KDM: Gema Leluhur Pajajaran, Kita Melukis di Atas Batu, Bukan di Atas Air

H. Edi Murpik

Oleh: H. Edi Murpik

Saya sempat tersentak dan terdiam saat menyimak sambutan Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, yang ditayangkan di  Kompas TV  pada peringatan Milangkala ke-543 Kota Bogor, tanggal 3 Juni 2025. “Saya terhenyak,” kata KDM, “Kita melukis di atas batu, bukan di atas air.” Sebuah ungkapan yang penuh makna.

Bacaan Lainnya

Disampaikan dengan bahasa Sunda, namun mengandung ketegasan dan kedalaman makna.  Pidato seorang gubernur itu bukan sekadar sambutan seremonial. Saya memandang, bahwa suara itu adalah gema leluhur. Ia adalah seruan pulang—kepada akar, kepada tanah, kepada nilai-nilai yang kini sering kita abaikan.

Saya terdiam. Kalimat itu mengetuk ruang dalam yang mungkin lama tak terbuka. Bahwa dalam hidup ini—sebagai individu maupun bangsa—kita semua sedang melukis. Dan pertanyaannya bukan hanya soal warna atau bentuk, tapi: di mana kita melukis? Di batu, atau di air?

Sri Baduga Maharaja, seperti Puun di Baduy, seperti leluhur Sunda yang membangun peradaban di atas prinsip silih asah, silih asih, silih asuh—kita diajak untuk tidak hanya hidup, tapi berarti. Untuk tidak hanya maju, tapi berakar.

Di tengah gegap gempita modernitas dan tuntutan pembangunan, KDM berdiri membawa suara masa lalu yang masih relevan: Pajajaran dan nilai-nilai adat Sunda. Ia menyebutnya bukan sebagai dongeng sejarah, tapi sebagai fondasi yang harus kembali kita kenali, peluk, dan hidupi.

Kata KDM, pemimpin harus berani menorehkan jejak, melukis di atas batu, bukan di atas air. Melukis di atas batu perlu perjuangan dan ketekunan, bukan sekadar menghasilkan karya yang cepat viral lalu lenyap seperti melukis di atas air. Dalam konteks Sunda, ini berarti menjaga warisan leluhur, bukan menggantinya demi pembangunan sesaat.

Dalam bagian pidatonya, KDM yang juga akrab di sapa “bapa aing” menyambungkan Pajajaran dengan kehidupan masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Lebak, Banten. Warga Baduy hingga kini tetap bertahan dengan sikapnya yang menjaga hutan, menjaga amanat leluhurnya. Baduy, dalam kesehariannya, hidup selaras dengan alam. Warga Baduy atawa urang Kanekes tidak hanya menjaga hutan—mereka menjadi bagian dari hutan.

Ketika ada pejabat yang mengatakan, di Baduy akan dibangun Puskesmas untuk meningkatkan derajat kesehatan. Orang Baduy dalam hatinya, tertawa. Mereka sudah sehat, karena berawal dari makanan yang berasal dan tumbuh dari alam.

Ketika ada pejabat yang bicara, disini  akan dibangun pusat perekonomian, orang Baduy sesungguhnya tertawa. Oleh sebab mereka sudah sejahtera menurut ukuran keyakinannya. Justru orang dari luar Baduy yang terus merangsek membabat hutan titipan leluhur mereka. “Itu yang harus di urus”, kata  KDM.

Filosofi Kisunda, filosifi orang Baduy sederhana, tapi maknanya begitu dalam: “Nu pondok teu meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong.” Sebuah prinsip hidup yang mengajarkan kejujuran dan untuk keseimbangan—baik dalam urusan alam, relasi sosial, maupun spiritualitas.

KDM mengajak kita menoleh pada kebijaksanaan itu. Sebab, yang tersisa dari Pajajaran bukan hanya situs, tetapi jiwa Ki Sunda yang hidup dalam laku sehari-hari orang Baduy: jujur, sederhana, dan menyatu dengan alam.

Pakuan Pajajaran, yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, bukanlah simbol kejayaan masa lalu semata. Bagi KDM, Pajajaran adalah identitas. Ia adalah pusat peradaban Kisunda. Bogor adalah tanah pusaka. Bukan untuk dipuja, tapi untuk dijaga. “Bogor teh lain saukur kota hujan. Ieu tanah anu gaduh nilai pusaka, kata KDM.

Leluhur Pakuan, mengisyaratkan bahwa  “taneuh” (tanah) adalah bumi tempat berpijak kehidupan. Orang sunda memandang tanah sebagi ibu yang harus di mumule. “Ibu beurang, bapak peuting”. Dalam khasanah nasional, juga dikenal dengan sebutan ibu peritiwi. Maka siapapun yang merusak bumi, merusak alam, hidupnya tidak akan menjadi baik.  Kaluhur teu sirungan, kandap teu akaran”.

Di Pakuan diatasnya, berdiri tegak gunung salak, sebagai paku bumi, sebagai tempat pananggeuhan untuk berlindung. Ketika gunung Salak di rusak, dengan dalih pembangunan, maka bencana akan terjadi. Ketika isi perutnya di koyak,  musibah pun terjadi. Silahkan buat riset, negara mana yang tanahnya dirusak, isi perutnya di gali, rakyat sekitarnya sejahtera?….tak ada.

Berdayakanlah tanah dengan tanaman di atasnya dengan menanam pepohonan yang bermanfaat pisang, jeruk, kelapa dan sejenisnya. Tanpa harus merusak isi perutnya.  Negara Selandia Baru (New Zealand), sebuah negara yang sangat kaya dengan hasil pertanian. Kondisi geografisnya yang subur, iklim yang sedang, dan sistem pertanian yang maju menjadikannya salah satu eksportir produk pertanian dan peternakan terbesar di dunia.

KDM juga menyentuh hal yang lebih mendalam: perubahan nilai. Bahwa keruntuhan Pajajaran bukan  karena kalah perang, tapi karena; “kawung geus teu aya carulukna, samak geus teu aya pandana, Ciamis tinggal paitna, Ciherang tinggal kiruhna” kawung sudah tidak ada caruluk, tikar sudah tidak ada pandan, ciamis tinggal pahitnya, ciherang tinggal keruhnya—sebuah metafora tentang masyarakat yang mulai lali ka dirina, poho ka asalna.

Pidato KDM bukanlah nostalgia romantik. Ini adalah panggilan bertindak. Ia mengingatkan, pemimpin itu kudu wani. Wani ngajaga alam, wani ngajaga budaya, wani ngabela rakyat, wani mengambil keputusan terbaik untuk kepentingan rakyat.  Pihak yang setuju ada, yang  tidak setuju  juga  ada. Biarkan semua itu berjalan dan hukum alam yang menilai.

Dan masyarakat? Kudu eling. Karena, seperti yang disampaikan KDM dalam nilai papat kalima pancer: kita ini bagian dari tanah, air, angin, matahari, dan jati diri. Hilang satu saja, maka hancurlah keseimbangan.

KDM di acara perhelatan Milangkala ka-543 Kota Bogor, menyampaikan rencana pembangunan Tugu Pajajaran.  Untuk tingginya, ya setinggi Tugu Monas. Bukan sekadar proyek monumental, tapi simbol kultural. KDM ingin mengangkat Pajajaran menjadi simbol identitas dan Ki Sunda.

Seperti Sri Baduga Maharaja, seperti Puun di Baduy, seperti leluhur Sunda yang membangun peradaban di atas prinsip silih asah, silih asih, silih asuh—kita diajak untuk tidak hanya hidup, tapi berarti. Untuk tidak hanya maju, tapi berakar.

Dan dalam suasana hujan Bogor yang seperti berkah dari langit, kita semua seakan diingatkan: Jangan lupa tempat berpijak. Karena kita sedang melukis jejak. Dan jejak itu akan dibaca oleh anak cucu kita.—(***)

 

*). Penulis, pengurus Paguyuban Pasunadan di Banten, tinggal di Malinping, ujung Selatan Banten

Pos terkait