Oleh: H. Edi Murpik
(Catatan perjalanan menelusuri pelosok kampung)
Di sebuah kampung kecil bernama Cipunaga, Desa Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, hidup seorang lelaki tua yang sederhana, tetapi kaya dalam rasa: Mang Usam namanya. Ia tidak bisa melihat dunia sejak lahir—tunanetra permanen. Namun, tak satu pun orang di kampung itu yang meragukan betapa tajam penglihatannya—bukan dengan mata, melainkan dengan hati.
Terlahir di Cipunaga dengan nama Samsudin pada tahun 1974. Mang Usam, anak keenam dari tujuh bersaudara, adalah putra dari pasangan almarhum Abah Sadi dan almarhumah Ema Junasih. Sehari-hari, ia mencari nafkah dengan menjadi tukang urut keliling. Selain itu, kadang ada warga yang datang kepadanya untuk meminta air do’a—berharap do’a dari hati yang jernih bisa menyembuhkan penyakit.
Yang paling menyentuh adalah kebiasaannya berbagi rezeki dengan anak-anak yang tengah menuntut ilmu di pesantren. Tak peduli seberapa kecil penghasilannya hari itu, jika ia tahu ada anak-anak nyantri yang butuh bantuan, sebagian rezekinya akan disisihkan untuk santri.
Sekitar 200 meter dari kediamannya yang sudah lapuk, berdiri Pondok Pesantren Al Ma’arij. Di ponpes yang dipimpin Ustaz Muhammad Gojali, S.Pd.I, terdapat 35 santri dari berbagai daerah, seperti Subang, Jawa Barat, dan sekitar Lebak Selatan. Santri yang belajar di ponpes ini tidak dipungut biaya. Makan dan minum ditanggung oleh pengurus ponpes, keluarga besar, dan para relawan lainnya.
“Saya dulu juga pernah ngaji, tahu rasanya hidup di pondok saat tak punya beras, tak ada uang karena kiriman dari orang tua belum datang. Kalau sekarang saya bisa bantu, walau sedikit, itu suatu kebahagiaan bagi saya,” ucapnya pelan suatu sore, di keheningan Kampung Cipunaga, Senin, 2 Juni 2025.
Anak-anak santri di Ponpes Al Ma’arij yang menerima bantuan dari Mang Usam sering mendapat beras, dan sesekali berupa uang—meski hanya beberapa ribu rupiah. Namun, mereka mengingat satu hal yang jauh lebih berharga: perhatian tulus dari seorang Mang Usam, lelaki tunanetra.
Santri yang ia bantu bukanlah keluarganya. Mereka bukan cucu, bukan pula keponakan. Namun, dalam pandangan Mang Usam, semua anak yang sedang belajar agama adalah anak-anaknya juga. Ia membantu bukan karena ingin dikenal. Ia memberi karena itulah cara mensyukuri hidup.
Ketika banyak orang menutup mata atas penderitaan orang lain, Mang Usam—yang justru tidak pernah melihat dunia ini sejak lahir—justru membuka hati selebar-lebarnya untuk sesama. Ia tidak sibuk membangun citra. Ia tidak peduli soal pencitraan. Ia tidak aktif di media sosial, bahkan mungkin tak paham apa itu internet. Namun, ia tahu persis apa itu nilai, apa itu makna, dan apa itu kebaikan.
Baginya, hidup bukan soal banyaknya harta, melainkan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Ia tak menunggu kaya untuk membantu orang lain. Ia tidak memelihara iri atas nasib yang tidak sebaik orang lain. Ia justru bersyukur karena diberi hati yang kuat untuk terus berjalan—bahkan ketika dunia tampak gelap di depan matanya.
Yang membuat banyak orang heran, Mang Usam—meski tidak bisa melihat—tidak pernah tersesat. Jika ia pergi ke luar kampung, seperti ke Pasar Malingping, Panggarangan, Bayah, dan daerah lainnya di selatan Banten, ia naik kendaraan umum. Ia akan tahu kapan dan di mana harus berhenti. Ia hanya akan berkata pada sopir, “Berhenti, Pak Sopir, saya sudah sampai.” Dan memang, tempat itu adalah tujuannya.
Orang sekitar Cipunaga menyebutnya memiliki “daya” atau kekuatan hati. Namun, Mang Usam tidak menganggap dirinya istimewa. Ia hanya terbiasa berjalan dengan rasa percaya, berjalan dengan kata hati, dan mendengarkan alam di sekelilingnya.
Jika suatu hari Anda bertemu Mang Usam, di jalanan kampung atau di pasar tradisional, ia tampak seperti lelaki biasa. Memakai baju sederhana, berjalan pelan dengan tongkat, atau kadang hanya mengandalkan rasa. Namun, di balik langkah-langkah pelannya itu, sesungguhnya ada jejak hidup yang kuat—jejak tentang perjuangan, tentang menerima takdir tanpa keluh, dan tentang bagaimana tetap berbagi meski dalam keadaan pas-pasan dan tidak melihat.
Mesantren di Pondok Girilaya
Di masa mudanya, Mang Usam pernah menimba ilmu agama di sebuah pesantren di Kampung Girilaya, Malingping. Dari pengalaman nyantri itulah ia memahami pentingnya pendidikan agama—dan menanamkan nilai bahwa ilmu harus diperjuangkan, meski dalam keadaan terbatas.
Kini ia hidup bersama sang istri, Bu Nurheti—seorang janda beranak enam yang kemudian dinikahinya. Dari pernikahan mereka, Mang Usam dikaruniai tiga orang anak. Hidup tak selalu mudah, tetapi mereka menjalaninya dengan kesabaran dan keikhlasan.
Bersama sang istri dan anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa, Mang Usam bertani di sawah, sekalipun luasnya tidak seberapa. Sawah yang tidak jauh dari kediamannya itu adalah warisan dari kedua orang tuanya.
“Kadang kita ini punya mata, tapi tak bisa melihat penderitaan orang lain. Mang Usam, yang tak bisa melihat sejak lahir, justru mampu melihat dengan lebih jernih daripada kebanyakan dari kita.”
Di usianya yang sudah setengah abad, Mang Usam tidak ingin lagi bepergian jauh untuk mengais rezeki. Ia ingin lebih banyak menetap di rumah, lebih banyak beribadah, dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Rabb, di samping menekuni pekerjaan lain.
“Mamang hayang boga usaha warungan, sanajan leutik. Keur bekel sapopoe. Ke mun geus boga modal, rék dimulai dagang leuleutikan. Bibilitrik.” (Mamang mau buka usaha warung kecil, mau berjualan untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau sudah ada modal, akan mulai berdagang leuleutikan.)
Jika suatu hari Anda melewati Kampung Cipunaga, Desa Cihara, di ujung selatan Lebak, Banten, sempatkanlah mampir. Duduklah bersama Mang Usam, dan rasakan sendiri kehadiran seorang lelaki yang tidak bisa melihat dunia, tetapi menyinari dengan ketulusan hati yang luar biasa.—(***)