Oleh: H. Edi Murpik
(Catatan perjalanan menelusuri pelosok kampung)
Di sebuah bukit yang tenang, di antara desir angin dan suara tonggeret yang bersahut-sahutan, terbaring sosok yang melegenda: Raden Jayasakti, patih dari Kerajaan Sumedang Larang. Pemakamannya terletak di Desa Gununganten, Kabupaten Lebak—dalam pelukan alam yang sunyi, namun sarat kisah pengabdian, dan harapan yang tak padam.
Makam ini dikenal sebagai Makam Keramat Gununganten, sebuah tempat yang bukan hanya di kenal di Banten, tetapi juga oleh peziarah dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Nama Gununganten lekat dengan citra harimau bima sakti—raja rimba yang menurut kepercayaan masyarakat kerap “hadir” di makam keramat ini, bahkan kadang muncul di tengah perkampungan sebagai pemberi tanda jika akan ada marabahaya.
“Raden Jayasakti, Langlangbauana, bukan hanya seorang pejuang, tapi juga penyebar ajaran Islam,” tutur Abah Satibi—atau akrab disapa Abah Tibli, juru kunci makam keramat Gununganten, pada suatu malam.
Nama Raden Jayasakti muncul dalam berbagai kisah dan tradisi lisan sebagai salah satu panglima utama Sumedang Larang. Ia bersama sahabatnya, Raden Jayaperkasa, pada sekitar tahun 1580–1600-an, memimpin pasukan dalam pertempuran melawan prajurit Kesultanan Banten di wilayah Cikatomas, Tigaraksa (kini Kabupaten Tangerang).
Konflik ini bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan bagian dari dinamika pasca-runtuhnya Pajajaran dan munculnya kekuatan Islam baru seperti Banten dan Cirebon. Saat itu, Sumedang Larang masih memegang teguh warisan Pajajaran di Tatar Sunda bagian timur.
Namun perang tersebut berakhir damai. Seorang ulama sufi terkemuka, Syekh Mubarok—yang dalam beberapa sumber juga disebut Syekh Quro—menjadi penengah. Ia memediasi perdamaian antara dua kekuatan besar ini, menandai babak baru dalam penyebaran Islam di tanah Sunda.
Menetap di Gununganten
Usai pertempuran, Raden Jayaperkasa kembali ke Sumedang, melanjutkan kiprahnya di Kerajaan Sumedang Larang. Sebaliknya, Raden Jayasakti memilih jalan sunyi. Ia menetap di sebuah kampung dan di beri nama Timbanganten—yang kelak dikenal sebagai Desa Gununganten, termasuk wilayah Distrik Cikeuyeup pada masa kolonial.
Menurut cerita sesepuh, di tanah ini, Raden Jayasakti, hidup membaur dengan masyarakat lokal. Ia dipercaya turut menjaga stabilitas sosial dan menyebarkan nilai-nilai luhur yang diwarisinya. Ia wafat di Gununganten, jauh dari istana, namun dekat dengan hati rakyat. Makamnya kini menjadi pusat ziarah spiritual.
Desa Gununganten kini bukan lagi kampung terisolasi. Jalan desa yang dulu berlumpur telah dicor sepanjang lima kilometer melalui dana desa. Jalan ini menghubungkan Kampung Cikeuyeuyeup—bekas pusat Distrik Cikeuyeup—dengan kampung Kebon Kopi.
Namun modernisasi belum sepenuhnya menyentuh wilayah Gununganten. Warga masih bergantung pada jembatan gantung di Cipeucang untuk menyeberang ke jalan utama Rangkasbitung–Malingping. Jembatan ini hanya bisa dilalui sepeda motor atau pejalan kaki secara bergantian. Belum bisa dilintasi kendaraan roda empat.
Kepala Desa Gununganten, Suparman, mengatakan pemerintah desa telah berulang kali mengajukan permohonan kepada Pemda Lebak agar membangun jembatan permanen di Kebon Kopi, melintasi Kali Ciujung.
“Semasa Kepala Dinas PUPR Lebak dijabat Pak Maman S., sempat direncanakan dibangun pada 2023. Tapi sampai sekarang belum ada realisasi,” kata Suparman.
Belum lama ini, Wakil Ketua DPRD Lebak, Acep Dimyati, bersama sejumlah pejabat, mengunjungi Desa Gununganten dan turut melintasi jembatan gantung di Kebon Kopi. “Pak Acep akan membantu menyampaikan usulan pembangunan jembatan permanen kali Ciujung di Kebon Kopi ke Pemda Lebak,” ujarnya, Sabtu (7/6/2025).
Jumlah penduduk Desa Gununganten saat ini sekitar 2.575 jiwa. Luas lahan sawah mencapai sekitar 367 hektare. Lahan terluas terdapat di Pesawahan Cikalong seluas 75 hektare. Di areal pesawahan ini sudah bisa panen dua kali dalam setahun, berkat pompanisasi yang telah berjalan selama lima tahun dengan sumber air dari Kali Ciujung. Desa ini menjadi salah satu penopang ketahanan pangan di Lebak.
Distrik Cikeuyeup Tinggal Kenangan
Nama Distrik Cikeuyeup kini hanya tersisa dalam ingatan. Sebuah pondasi bekas kantor ini, masih ada di ujung kampung. Dulu, distrik ini berdiri setelah pembubaran Kabupaten Banten Kidul oleh pemerintah Hindia Belanda pada 2 Desember 1828.
Banten Kidul sendiri didirikan saat Inggris menguasai wilayah Banten pada 1811–1816 di bawah Thomas Stamford Raffles. Kabupaten Banten Kidul beribu kota di Cilangkahan, dan dipimpin seorang Bupati, Tumenggung Suradilaga (Raden Muhammad).
Setelah Belanda kembali berkuasa, struktur pemerintahan Inggris dibongkar, dan Banten Kidul dihapus. Sebagai gantinya, lahirlah Kabupaten Lebak, pada tanggal 2 Desember 1828 dengan ibu kota di Lebak Parahiyang, Leuwidamar, sekitar 10 KM dari Cikeuyeup.
Bagi warga Gununganten, Raden Jayasakti bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah cermin nilai: bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada pedang dan takhta, tetapi pada keberanian memilih jalan damai, hidup sederhana, dan menyatu dengan rakyat.
Gununganten berdiri di persimpangan dua dunia: masa lalu yang agung, dan masa depan yang tengah dirintis. Jalan cor adalah awal, tetapi jembatan permanen di Kebon Kopi yang melintas Kali Ciujung masih menjadi mimpi yang menggantung.
Bagi warga Gununganten, membangun bukan hanya sekedar soal infrastruktur, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap sejarah. Dan di desa kecil ini, sejarah tidak hanya tercetak dalam buku—ia hidup, bernapas, dan terus dilantunkan dalam doa di kaki makam tua.—(****)
*). Penulis, Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten
Raden Jayasakti, patih kerajaan Sumedang Larang, bagi warga Desa Gununganten, Banten, namanya tak akan pernah dilupakan. Semoga ada rekan yang melengkapi catatan tulisan ini, agar jejak leluhur menjadi lengkap dan sebagai titian generasi kini.