Ketika Sekolah Tak Lagi Jadi Tempat Aman untuk Anak Tumbuh

Oleh: Dimas Permana

(Wartawan Bantengate.id)

Bacaan Lainnya

SEKOLAH  seharusnya menjadi tempat anak tumbuh dengan bahagia, belajar tentang kehidupan, dan menumbuhkan cita-cita. Namun, realitas di lapangan justru memperlihatkan sisi kelam: banyak sekolah berubah menjadi ruang luka akibat maraknya kasus perundungan (bullying) dan kekerasan di kalangan pelajar.

Data terbaru dari SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan & Anak) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, sepanjang tahun 2025 hingga saat ini terdapat 27.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Dari jumlah itu, 23.336 korban adalah perempuan dan 5.791 laki-laki.

Lebih mencemaskan lagi, di lingkungan pendidikan saja, terdapat 586 kasus perundungan hingga September 2025, dan 25 anak di Indonesia dilaporkan mengakhiri hidupnya karena tidak kuat menanggung tekanan sosial maupun kekerasan di sekolah.

Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya karakter, kini sering kali justru melahirkan trauma. Survei pendidikan tahun 2025 menyebut sekitar 15 persen pelajar di Indonesia pernah mengalami bullying, baik secara fisik, verbal, maupun digital.

Bullying bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga menghancurkan rasa percaya diri dan kejiwaan anak. Banyak korban yang akhirnya menarik diri dari pergaulan, kehilangan motivasi belajar, bahkan terjebak dalam depresi. Jika hal ini terus dibiarkan, generasi masa depan kita akan tumbuh dengan luka batin yang dalam — generasi yang sulit percaya pada diri sendiri maupun pada orang lain.

Game Online: Antara Hiburan dan Ancaman

Di era digital seperti sekarang, dunia maya menjadi bagian besar dari kehidupan anak-anak. Namun, game online dan media sosial juga bisa menjadi pintu masuk perilaku agresif dan perundungan digital.

Belum ada data resmi yang mengaitkan game online secara langsung dengan meningkatnya kasus kekerasan di sekolah. Tetapi, banyak kasus menunjukkan bahwa lingkungan digital sering menjadi ruang tanpa pengawasan, tempat di mana ejekan, hinaan, atau kekerasan verbal dianggap hal biasa.

Ketika perilaku di dunia maya dibawa ke dunia nyata, terciptalah budaya kekerasan di kalangan pelajar — yang sering kali dianggap “candaan”. Padahal, bagi korban, luka psikologisnya bisa jauh lebih dalam daripada luka fisik.

Kekerasan terhadap anak dan pelajar bukanlah isu sepele. Ini adalah alarm moral bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jika sekolah gagal menjadi ruang aman, maka masa depan bangsa ikut terancam. Ada empat hal penting yang perlu segera dilakukan bersama: pertama, Sekolah dan guru harus memperkuat program literasi digital dan membangun sistem pengawasan serta intervensi dini terhadap kasus bullying, kedua; Orang tua perlu lebih terlibat, memahami dunia digital anak — mulai dari game yang dimainkan hingga kondisi emosional mereka, ketiga; Pemerintah dan lembaga terkait wajib memperkuat regulasi serta kampanye pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan, dan ke-empat; Pelajar sendiri harus dibekali kemampuan sosial, empati, dan literasi digital agar mampu berinteraksi secara sehat di dunia maya maupun nyata.

Tahun 2025 belum berakhir, tetapi data yang ada sudah cukup menjadi cermin besar bagi bangsa ini. Kekerasan terhadap anak dan pelajar tidak boleh lagi dianggap sebagai “urusan sekolah semata”. Ini adalah tanggung jawab bersama antara pendidik, keluarga, pemerintah, dan masyarakat.

Kita harus memastikan bahwa anak-anak tumbuh dalam suasana aman, dihargai, dan didengarkan — bukan dibungkam oleh ejekan dan kekerasan. Sebab, anak-anak yang tumbuh dalam trauma hari ini bisa menjadi generasi yang menyakiti di masa depan, sementara anak yang tumbuh dalam kasih sayang akan menjadi generasi yang membangun.–(***)

Pos terkait