Rangkasbitung, BantenGate.id —Repan bukan pemuda biasa. Di usianya yang baru 16 tahun, ia telah menempuh perjalanan hidup yang tak ringan — berjalan kaki ratusan kilometer dari kampungnya di pedalaman Baduy Jero (Baduy Dalam), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, menuju Jakarta untuk mencari napkah dengan cara berjualan madu.
Tanpa alas kaki, tanpa kendaraan, tanpa identitas administratif seperti KTP, karena memang dilarang oleh hukum adat. Dengan semangat dan harga diri seorang anak adat yang teguh, Repan mencoba mencari rezeki halal di tengah hiruk-pikuk kota besar.
Namun, Minggu (26/10/2025) dini hari sekira pukul 03. 00 WIB, perjalanan itu berubah menjadi tragedi. Di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, empat orang tak dikenal menghadangnya. Dengan senjata tajam di tangan, mereka merampok hasil jerih payah berjualan selama berhari-hari. Uang tunai sekitar Rp3 juta, sepuluh botol madu, dan satu ponsel pinjaman, lenyap di bawa kabur perampok dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Repan sempat melawan. Ia menangkis bacokan yang diarahkan ke kepalanya, hingga tangan kirinya terluka parah. Dengan tangan bersimbah darah, Repan tersungkur. Tapi perjuangan hidupnya belum berhenti di situ.
Dalam keadaan lemah, di pagi buta itu, Repan berusaha mencari pertolongan. Ia berjalan tertatih menuju rumah sakit terdekat di kawasan tersebut. Namun, bukannya menerima bantuan, oknum pegawai yang bertugas di rumah sakit justru menolaknya. Alasannya, Repan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Bagi orang lain, mungkin momen itu jadi titik menyerah. Tapi bagi seorang anak Baduy Jero yang terbiasa berjalan di jalan sunyi tanpa alas kaki, menyerah bukan pilihan. Menahan sakit dan darah yang terus menetes, Repan kembali melangkah di gelapnya pagi, menuju kawasan Tanjung Duren, sekitar empat jam perjalanan. Ia ingin menemui seorang kenalan bernama Pak Melo — satu-satunya orang yang dikenalnya di Jakarta.
Tepat pukul 08.00 WIB, Repan tiba di rumah Pak Melo. Tubuhnya lemas, tapi semangatnya tak padam. Repan di bawa Pak Melo ke RS UKRIDA Kebon Jeruk, untuk mendapat pertolongan medis dan bisa selamat dari luka yang nyaris merenggut nyawanya.
Kecaman dari Kepala Desa Kanekes dan Tokoh Adat
Kabar tentang peristiwa perampokan warga Baduy – meski terlambat karena sulit komunikasi terutama nomor kontak yang harus dihubungi di Baduy dari Jakarta ini sontak mengguncang masyarakat adat dan Pemerintah Desa Kanekes.
Peristiwa perampokan yang dialami Repan, untuk kali pertama terjadi. Repan adalah cucu dari Olot Yusi, seorang Puun Cikeusik, Baduy Jero.
Kepala Desa Kanekes (Jaro) Oom, mengecam keras tindakan para pelaku kejahatan, sekaligus menyesalkan sikap rumah sakit yang menolak memberikan pertolongan.
“Kejahatan ini sangat mengerikan. Kami warga Baduy tidak pernah berbuat jahat. Tapi ketika warga kami jadi korban, malah tidak ditolong hanya karena tidak punya KTP,” ujar Jaro Oom dengan nada kecewa saat ditemui di Rangkasbitung, usai pulang dari Jakarta menjenguk Repan, Rabu (5/11/2025) sore.
Ia menegaskan, dalam hukum adat Baduy Dalam, memiliki KTP memang dilarang. Namun dalam situasi darurat, kemanusiaan seharusnya diutamakan.
“Dalam keadaan darurat, apalagi menyangkut nyawa, harusnya ditolong dulu. Siapapun dan dari manapun berasal. Urusan administrasi bisa nanti. Sikap perikemanusiaan itu yang utama,” tegasnya.
Kecaman keras, juga datang dari Ketua Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI), H. Sukanta. Ia menyebut penolakan rumah sakit sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
“Ini jelas tidak manusiawi. Siapa pun korban yang datang dalam kondisi darurat harus segera diberi pertolongan. Nyawa manusia lebih penting daripada administrasi. Apalagi ini warga Baduy yang kita tahu tak memiliki KTP karena adat,” tegas H. Sukanta, Rabu (5/11/2025).
Sukanta juga mendesak Polda Metro Jaya agar segera menangkap para pelaku pembegalan tersebut.
“Ini bukan hanya soal kehilangan harta, tapi juga soal martabat warga Baduy dan masyarakat adat di Banten Kidul,” tegasnya.
SABAKI menaungi masyarakat adat di 4 Kabupaten; Lebak, Pandeglang, Bogor dan Sukabumi.
Repan bukan hanya korban, tapi simbol keteguhan dan kemandirian. Ia cucu dari Puun Cikeusik, tokoh tertinggi adat Baduy Jero, Olot Yusi. Sejak kecil, Repan sudah terbiasa dididik untuk teguh menjaga adat leluhur, sederhana dan di latih untuk hidup mandiri. “Nu panjang teu beunang di teukteuk, nu pondok teu beunang di sambung.“
Untuk membantu keluarga, ia berjalan dari Cikeusik menuju Jakarta — perjalanan yang bisa menempuh lebih dari 120 kilometer sekali jalan atau sekitar 250 kilometer (PP) — demi menjual madu dan tas koja hasil anyaman warga kampungnya.
Hasil penjualannya tidak seberapa. Tapi bagi Repan, setiap rupiah yang diperoleh dari keringat sendiri adalah kehormatan.
Kini, setelah kejadian itu, tubuh Repan masih menyimpan luka. Ia, masih menetap di Jakarta, menunggu pulih bekas luka bacokan senjata tajam dan menunggu aparat berwajib menangkap pelaku.
Namun di balik luka itu, ada kisah keteguhan yang menyentuh nurani: kisah seorang anak masyarakat adat, Baduy Jero, yang bertahan di tengah kerasnya dunia modern — dengan langkah kaki, keberanian, dan keyakinan pada hidup yang sederhana dan jujur.—(red)








