (kampung adat) di ujung selatan Banten ini menjadi bukti keteguhan masyarakat adat menjaga warisan leluhur.

Ribuan warga adat dari berbagai kasepuhan di Banten Kidul menapaki langkah khidmat menyambut puncak Seren Taun, ritual tahunan yang telah berlangsung sejak 671 tahun silam. Seren Taun bukan sekadar pesta panen, tetapi menjadi jantung kehidupan masyarakat adat Cisungsang. Tradisi turun-temurun ini merupakan wujud syukur kepada Sang Pencipta atas rezeki panen padi, simbol kemakmuran dan keberlanjutan hidup.

Di tengah arus modernisasi, masyarakat adat tetap memegang teguh falsafah papat kalima pancer—ajaran yang menempatkan manusia, alam, leluhur, dan Sang Hyang Tunggal dalam harmoni. Di lapangan balai adat Kasepuhan Cisungsang, Desa Cisungsang, lantunan Seni Rengkong dengan padi di tanggungan terdengar merdu, menambah kesakralan suasana.

Pada acara seren taun, nampak meriah dengan hadirnya Seni Rengkong. Sementara itu, dari pinggiran sawah dan di halaman rumah,  sekelompok kaum perempuan lainnya tak kalah sibuk. Mereka berkumpul di depan lesung, memukul batang kayu panjang dengan irama berulang. Tradisi ini dikenal sebagai gendreh, seni musik tradisional yang hanya muncul pada momen-momen tertentu, seperti panen raya atau upacara adat.

Seren Taun masyarakat adat Cisungsang, acara syukur atas panen padi.–

Hentakan alu dan dentuman lesung menjadi nyanyian gembira, merayakan keberlimpahan hasil bumi. Nada-nada gendreh menggema di antara rumah-rumah warga, menyatu dengan suara alam, dan menjadi pertanda bahwa panen tengah berlangsung dengan meriah.

Sementara, di antara hamparan sawah, kaum lelaki pun memikul peran penting. Setelah padi dipoton secara tradisional ( di etem), mereka mengumpulkan dan mengikatnya dalam satuan yang disebut pocong—ikat padi yang dibungkus tali, bukan dalam makna horor – melainkan sebagai simbol penghormatan terhadap hasil tani.

Mereka memanggul pocongan padi dari sawah ke lantaian untuk dikeringkan, sebelum dimasukan ke dalam lumbung melalui acara ritual. Kaum lelaki begitu cekatan, melintasi pematang dan jalan setapak dengan langkah

Rengkong bukan sekedar alat bantu memanggul padi. Ia adalah warisan budaya masyarakat sunda yang sarat makna dan spiritualitas. Seni Rengkong memiliki irama khas.  Hasil gesekan bambu dan tali ijuk berpadu dalam irama alami yang menggugah suasana sakral dan penuh syukur.

Secara fisik Rengkong terbuat dari potongan bambu kuat yang diikat ijuk. Fungsinya sederhana untuk mempermudah mengangkut padi dari sawah menuju leuit. Kaum lelaki dengan  menggunakan pakaian khas memainkan rengkong dengan cara di goyang sambil menari mengikuti irama alam dan suara bambu yang bergema disepanjang arak-arakan padi.

Keberadaan Rengkong menjadi bukti, bahwa budaya, seni dan syukur berdampingan dalam keseharian masyarakat adat Cisungsang.

Sejarah yang Menembus Abad

Ketika pada 1813 pemerintah kolonial Inggris membentuk Kabupaten Banten Kidul dengan Bupati Raden Tumenggung Suryadilaga, adat Seren Taun di Cisungsang tetap lestari. Para olot (tetua adat) memimpin masyarakat menjaga tatanan hidup, menolak praktik perusakan lingkungan, dan meneguhkan gotong royong sebagai kekuatan komunal. Seren Taun menjadi pengikat batin sekaligus bukti ketangguhan adat di tengah perubahan politik dan pemerintahan.

Dalam prosesi sakral, dua pejabat daerah pernah mendapat kehormatan dinobatkan sebagai olot, gelar adat tertinggi yang melambangkan kearifan dan kepemimpinan moral. Mereka adalah Solihin Gautama Purwanegara, Gubernur Jawa Barat periode 1970–1975, yang dinobatkan sebagai Olot Ka-genep (keenam) pada Seren Taun tahun 1971; dan H. Endang Suwarna, Bupati Lebak periode 1988–2003, yang dianugerahi gelar Olot Katujuh (ketujuh).

Solihin GP—akrab disapa Mang Ihin—sering berkunjung ke Cisungsang semasa menjabat Gubernur. Ia memotivasi masyarakat untuk menanam padi dua kali dalam setahun dan menggagas Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), ajakan menanam pepohonan di kebun, sepanjang jalan, dan di setiap jengkal tanah.

Kedekatannya begitu lekat dengan masyarakat pedesaan, hingga suatu ketika ia absen dalam Seren Taun, masyarakat di lima kaolotan merasa kehilangan. Media Galura/Pikiran Rakyat pernah menulis laporan berjudul:“Kungsi Leungiteun Mang Ihin, Seren Taun di Cisungsang Banten” yang mengisahkan kerinduan masyarakat adat terhadap kehadirannya.

Puncak Perayaan 2025

 

Puncak Seren Taun 2025 berlangsung meriah pada Minggu (29/9/2025) setelah rangkaian kegiatan selama sepekan. Ribuan pengunjung memadati alun-alun adat Cisungsang. Gubernur Banten Andra Soni, Bupati Lebak Moch. Hasbi Asidiqi Jayabaya, pejabat Pemprov Banten, serta perwakilan Kementerian Pariwisata hadir menyaksikan prosesi adat yang sarat makna.

Olot Kasepuhan Cisungsang saat ini, Usep Suyatna SRD, menjadi saksi sekaligus penjaga tradisi lebih dari perjalanan rentang waktu enam abad. Ia adalah putra almarhum Olot Sardani, pemimpin adat yang memegang amanah selama ratusan tahun melalui garis keturunan dan musyawarah adat. Usep kini melanjutkan peran sebagai generasi keenam sejak awal pelaksanaan Seren Taun di perkampungan adat tersebut.

“Seren Taun adalah cara kami mengingat leluhur, menjaga alam, dan mensyukuri panen. Ini bukan hanya pesta, tapi amanah agar anak cucu kami tetap mengenal siapa dirinya dan di mana bumi dipijak,” tutur Usep Suyatna SRD.

Ia menegaskan adat bukanlah warisan mati. “Kami membuka diri kepada siapa saja yang ingin belajar. Pemerintah boleh hadir, wisatawan boleh datang, tetapi pakem adat dan keseimbangan alam harus dihormati,” ujarnya.

Abah Usep menambahkan, Kasepuhan Cisungsang memiliki perangkat adat turun-temurun, di antaranya pagerkolot untuk keamanan, paraji untuk membantu kelahiran, penghulu untuk pernikahan, bengkong untuk khitan, dan pandai sebagai pengrajin golok, cangkul, serta peralatan lain. Wilayah adat Cisungsang mencakup 6.177 hektare yang terdiri atas sepuluh desa, menjadi salah satu dari lima kasepuhan induk di Banten Selatan bersama Bayah, Citorek, Cicarucub, dan Pancer Pangawinan.

Harapan Menjadi Ikon Nasional

Dalam sambutannya, Bupati Lebak Hasbi Jayabaya menyampaikan kebanggaan karena Seren Taun Cisungsang masuk dalam 10 Kharisma Event Nusantara (KEN)—agenda bergengsi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang menempatkan budaya lokal sebagai destinasi unggulan.

“Seren Taun bukan hanya milik Cisungsang, tetapi warisan bangsa yang harus kita jaga bersama,” kata Hasbi.

Sementara, Gubernur Banten Andra Soni menambahkan, tradisi ini merupakan refleksi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus simbol ketahanan pangan. “Pemerintah Provinsi Banten memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada masyarakat adat Cisungsang dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal,” ujarnya.

Pemprov Banten, lanjutnya, juga menyiapkan berbagai program pendukung pariwisata, mulai dari sekolah gratis, dana bantuan desa, Program Bangun Jalan Desa Sejahtera, Jalan Usaha Tani, hingga pemanfaatan potensi alam untuk kesejahteraan masyarakat.

Seiring malam menutup perayaan Seren Taun 2025, lantunan doa dan pentas seni tradisional seperti wayang golek menggema, menegaskan identitas budaya lokal yang mampu menembus batas zaman. Selama 671 tahun, Kasepuhan Cisungsang menjaga harmoni antara tradisi, alam, dan manusia.

Seren Taun bukan hanya sejarah, melainkan pesan masa depan: kemakmuran sejati terletak pada kemampuan manusia menjaga keseimbangan kehidupan. Dari Cisungsang, Banten Kidul, dunia belajar bahwa kearifan leluhur adalah kunci keberlanjutan.—(***)

Pos terkait