Lebak, BantenGate.id – Ritual adat Keceran Tjimande kembali digelar sebagai bentuk pelestarian budaya silat Banten. Upacara sakral ini dilaksanakan oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Garuda Banten Indonesia (GBI) di halaman sekretariat DPP GBI, Kampung Lebak Sambel, Kelurahan Cijoro Lebak, Kecamatan Rangkasbitung, pada Kamis malam (11/9/2025).
Ketua Umum GBI, Budi Hartono atau akrab disapa Boton, menegaskan komitmen organisasinya menjaga warisan leluhur melalui agenda tahunan tersebut. “Kegiatan Keceran Tjimande sudah menjadi tradisi rutin GBI sebagai wadah berbagai organisasi dan paguron silat di Kabupaten Lebak,” ujarnya.
Acara tersebut dihadiri Ketua Kesti TTKKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir), jajaran DPP bidang pemberdayaan perempuan, serta perwakilan paguron dari berbagai kecamatan seperti Sajira, Kalanganyar, Warunggunung, Cibadak, Cikulur, Bayah, hingga Panggarangan. Sejumlah organisasi masyarakat juga turut serta menyemarakkan.
Boton menjelaskan, rangkaian keceran dimulai dengan tawasul atau doa bersama untuk memohon perlindungan Allah SWT sekaligus mengirimkan doa bagi para leluhur.
“Kami ingin nilai-nilai kearifan lokal dan seni budaya Banten tetap terjaga lintas generasi,” tambahnya.
Dalam tradisi masyarakat Banten, Keceran dimaknai sebagai ritual spiritual sekaligus momentum silaturahmi antar-paguron pencak silat. Para pendekar berkumpul untuk menguatkan ikatan persaudaraan, menjaga kesetiaan terhadap guru, dan meneguhkan ajaran bela diri yang tidak sekadar olah raga, tetapi juga olah jiwa.
Keceran Sebagai “Lebaran” Pendekar
Ratu Harumsari, perwakilan Kesti TTKKDH, menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya acara tersebut.
“Bagi kami, Keceran Tjimande ibarat lebaran tahunan. Bahkan pada 20 September 2025 mendatang akan digelar Keceran Akbar di Serang dengan peserta dari lima negara dan atlet tingkat nasional,” tuturnya.
Keceran dalam tradisi TTKKDH merupakan prosesi yang erat kaitannya dengan Pencak Silat Tjimande, salah satu aliran silat tertua di Nusantara. Istilah keceran merujuk pada kegiatan “membersihkan” atau “menyucikan” kembali diri dan niat seorang pesilat, baik secara spiritual maupun moral.
Ritual ini tidak hanya mengandung nilai seni bela diri, tetapi juga sarat dengan filosofi ketakwaan, penghormatan kepada guru, serta semangat kebersamaan. Dengan demikian, silat Banten dipandang bukan sekadar seni bertarung, melainkan juga jalan hidup yang berakar pada kearifan lokal.—(hendrik)








