Oleh: Hayat (AA) Syahida
(Pendiri Padepokan Badai Sagara-Garut)
Di sebuah desa yang sejuk di kaki perbukitan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, nama Mama Sabandar masih hidup dalam bisik angin, dalam langkah para pesilat muda, dalam do,a para peziarah yang datang dari jauh.
Di antara batu nisan tua yang sederhana, terkubur seorang tokoh yang perjalanan hidupnya bukan sekadar sejarah, tetapi sebuah kisah tentang keberanian, pengabdian, dan cinta pada ilmu bela diri: Mama Sabandar, atau Muhammad Kosim — pendekar yang lahir dari istana, namun memilih berpihak pada rakyat.
Mama Sabandar lahir pada 1766 di Pagaruyung, Sumatera Barat, pada masa ketika silat adalah ilmu sakral yang hanya diwariskan kepada darah bangsawan. Ia tumbuh sebagai putra istana yang cerdas, disiplin, dan memiliki bakat luar biasa dalam bela diri. Kemahirannya begitu menonjol hingga ia dipercaya mempelajari inti silat istana — sebuah kehormatan yang hanya diberikan pada sedikit orang.
Namun takdir membawanya pada jalan berbeda. Mama Sabandar memiliki pandangan yang melampaui zamannya. Ia percaya silat bukan hanya untuk melindungi istana, tetapi juga untuk membela rakyat. Ia mengajarkan jurus-jurus istana kepada masyarakat umum. Aksi itu dianggap pelanggaran besar. Situasi semakin panas ketika ia ikut dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda. Istana pun menganggapnya penyimpang dan pengkhianat.
Ia terusir. Namun pengusiran itu justru menjadi awal dari perjalanan panjang seorang pendekar yang kelak dihormati lintas pulau.
Dari Sumatera, Mama Sabandar melakukan perjalanan darat dan laut menuju pulau Jawa. Dalam catatan turun-temurun, ia pernah menjadi awak kapal — profesi yang membawanya melihat banyak pelabuhan dan banyak karakter manusia. Ia juga sempat menjadi pedagang kuda, sebuah profesi yang kelak memperkuat pemahamannya tentang ritme gerakan, kecepatan, dan intuisi dalam silat.
Jejaknya tercatat di Batavia, kemudian di Cianjur, sebelum akhirnya menetap di Wanayasa, Purwakarta. Di wilayah inilah ia menemukan kedamaian baru — sekaligus ladang untuk menanamkan ilmu silat yang kelak dikenal sebagai Silat Sabandar.
Silat Sabandar: Lembut seperti Angin, Kuat seperti Akar
Silat yang diajarkan Mama Sabandar berbeda dari kebanyakan aliran yang berkembang di Jawa kala itu. Gerakannya tidak meledak-ledak atau keras, melainkan lembut, lentur, dan berirama. Namun kelembutan itu menyimpan daya hajar yang efektif.
Ajaran silatnya adalah perpaduan dua dunia: Silat Minangkabau yang lincah dan cerdik, serta Silat Sunda yang halus dan penuh keseimbangan.
Di balik setiap gerakan, Mama Sabandar menyematkan nilai spiritual yang kuat. Ia dikenal sebagai murid mendalam tarekat Satariah dan Naqsabandiyah, dua jalan sufi yang menekankan keikhlasan, kesabaran, dan ketenangan batin.
“Silat itu bukan hanya tangan dan kaki,” begitu kata-kata yang masih dikenang murid-murid keturunannya. “Silat itu hati. Kau menang bukan karena kuat, tapi karena jernih.”
Mama Sabandar mendidik murid-muridnya dengan kelembutan seorang bapak, namun ketegasan seorang guru besar. Ia tidak pernah meninggikan suara, tapi setiap ucapannya menjadi pedoman hidup.
Wanayasa: Rumah Terakhir Sang Pendekar
Setelah menghabiskan sisa hidupnya sebagai guru silat dan tokoh masyarakat, Mama Sabandar wafat pada 1880. Ia dimakamkan di Desa Wanayasa, di sebuah tempat yang kini menjadi titik ziarah para pesilat, peneliti budaya, dan masyarakat umum.
Setiap tahun, banyak orang datang untuk menabur bunga, berdoa, atau sekadar menundukkan kepala sebagai penghormatan. Makamnya tidak megah, namun penuh rasa hormat. Di situlah para pesilat muda sering mengingat kembali pesan beliau: “Ilmu itu bukan untuk disombongkan, tetapi untuk dijaga dan diamalkan.”
Ajaran Silat Sabandar menyebar luas di Jawa Barat, terutama Cianjur dan Purwakarta. Banyak muridnya kemudian menjadi guru silat legendaris di daerahnya masing-masing. Beberapa perguruan silat besar hari ini masih mewarisi jurus-jurus Mama Sabandar, baik secara langsung maupun melalui aliran-aliran yang bercabang darinya.
Hingga kini, Silat Sabandar menjadi salah satu identitas kebudayaan Tatar Sunda—sebuah warisan yang mengalir dari perjalanan seorang pendekar perantau, yang pernah diusir dari istananya karena membela masyarakat kecil. Di situlah warisan itu hidup: bukan di istana, bukan dalam catatan sejarah, tetapi dalam gerakan tangan, lenturnya kaki, dan ketulusan hati.–-(***)








