Oleh: H. Edi Murpik
Di tengah riuhnya jagat maya yang bising oleh tudingan dan ocehan, satu suara justru menyusup dari akar rumput: suara Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat. Ia tidak menawarkan narasi besar penuh teori. KDM hadir sebagai sosok yang ngamumule (melestarikan) budaya sunda, berjalan di antara rakyat, menyapa dengan tangan terbuka, bertindak dengan hati dan perbuatan nyata.
KDM yang akrab di sapa “bapa aing” sebagai Gubernur Jawa Barat, tidak memimpin dari balik meja, tetapi dari gang-gang sempit, pematang sawah, rumah-rumah yang nyaris runtuh, dan warung kopi tempat rakyat bercakap. Namun, karena langkahnya yang berbeda, ia justru diserang. Dituding “gubernur konten”, “lambe turah”, bahkan dicap “otak dangkal” oleh sebagian kalangan intelektual yang menganggap gerakannya terlalu pragmatis.
Kritik mencuat saat KDM menggagas program pembinaan anak-anak yang dianggap “nakal” melalui pendekatan disiplin ala militer. Salah satu suara yang cukup keras datang dari seorang, Rocky Gerung.
Dalam sebuah pernyataan yang viral, Rocky menyebut Kang Dedi Mulyadi sebagai sosok gubernur “berotak dangkal”. Bagi Rocky, langkah KDM mengirim anak-anak “nakal” ke barak militer dianggap pendek, instan, dan tidak mengakar secara filosofis pendidikan. Namun kritiknya kepada KDM justru membuka ruang diskusi yang lebih besar.
Dalam tanggapannya, KDM tidak menolak filsafat, tapi ia mempertanyakan relevansinya jika tak membumi. Ia berkata dengan jenaka tapi bernas: “Plato mana bisa paham budaya Sunda? Jadi RT di Depok aja belum pernah. Apalagi mengurus warga yang minta bantuan beras tengah malam,” ujar KDM sembari tersenyum.
Ini bukan sekadar sindiran. Ini adalah gugatan terhadap kesenjangan antara teori dan kenyataan. KDM mengingatkan bahwa ada filsafat hidup lain yang tak kalah dalam, tak kalah bermakna: kearifan lokal.
Filsafat Barat banyak bicara tentang ide, konsep, dan abstraksi. Namun orang Sunda – dan bangsa Indonesia pada umumnya – memiliki filosofi yang tidak kalah dalam, tetapi lebih praktis dan kontekstual.
Dalam lanskap budaya urang sunda menyimpan satu warisan tak ternilai yang tidak hanya menyentuh sisi sosial, tetapi juga spiritual dan kemanusiaan. Warisan itu terangkum dalam lima kata yang sederhana namun sarat makna: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih Aping, Silih Geuing.
Kelima kata ini, yang secara harfiah berarti saling mengasah, saling mengasihi, saling mengasuh, saling melindungi, dan saling menguatkan, adalah bagian dari pandangan hidup masyarakat Sunda yang telah diwariskan turun-temurun dari para karuhun — leluhur yang hidup selaras dengan alam dan manusia.
Dalam budaya ini, seorang anak yang “nakal” bukan dimusuhi, tapi dipeluk dan dibina. Ketika seorang tetangga sakit, bantuan datang dari tetangga, tapi tanpa diminta. Semua bergerak bukan atas dasar teori etika, tapi atas dasar hati yang tergerak.
Filsafat Barat menekankan rasionalitas individual. Sedangkan filsafat lokal kita menekankan emosionalitas kolektif – gotong royong, empati, dan keterlibatan nyata.
KDM Memilih Jalur yang Membumi
KDM dapat dipastikan bukan anti-filsafat. Ia membaca, ia merenung, tapi ia memilih jalan yang lebih sunyi: turun ke sawah, mendatangi rumah warga yang ambruk, menemani anak-anak ke rumah sakit. Jalan yang tidak selalu masuk dalam kurikulum filsafat, tapi sangat dirasakan oleh rakyat.
Ia menjawab terhadap orang yang memberikan label “otak dangkal” bukan dengan kemarahan, melainkan dengan tindakan. KDM merespons orang nyinyir dengan tenang dan santun, namun menohok:
“Saya memilih menjadi orang yang berpikiran dangkal, tetapi banyak menanam dan melahirkan tanaman. Dari pada merasa pikirannya dalam, tapi justru membuat orang lain tenggelam. Pagi semuanya. Mari kita hadapi berbagai kritik dengan senyuman. Salam bahagia.”, ujar KDM dalam unggahan di media sosial.
Ini adalah sebuah tamparan bagi intelektual yang asyik bermain di menara gading. KDM mengingatkan bahwa filsafat sejati adalah yang bisa dihayati rakyat. Ini bukan bentuk anti-intelektualisme, melainkan kritik terhadap gaya berpikir yang terlalu menjauh dari rakyat. Dalam dunia yang kebanjiran opini namun kering aksi, KDM memilih menjadi tangan yang bekerja. Ketika yang lain sibuk berkomentar, ia hadir dengan solusi.
Program dikirim ke barak bukan sekadar upaya penertiban, tetapi pembinaan karakter berbasis kedekatan, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Bagi KDM, pendidikan bukan hanya di ruang kelas, tapi juga melalui pengalaman hidup.
Bagi KDM, filsafat hidup tidak sekadar ada di buku, melainkan ada di ladang, di pematang sawah, di dapur rakyat, di pasar tradisional, dan sekolah-sekolah informal di pinggiran. Alam yang terbentang luas, dengan aneka ragam kehidupan adalah ayat kauniyah yang harus di pelajari dan di kaji.
Ayat Kauniyah mengajak manusia untuk berpikir secara mendalam. Ayat itu menumbuhkan keimanan, melalui pengamatan alam. Manusia diajak untuk mengenal dan mengagungkan Sang Pencipta. Alam semesta bekerja dalam keteraturan dan hukum-hukum yang menunjukkan ke-Maha Bijaksaan Allah SWT. Di situlah teori diuji. Di sanalah pemimpin diuji.
Gaya Kepemimpinan Leluhur yang Membumi
Gaya kepemimpinan KDM adalah gaya leluhur: sederhana namun sarat makna. Ia tidak berselimut formalitas. Ia memilih turun langsung, memanggul tubuh orang yang sakit dan di bawa untuk berobat ke rumah sakit, memanggul sekarung beras ketika menemui orang yang belum makan, menyekolahkan anak-anak yang tersisih, dan mendatangi warga tanpa protokoler.
Dalam budaya Sunda, ada pribahasa yang tepat untuk menggambarkan realitas hari ini:“Bentik curuk balas nujuk, capétang balas miwarang.” (Orang yang hanya bisa menyuruh, tetapi tidak bisa bekerja. Pandai bicara, tetapi absen dalam tindakan.)
Sindiran halus namun tajam ini menggambarkan elitisme kosong yang hanya lihai dalam wacana, namun absen dalam kerja nyata. Sementara KDM menjawabnya dengan aksi, dengan tindakan nyata, memberi saat rakyat membutuhkan. Bukan debat kusir yang tidak menyelesaikan persoalan.
Islam agama rahmatan lil alamin dalam Al-Qir’an menegaskan; “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”(QS. Al-Maidah: 2). Sementara Nabi Muhammad SAW, bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)
Dalam konteks ini, KDM tidak sedang membangun pencitraan. Ia mengamalkan nilai. Bagi KDM, membantu bukan tentang popularitas, melainkan ketulusan. Ia membina bukan untuk dihormati, tetapi karena hatinya tergerak.
KDM melalui program “Nganjang ka Warga”, menghidupkan kembali nilai gotong royong. Bukan sekadar memberi bantuan, tetapi menghadirkan harapan. Ia membangkitkan nilai-nilai yang nyaris hilang: menghargai orang tua, mencintai alam, hidup sederhana, dan saling bantu.
Sikap ini bukan sekadar nostalgia budaya, melainkan jalan hidup. Ia mengajak rakyatnya untuk berhenti hanya berteori dan mulai bertindak. Mengubah paradigma bahwa pemimpin harus jauh, bahwa solusi harus rumit.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pandai, tetapi kekurangan yang mau turun tangan. Langkah seperti yang dilakukan KDM perlu dijaga, dirawat, dan diperluas. Bukan berarti tanpa kritik. Namun, kritik seharusnya datang dari hati yang peduli, bukan dari ego yang tinggi. Dari pengalaman, bukan dari ruang hampa.—(***)
*). Penulis, Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten, tinggal di Malingping, ujung selatan Banten