Oleh: Dian Martiani
Masing-masing kita mungkin mempunyai ingatan terhadap guru kita dahulu yang berkesan. Guru yang sosoknya kita ingat sampai hari ini, pastilah guru tersebut yang paling spesial dan unik. Paling baik, paling killer, paling perhatian, paling unik gayanya, atau paling membuat kita paham terhadap pelajarannya atau justru sebaliknya, yang menyebalkan dan kita tidak paham apa yang diajarkannya.
Ketahuilah, bahwa guru akan diingat oleh siswanya dalam ingatan jangka panjang, tersebab karena dua hal. Sesuatu yang diberikannya pada siswa memiliki makna dan atau sesuatu yang melibatkan emosi, sehingga terekam oleh siswa dalam alam bawah sadarnya. Dua hal inilah yang menyebabkan apa yang diajarkan guru akan diingat dalam waktu yang panjang dan bersifat permanen. Jadilah guru yang dikenang karena kebaikannya.
Siapapun yang bergelar Guru, jika ingin diingat oleh siswa kita, maka jadilah Guru yang menciptakan pembelajaran dengan cara yang unik, bermakna, dan melibatkan emosi siswa. Niscaya pembelajaran yang diberikan akan tersimpan dalam memori siswa dalam jangka yang panjang. Nilai kebaikan yang kita tanam akan menjadi lestari, inilah yang dinamakan konsep amal jariyah, kebaikan yang investasi pahala bagi pelakunya bersifat terus menerus bahkan ketika kita tak lagi berada di dunia.
Guru adalah profesi yang sangat mulia, meski tak lagi populer dikalangan generasi muda saat ini. Jika saja semua orang memahami fungsi strategis seorang guru, mungkin akan banyak yang berebut untuk menjadi guru. Guru yang baik tak hanya mengganggap dirinya pengajar bagi siswa-siswinya atau Pengabar isi buku pelajaran saja. Ia juga sosok pendidik, orang tua, pemberi teladan, penanam karakter baik, menghujamkan keimanan, bahkan ia juga berperan sebagai sahabat bagi siswa-siswinya.
Maka tidak berlebihan jika ada sebuah Hadist yang menggambarkan keistimewaan profesi ini. Seluruh makhluk, termasuk semut dan ikan di lautan, akan mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. Siapa yang tak ingin dalam posisi ini, dido’kan oleh seluruh makhluk?.
Disaat banyak profesi dapat digantikan oleh Tekhnologi yang telah sangat berkembang, tidak demikian dengan profesi Guru. Tugas guru selain mengajar dan mendidik adalah meletakan nilai-nilai kemanuasiaan dan ketuhanan. Jika tugas mengajarkan pengetahuan bisa tergantikan oleh tekhnologi, tidak demikian dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam membangun peradaban, demikian juga dengan tugas menanamkan nilai-nilai spiritual dan ketuhanan.
Objek Pendidikan kita adalah manusia. Setidaknya ada tiga unsur dalam diri manusia yang perlu dididik. Ruh/hatinya, jasadnya, dan akalnya. Ruh/hatinya agar tunduk pada ajaran Tuhannya Sehingga nilai-nilai kemanusiannya menjadi terasah. Ia akan terdidik untuk memanusiakan dirinya, juga memanusiakan anak didiknya.
Jasadnya dididik untuk tunduk pada aturannya. Memakan makanan yang baik untuk dirinya. Memberikan hak-hak jasadnya agar senantiasa sehat dan dapat terus bermanfaat untuk manusia lainnya. Akalnya ia didik dengan asupan-asupan pengetahuan yang bergizi. Sehingga dengannya ia menjadi berpengetahuan bahkan ahli dibidang tertentu. Hal ini akan menambah kemanfaatan dirinya bagi alam semesta.
Disinilah peran guru dituntut, untuk dapat mendidik Ruh/hati, jasad, dan akal peserta didiknya secara seimbang. Seorang praktisi Pendidikan, Dr Urwatul Wusqo menyebutkan guru yang dapat berperan secara maksimal dalam proses Pendidikan setidaknya memiliki tiga karakteristik 1. Huluma/Hilm, lembut terhadap peserta didiknya. 2. Hukuma/Hakim yang pandai menempatkan sesuatu secara proporsional, termasuk memandang peserta didiknya secara proporsional, dan 3. Fuqoha, guru yang memiliki pemahaman mendalam terhadap ilmunya, sehingga ia dapat membekali peserta didiknya secara maksimal.
Selanjutnya, menarik apa yang disampaika oleh Anis Baswedan. Bahwa sejatinya fungsi Pendidikan adalah mengembangkan potensi agar tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kritis terhadap ilmu dan beropini dengan pengetahuannya. Pendidikans bukan semata-mata sebagai bentuk persiapan kerja. Manusia tidak bisa dikatakan sumber daya sebenarnya, seperti yang selama ini kita lazim katakan. Sumber Daya Manusia
Ketika manusia dipandang sebagai sumberdaya, maka program kita adalah untuk mensuply pasar. Kita akan menghasilkan lulusan-lulusan yang akan menjual ilmunya kepada mereka yang paling dapat membayar mahal, tanpa memikirkan misi apa yang dibawanya dalam hidup ini.
Ini tidak sesuai dengan tujuan Pendidikan kita sebagai mana yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa tujuan Pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pemenuhan terhadap kebutuhan pengetahuan peserta didik mungkin akan dapat tergantikan oleh tekhnologi semacam AI. Tapi tidak dengan penanaman karakter dan pembangunan peradaban, ia masih sangat memerlukan keberadaan guru yang mumpuni.
Negara maju sekelas Inggris saja tidak latah untuk secara instant mengajar dan mendidik siswanya dengan langsung mengenalkan AI tanpa mengenalkan proses dasarnya. Apalagi negara kita. Kita masih membutuhkan guru-guru hebat, bukan hanya hebat dalam mentransfer pengetahuan, namun juga hebat dalam memotivasi, menginspirasi, sekaligus memberikan teladan. Keberadaan guru yang Hebat insya Allah menjadikan negara kita Kuat. Guru Hebat, Indonesia Kuat.
Selamat Hari Guru 2025.
*). Dian Maryiani, adalah Praktisi Pendidikan, Yayasan Adzkia Sumatera Barat








