Oleh: H. Edi Murpik
(Catatan perjalanan menelusuri pelosok kampung)
Di balik gemuruh ombak Samudra Hindia dan hiruk-pikuk wisatawan, ada suara yang nyaris hilang ditelan zaman. Suara itu berasal dari sunyi Ciaseum, sebuah dusun kecil di Desa Sawarna, Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Di sana bersemayam seorang tokoh yang pernah menjadi Bupati Banten Kidul, dua abad silam: Tumenggung Suradilaga.
Tidak ada petunjuk atau papan nama. Tidak ada pagar, dan sedikit narasi sejarah. Hanya seonggok nisan tua di tanah datar berpasir, diselimuti rumput dan daun-daun kering. Inilah satu-satunya penanda keberadaan, Tumenggung Suradilaga, Bupati Banten Kidul pertama dan terakhir di masa kolonial Inggris.
Saat saya mengunjungi makam tersebut, dan bertanya kepada seorang warga, Mang Ade, jawabnya: “Itu makam Tumenggung, sisi sawah”. Tapi saat saya bertanya kembali, siapa beliau, ia tidak tahu,”.
“Duka teu terang, urang dieu mah terangna makam tumenggung,” kata Mang Ade, seorang warga Sawarna, Minggu 8 Juni 2025.
Saya menghubungi Aa Erwin Komara Sukma, mantan Kepala Desa Sawarna, dua periode (1999 -2009). Tapi di masa jabatan periode kedua mengundurkan diri, karena terpilih menjadi anggota DPRD Lebak.
Kami pun bertemu di sebuah pondok wisata. “Aa sendiri, mengetahui bahwa itu makam Tumenggung Suradilaga, Bupati Banten Kidul pertama dan terakhir, karena ada panggilan rasa. Aa kemudian bertanya kepada ka Cecep Purwadinda (alm) tokoh masyarakat Banten Kidul, turunan Sumedang. Ia mengatakan, bahwa Tumenggung Suradilaga, Bupati Banten Kidul pada jaman kolonial. Kuburannya di Kampung Ciaseum,”.
Dengan dasar itu, Aa Erwin, kemudian memadukan infomasi berdasarkan cerita dan catatan sejarah yang tercecer. Lalu mencari makam tersebut dan ditemukan di sebuah pemakaman umum di Ciasem. Kemudian, makam tersebut dirapihkan dan di bangun sebuah joglo, untuk tempat berteduh para penziarah dikala hujan dan panas. Makam itu memang, sering dikunjungi para peziarah, terutama pada malam tertentu.
“Tapi setelah Aa tidak menjabat, teu aya deui nu ngurus. Nggak ada yang rawat. Area pemakaman itu tidak terawat dan nampak kumuh, ditumuhi rumput. Padahal ini warisan sejarah penting bagi warga selatan Lebak,” kata Aa Erwin lirih.
Saya bersama Aa Erwin menuju makam tersebut dan berziarah. Sebelumna, saya meminta seorang warga yang kebetulan lewat, meminta tolong bantu membelikan sapu lidi dan sekaligus bantu membersihkan sekitar area pemakaman. Rumput liar di babad, daun- daun dan ranting di bakar. Saya pun tak lupa memberian sekedar uang lelah dan meminta agar sesekali makam ini dibersihkan.
Tersingkir oleh Waktu, Tenggelam oleh Wisata
Dalam situs website sejarah berdirinya Kabupaten Lebak, disebutkan bahwa mulai tahun 1811, Kesultanan Banten, berada dibawah kekuasaan Inggris, yang telah merebut Banten dari Belanda. Pada tanggal 19 Maret 1813, Sultan Maulana Muhammad Sofiyudin, (Sultan Banten terakhir) diturunkan secara paksa dari tahtanya oleh Thomas Stamford Raffles (wakil pemerintah Inggris). Pemerintahan Kesultanan Banten, dibekukan dan dibentuklah Karesidenan Banten sebagai pengganti Pemerintahan Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten sendiri hanya dijadikan sebagai lambang dan simbol kebudayaan dan tidak memiliki kedaulatan, dan diangkatlah Joyo Miharjo (orang Rembang-Jawa Tengah) menjadi Sultan Adat Banten dan diberikan gelar oleh pemerintah Inggris, Sultan Muhammad Rafiudin sebagai pengganti Sultan Banten Terakhir (Sultan Maulana Muhammad Sofiyudin).
Joyo Miharjo/Muhammad Rafiudin ialah Suami Ratu Arsiah, dan Ratu Arsiah ialah Adik Ratu Asiah (Ibunda Sultan Maulana Muhammad Sofiyudin), sultan Banten terakhr.
Banten dibagi menjadi 4 wilayah yaitu:Wilayah Banten Lor, Wilayah Banten Kulon, Wilayah Banten Tengah dan Wilayah Banten Kidul. Kabupaten Bupati Banten Kidul dengan ibu kota di Cilangkahan dan ditunjuklah Tumenggung Suradilaga, sebagai bupati.
Pada tahun 1816, Banten kembali dikuasai Belanda. Di tahun itu pula Kesultanan Banten dihapuskan. Joyo Miharjo/Muhammad Rafiudin dicopot gelar Sultannya. Kemudian keempat Bupati yang diangkat oleh Pemerintah Inggris diwilayah Banten, juga di copot dari jabatannya.
Kabupaten Banten Kidul dengan Bupatinya Tumenggung Suradilaga, di hapuskan. Belanda membentuk kabupaten baru, dengan nama Kabupaten Lebak yang beribu kota di Lebak Parahiang, Leuwidamar, sekitaran Kanekes Baduy, pada tanggal 2 Desember 1828.
Tubagus Jamil (Putra Sultan Banten Abul Mahasin Muhammad Syifa’u Zainul Abidin) dengan gelar Raden Adipati Jamil atau Pangeran Sanjaya, diangkat sebagai Bupati Kabupaten Lebak dan Ki Ngabehi Bahu Pringga (Bekas Punggawa Kesultanan Banten) sebagai wakilnya dengan gelar Patih Derus.
Dari Batu Sunyi Menuju Simbol Baru
Hari ini, Sawarna dikenal sebagai kawasan destinasi wisata unggulan di Lebak. Pantai Sawarna, Ciantir, Legon Pari, Tanjung Layar, dan pantai sekitarnya menjadi magnet wisatawan penikmat senja dari berbagai kota. Jalanan yang dulu becek kini sudah cukup bagus dan nyaman dilintasi mobil-mobil wisatawan. Namun, di tengah geliat ekonomi dan pembangunan, kisah Suradilaga tidak ikut dibangkitkan.
“Ini ironi. Tempat ini maju karena alamnya, tapi manusianya—yang pernah berperan—justru dilupakan. Sawarna dan selatan Lebak punya dua kekuatan: alam dan sejarah. Tinggal bagaimana kita mengemasnya.,” kata Erwin lirih.
Harapan masih ada. Gagasan menjadikan makam Tumenggung Suradilaga sebagai situs wisata sejarah, agaknya, belum terlambat. Kenapa tidak Dinas Pariwisata Lebak bersama pegiat wisata mulai digaungkan, dua potensi tersebut ke gelanggang kancah wisata nasional.
Masyarakat selatan Lebak, tengah semangat berjuang membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Cilangkahan, sejak dua dekade, namun hingga kini belum terwujud. Persoalan dari zaman baheula hingga kiwari, agaknya, tidak lepas dari sikap ego penguasa, kendati dalam ranah jaman yang berbeda. Dalam konteks ini, nama Suradilaga bisa menjadi simbol penting: semangat seorang pemimpin lokal pertama, yang mencerminkan embrio pemerintahan pada dua abad lalu di Banten Kidul, meski usianya tidak berumur panjang, kembali dibangkitkan.
Tumenggung Suradilaga memang tidak pernah meminta untuk dikenang. Suradilaga, setelah di copot dari jabatannya, tetap tinggal di bumi Sawarna, di sebuah dusun yang sunyi kala itu. Ia menetap bersama rakyat jelata, hingga akhir hayatnya dan tanpa sebuah penghormatan. Sejarah, akan terulang, hanya beda cerita. Seperti halnya laut, selalu tahu caranya kembali ke pantai.–(***)
*) Penulis pengurus Paguyuban Pasundan di Banten