Oleh: H. Akhmad Jajuli
PEMEKARAN daerah—yakni bertambahnya jumlah provinsi dan kabupaten/kota—merupakan amanat konstitusi. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menegaskan bahwa negara dibagi atas provinsi, yang kemudian dibagi lagi atas kabupaten/kota. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan tantangan pemerataan pembangunan, kebutuhan untuk melakukan pemekaran menjadi semakin relevan.
Tujuan utama pemekaran daerah adalah mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan ekonomi, memeratakan pembangunan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran juga diharapkan dapat memperbaiki kendali pembangunan yang selama ini terlalu luas dan jauh dari pusat pemerintahan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, lahirlah sejumlah provinsi dan kota baru seperti Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Kota Cilegon.
Perkembangan berlanjut dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 78 Tahun 2007, yang melahirkan daerah-daerah baru seperti Kota Serang dan Tangerang Selatan (Banten), Kabupaten Mesuji dan Pesawaran (Lampung), Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), dan lainnya.
Namun sejak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2014 (yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 9 Tahun 2015), pemerintah memberlakukan moratorium pemekaran daerah. Artinya, tidak ada pemekaran daerah yang disahkan selama 11 tahun terakhir.
Perlu ditegaskan, secara legalistik, tidak ada regulasi khusus yang secara eksplisit menyatakan adanya moratorium. Yang terjadi adalah belum disahkannya dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yakni RPP tentang Desain Besar Penataan Daerah dan RPP tentang Daerah Persiapan. Ketiadaan regulasi inilah yang kemudian diartikan sebagai moratorium.
Analogi Moratorium dan Perlunya Pemekaran Parsial
Moratorium dapat diibaratkan seperti tombol “pause” pada pemutar musik. Musik tidak dimatikan, hanya ditunda. Ketika tombol “play” ditekan kembali, musik akan berlanjut. Begitu pula halnya dengan pemekaran daerah—ia bukan dihentikan, melainkan hanya tertunda. Ketika regulasi siap, proses seharusnya dapat dilanjutkan.
Namun, apabila hingga Desember 2025 dua RPP tersebut belum juga diterbitkan, DPR dan DPD RI telah menyepakati rencana revisi terhadap UU Nomor 23 Tahun 2014, yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat 346 Calon Daerah Otonom Baru (CDOB) pada 2025. Jumlah ini mustahil untuk direalisasikan sekaligus. Namun, bukan berarti moratorium harus diperpanjang tanpa batas waktu yang jelas.
Terdapat 91 CDOB yang telah mendapatkan Amanat Presiden (Ampres) pada tahun 2014 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terdiri atas 4 CDOB Provinsi, 22 CDOB kota, dan 65 CDOB kabupaten. Ini adalah daftar yang sudah melalui proses administrasi panjang dan bisa menjadi prioritas dalam pelaksanaan pemekaran secara parsial.
Pemekaran parsial juga bisa diberlakukan bagi CDOB baru lainnya, selama memenuhi kriteria berdasarkan regulasi yang berlaku.
CDOB Kabupaten Cilangkahan
CDOB Kabupaten Cilangkahan di Provinsi Banten merupakan satu dari 91 CDOB yang masuk dalam Ampres 2014. Wilayah ini memiliki kondisi geografis yang ekstrem, dengan jarak bentang utara-selatan mencapai 200 kilometer—mulai dari Kecamatan Cipanas di utara (berbatasan dengan Bogor) hingga Kecamatan Cilograng dan Cibeber di selatan (berbatasan dengan Sukabumi).
Jarak dari Kecamatan Cibeber ke ibu kota Kabupaten Lebak (Rangkasbitung) mencapai 171 kilometer. Untuk ilustrasi, jarak sejauh itu setara dengan lintasan melewati 10 kabupaten/kota di Jawa Tengah, mulai dari Brebes hingga Kota Semarang. Kondisi ini membuat pelayanan publik menjadi tidak efektif.
Kondisi serupa juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, dan Garut di Jawa Barat, serta banyak wilayah kepulauan di Indonesia.
Sikap Bappenas dan Harapan ke Depan
Dalam audiensi FORKONAS (Forum Koordinasi Nasional Percepatan Pemekaran Daerah) dengan Bappenas pada 23 Juli 2025, penulis sebagai Ketua Bidang Konsolidasi FORKONAS menyampaikan bahwa hasil kajian Kemendagri terhadap 203 DOB hasil pemekaran 1999–2013 memang menunjukkan hasil yang bervariasi. Namun, tidak adil jika hasil negatif itu digeneralisasi dan dijadikan alasan untuk menghentikan seluruh proses pemekaran.
Dalam kesempatan itu, Direktur Pemerintahan dan Keuangan Daerah Bappenas, Anang Budi Gunawan, sepakat bahwa pemekaran daerah secara parsial adalah opsi yang relevan: bertahap, terencana, dan berbasis kriteria objektif.
Pemekaran secara bertahap terhadap 91 CDOB, atau minimal 50–70 CDOB, akan menjadi langkah awal yang realistis dan solutif. CDOB lainnya dapat menyusul kemudian, dengan kesiapan dan penguatan kapasitas daerah.–(***)