Oleh: Murni Yenti
Begitu senja menepi di Kota Bukittinggi, rona merah di langit seolah menari di balik siluet menara Jam Gadang. Menara bersejarah ini berdiri kokoh di tengah hiruk-pikuk kota, tak lekang oleh waktu, seakan berkata: “Aku masih di sini, menjaga kisahmu.”
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926–1927 sebagai hadiah dari Ratu Wilhelmina kepada sekretaris kota Fort de Kock (nama lama Bukittinggi). Menara setinggi 26 meter ini dirancang oleh arsitek Minangkabau, Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh, dengan anggaran mencapai 3.000 Gulden pada masanya.
Keunikan Jam Gadang tidak hanya terletak pada bentuknya, tetapi juga teknologinya. Mesin jam buatan pabrik Vortmann Recklinghausen, Jerman, menjadi nadi penanda waktu. Hanya ada dua mesin serupa di dunia: satu terpasang di Big Ben, London, dan satunya lagi di Bukittinggi.
Mekanismenya bekerja dengan dua bandul besar yang saling menyeimbangkan, tanpa membutuhkan sumber energi tambahan. Bahkan hingga kini, jarum jam masih berputar keempat arah mata angin dengan presisi, mengandalkan sistem asli buatan hampir seabad silam.
Bangunan Jam Gadang berdiri kokoh di atas campuran kapur, pasir, dan putih telur, tanpa rangka logam atau semen, sebuah bukti kehebatan teknologi lokal kala itu. Menaranya terdiri dari empat tingkat: lantai pertama untuk ruangan petugas, lantai kedua sebagai penampung bandul pemberat jam, lantai ketiga tempat mesin jam, dan lantai keempat di mana lonceng diletakkan.
Transformasi arsitektur menara ini juga mencerminkan dinamika sejarah. Awalnya, puncak Jam Gadang berbentuk kubah bergaya Eropa dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada masa pendudukan Jepang, atapnya diubah menyerupai pagoda kuil Shinto. Selepas kemerdekaan, bentuknya disesuaikan menjadi gonjong khas rumah gadang, menegaskan identitas Minangkabau yang sarat nilai budaya.
Hal menarik lain adalah penulisan angka Romawi di permukaan jam. Jika biasanya angka empat ditulis sebagai IV, Jam Gadang menuliskannya dengan empat huruf ‘I’ (IIII). Detail kecil ini memicu rasa ingin tahu para pengunjung, menambah daya tarik Jam Gadang sebagai objek wisata sejarah.
Hari ini, Jam Gadang bukan hanya menara jam, melainkan juga pusat denyut kehidupan Bukittinggi. Taman Sabai Nan Aluih di sekitarnya menjadi ruang publik tempat semua orang melebur tanpa sekat. Data Dinas Pariwisata Bukittinggi menyebut, sepanjang 2024 tercatat lebih dari 1,2 juta wisatawan datang, 60 persen di antaranya berkunjung untuk menyaksikan Jam Gadang secara langsung. Sektor kuliner dan UMKM di kawasan ini pun turut menggeliat, dengan perputaran ekonomi mencapai Rp75 miliar per tahun menurut catatan BPS Bukittinggi.
Kala malam, kawasan ini menjelma jadi ruang hidup. Lampu taman memancarkan cahaya yang memperindah siluet menara, pedagang kaki lima meramaikan suasana dengan kuliner khas seperti sate padang, jagung bakar, keripik balado, hingga kopi talua. Musik jalanan, gelak tawa anak-anak, serta cengkerama keluarga membuat taman ini serasa rumah bagi semua orang.
Jam Gadang tidak sekadar menandai waktu, tetapi juga menandai kebersamaan. Ia menjadi ruang tempat orang merasa diterima, merayakan budaya, dan menumbuhkan rasa memiliki pada tanah Minangkabau. Nilai-nilai ini terasa semakin berharga di tengah modernisasi yang sering memisahkan manusia dari akar budayanya.
Karena itu, merawat Jam Gadang bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga masyarakat. Kebersihan, keamanan, hingga penataan pedagang kaki lima perlu terus dijaga agar kawasan ini tetap lestari dan nyaman dinikmati generasi mendatang. Dengan perawatan yang berkelanjutan, Jam Gadang akan terus berdentang — bukan hanya sebagai warisan fisik, tetapi juga warisan nilai: adaptif, inklusif, dan bersahabat.
Dentang jamnya mungkin sudah berjalan hampir seratus tahun, namun pesannya — tentang keberanian merawat warisan, dan cinta pada budaya — akan terus berdetak di hati siapa pun yang datang. (***)
*). dari berbagai sumber