Oleh: H. Syahida / aa
Albert Einstein pernah menyampaikan satu refleksi mendalam tentang posisi manusia dalam kosmos. “Manusia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut alam semesta, namun ia bertindak seolah-olah terpisah.” Ungkapan itu, meski lahir dari dunia sains, memiliki gema moral dan spiritual yang kuat—terutama ketika kita melihat fenomena kerusakan lingkungan dan meningkatnya bencana alam hari ini.
Dalam pandangan Einstein, segala sesuatu di alam semesta saling terhubung: manusia, tanah, air, energi, ruang, hingga waktu. Manusia bukan makhluk yang berdiri sendiri; ia merupakan bagian kecil dari sistem kosmik yang luas. Apa pun yang dilakukan manusia akan menimbulkan dampak pada keseluruhan.
Pandangan ini sesungguhnya selaras dengan kearifan para leluhur nusantara. Bagi mereka, tubuh manusia adalah jagat alit—miniatur dari jagat ageung, alam semesta besar. Unsur yang ada dalam diri manusia adalah unsur yang ada dalam bumi. Karena itu, hubungan manusia dengan alam tidak bisa dipisahkan.
Leluhur mempraktikkan harmoni ini secara konkret: menjaga hutan, menghormati sungai, membaca tanda-tanda gejala alam, serta hidup selaras dengan ritme alam semesta. Bagi mereka, keseimbangan alam adalah bagian dari keseimbangan batin manusia itu sendiri.
Namun perkembangan pengetahuan dan teknologi modern membawa perubahan besar dalam cara manusia memandang dirinya. Kemajuan sains membuat manusia merasa mampu melampaui batas-batas alam. Dari kesan mampu “mengendalikan” alam, lahirlah ilusi bahwa manusia adalah penguasa yang terpisah dan superior.
Ilusi ini melahirkan perilaku-perilaku destruktif: mengeksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan regenerasi, merusak hutan demi keuntungan sesaat, mencemari sungai dan laut tanpa memikirkan dampak kesehatan, dan mengubah iklim tanpa kesadaran konsekuensi jangka panjang.
Padahal, keberlangsungan hidup manusia bergantung sepenuhnya pada alam. Ironisnya, alam tetap dapat bertahan tanpa manusia, tetapi manusia tidak dapat bertahan tanpa alam. Bahkan keberadaan makhluk sekecil lalat atau cacing sangat penting. Jika pengurai alami hilang, dalam hitungan bulan bumi akan dipenuhi bangkai dan limbah—dan manusia akan menghadapi kepunahan.
Bencana dan Keseimbangan ALam
Ketika terjadi kerusakan lingkungan besar-besaran, alam bergerak memulihkan dirinya. Pemulihan alam inilah yang kerap kita saksikan sebagai bencana: banjir, kekeringan, tanah longsor, badai ekstrem, kebakaran hutan, hingga wabah penyakit. Bukan karena alam marah, tetapi karena sistem ekologis kehilangan keseimbangannya. Dalam perspektif keagamaan, khususnya Islam, peringatan untuk menjaga bumi ditegaskan berulang kali. Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).
Manusia diberi mandat sebagai pengelola bumi, bukan penguasa yang bebas berbuat semaunya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dunia ini hijau dan indah, dan Allah telah menjadikan kalian sebagai pengelolanya. Maka Dia akan melihat bagaimana kalian memperlakukan dunia ini.” HR. Muslim)
Kedua pesan ini menegaskan bahwa menjaga keseimbangan alam merupakan bagian dari tanggung jawab spiritual.
Kesadaran ekologis bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah kesadaran eksistensial: kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari sistem kehidupan, bukan pusatnya. Dengan kesadaran ini, manusia diajak untuk: lebih rendah hati di hadapan alam, lebih bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya, lebih peduli pada keberlanjutan generasi mendatang, dan lebih memahami bahwa alam dan manusia saling membutuhkan.
Manusia dan alam bukan dua entitas yang terpisah. Keduanya terikat dalam hubungan hidup yang tak dapat diputus. Ketika manusia merawat alam, alam merawat manusia. Ketika manusia merusaknya, yang kembali adalah luka, peringatan, dan bencana.–(***)
*). Penulis: Pegiat Budaya dan Pendiri Padepoken Badai Sagara- Garut, Jawa Barat








