Cisolok, BantenGate.id – Dalam suasana penuh haru dan khidmat, di sebuah rumah adat di gelar Riungan Gede ke-XII Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), melaksanakan musyawarah adat di Kasepuhan Gelar Alam, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Sabtu (4/10/2025). Ratusan tokoh adat hadir dan mengalir sebuah dialog publik, membahas program startegis penguatan masyarakat adat di tanah Banten dan Jawa Barat dan memilih pemimpin (olot) SABAKI.
Dari riungan besar itu, lahir kesepakatan, H. Sukanta, kembali dipercaya memimpin SABAKI untuk periode 2025–2030. Keputusan ini bukan sekadar hasil musyawarah, melainkan wujud kepercayaan mendalam dari para baris kolot (tetua adat) dan masyarakat adat yang telah menyaksikan dedikasi H. Sukanta selama kepemimpinan sebelumnya.
“Saya merasa haru dan bersyukur. Ini amanah yang berat sekaligus mulia. Kami hanya berusaha menjalankan apa yang diperintahkan oleh para kolot untuk menjaga adat dan memperjuangkan hak masyarakat adat,” ujar H. Sukanta, usai dipercaya memimpin kembali SABAKI periode 2025-2030.
Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) bukan sekadar organisasi. Ia adalah rumah besar yang menaungi puluhan kasepuhan yang tersebar dari ujung selatan Banten hingga perbatasan Jawa Barat. SABAKI lahir dari kesadaran bersama masyarakat adat untuk memperkuat jati diri, menjaga kelestarian budaya, sekaligus memperjuangkan hak-hak atas tanah dan hutan adat yang diwariskan turun-temurun.
Secara struktural, SABAKI berperan sebagai wadah koordinasi, advokasi, serta representasi masyarakat adat di hadapan pemerintah daerah, provinsi, maupun nasional. Tugas dan fungsi SABAKI meliputi: Melestarikan adat dan budaya kasepuhan melalui ritual, pendidikan adat, dan dokumentasi nilai-nilai leluhur, Memperjuangkan hak masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber daya alam sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, Mengadvokasi kebijakan daerah agar berpihak pada pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, Memfasilitasi komunikasi antar-kasepuhan agar nilai gotong royong dan persaudaraan tetap terjaga lintas wilayah, dan Mengembangkan kemandirian ekonomi masyarakat adat berbasis kearifan lokal dan kelestarian lingkungan.
“Kami di SABAKI berupaya agar masyarakat adat bisa menggarap lahan dengan rasa aman dan nyaman. Dulu, sebelum ada Perda, banyak yang takut dan khawatir. Sekarang, Alhamdulillah, perjuangan kita telah menghasilkan keputusan dan regulasi yang berpihak pada adat,” jelas H. Sukanta.
Jejak Panjang Perjuangan Hutan Adat

Perjuangan SABAKI selama satu dekade terakhir bukan tanpa hasil. Pasca terbitnya Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara, SABAKI aktif mendorong pemerintah daerah untuk menindaklanjuti pengakuan formal masyarakat adat.
Hasilnya, delapan Kasepuhan di Kabupaten Lebak kini telah menerima Surat Keputusan Hutan Adat, yakni Kasepuhan Citorek, Karang, Cibedug, Pasir Eurih, Cirompang, Cibarani, Cisungsang, dan Cisitu. “Itu buah perjuangan panjang dan gotong royong seluruh kasepuhan,” kata Sukanta.
Sementara di Kabupaten Sukabumi, perjuangan serupa telah melahirkan Perda Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, yang diikuti dengan penerbitan sejumlah SK pengakuan.
Namun, perjuangan belum usai. SABAKI kini tengah memusatkan perhatian pada Kabupaten Pandeglang dan Bogor, dua wilayah yang hingga kini belum memiliki Perda Adat.
“Di Kabupaten Pandeglang belum ada Perda tentang Perlindungan Masyarakat Adat. Saudara-saudara kita di Pandeglang Selatan akan memperjuangan regulasi itu. Insya Allah, SABAKI akan terus hadir dan memperjuangkan hal itu,” tegasnya.
Pelestarian Nilai dan Harapan Generasi
Lebih dari sekadar perjuangan regulasi, SABAKI juga menjadi benteng pelestarian nilai dan budaya. Melalui kegiatan tahunan seperti Seren Taun, Ngaseuk, dan Mipit Pare, masyarakat adat Banten Kidul meneguhkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Kehadiran SABAKI di setiap kasepuhan menjadi pengingat bahwa adat bukan masa lalu, melainkan pedoman untuk masa depan. “Kami tidak ingin anak cucu kami kehilangan identitas. SABAKI adalah jembatan antara leluhur dan generasi penerus, agar mereka tetap mengenal akar dan adatnya,” tutur Medi seorang olot dari Kasepuhan Cisungsang yang turut hadir dalam riungan.
Riungan Gede ke-XII SABAKI bukan hanya forum musyawarah, tetapi juga peristiwa batin yang menyatukan kembali semangat leluhur di antara masyarakat adat Banten Kidul. Dalam tenda-tenda bambu yang berdiri di kaki Gunung Halimun, percakapan tentang masa depan adat berpadu dengan doa dan harapan.
Di bawah kepemimpinan H. Sukanta, SABAKI menatap lima tahun ke depan dengan tekad yang sama: menjaga warisan budaya, memperkuat kedaulatan adat, dan memastikan hak-hak masyarakat adat diakui sepenuhnya oleh negara.–( red)