Pondok Pesantren Al Ma’arij: Meniti Jalan Langit dari Kampung Cipunaga, Ujung Selatan Banten

Para Santri Ponpes Al Ma'arij, berswafoto di halaman ponpes.--(foto: BG)

Di atas perbukitan sunyi di Kampung Cipunaga, Desa Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, sebuah harapan tumbuh perlahan namun pasti. Dari tanah yang dulunya ladang dan semak belukar, kini berdiri cikal bakal lembaga pendidikan yang membawa cahaya ilmu dan nilai-nilai agama bagi anak-anak dari berbagai pelosok. Namanya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ma’arij—tempat sederhana yang lahir dari ketulusan, doa, dan kerja keras seorang anak petani.

Bacaan Lainnya

Adalah Muhammad Gojali, S.Pd.I., putra asli Kampung Cipunaga, yang menggagas dan mewujudkan mimpi ini. Ia lahir pada 1 April 1987 dari pasangan Dulmuti, seorang petani, dan Emi, ibu rumah tangga sederhana.

Gojali bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan, tetapi keyakinannya untuk memberi manfaat bagi orang lain jauh lebih besar daripada segala keterbatasan yang ia miliki.

Setelah menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Al Bayan, Rangkasbitung, di bawah asuhan KH. Eeng Nurhaeni, Gojali kembali ke kampung halamannya dengan satu tekad: mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bisa diakses anak-anak desa tanpa perlu memikirkan biaya. Tekad itu bukan sekadar wacana. Pada 5 Oktober 2021, Pondok Pesantren Al Ma’arij resmi berdiri.

Para santri Ponpes Al Ma’arij, tengah mengaji bersama pemimpin ponpes, Ustadz Muhammad Gojali.–(foto:BG)

Pesantren ini bukan sekadar tempat menimba ilmu, melainkan rumah kedua bagi 25 santri yang datang dari berbagai daerah—dari Pusakanagara di Subang, Jawa Barat,  Kampung Cigalempong di Rangkasbitung, hingga kampung-kampung pelosok Cihara seperti Cibobos, Malandingan, Cigaber, dan Cingenge. Bahkan warga Kampung Cipunaga sendiri kini turut menitipkan harapan mereka kepada pesantren ini.

Yang membuat Pondok Pesantren Al Ma’arij istimewa, seluruh santri tidak bebankan biaya secara nominal. Biaya operasional, pembangunan, hingga kebutuhan harian seperti makan dan tempat tinggal, seluruhnya ditanggung oleh swadaya keluarga besar Gojali dan para dermawan.

Gojali dan istrinya, Vuri Nurmasari—rekan seperjuangannya sejak di pesantren—bersama-sama membesarkan lembaga ini dengan penuh cinta dan pengorbanan. Mereka telah dikaruniai dua anak: Riezha Hafdzan Mumtaz dan Reizha Arsyaka Mumtaz, yang tumbuh dalam lingkungan religius dan penuh semangat perjuangan.

Namun, membangun pesantren bukanlah perkara mudah. Mengasuh, memberi makan, dan mengajar anak-anak bukan pekerjaan ringan. Terlebih lagi, Gojali bukan orang yang bergelimang harta.

“Istri saya sering cemberut, dan saya paham. Pasti urusan beras sudah habis dan belum ada untuk makan anak-anak santri. Tapi semua itu bisa di lalui, kadang dengan cara saya sendiri—berkomunikasi dengan teman dan keluarga,” ujarnya lirih, di saung sederhana halaman pondok, Minggu (25/5/2025).

Pembangunan mushola dan majlis ponpes Al Ma’arij, belum rampung karena terkendala biaya–(foto:BG)

Di balik semangat itu, ada satu sosok yang selalu menguatkannya—Mang Usam, seorang tetangga yang tunanetra. Rumahnya sekitar 200 meter dari pondok. Setiap bulan, Mang Usam memikul sekarung beras atau  bahan makanan apa saja disumbangkan kepada para santri.

“Saya sudah sering melarang Mang Usam. Tapi beliau selalu bilang: ‘Maukah Kiai menanggung dosa saya di akhirat nanti karena saya membiarkan santri kelaparan? Ini fisabilillah,’” kenang Ustaz Gojali menirukan ucapannya.

Saat ini, Gojali tengah membangun sebuah musala berukuran 6 x 10 meter untuk tempat ibadah dan kegiatan majelis. Sayangnya, pembangunan baru sampai tahap pondasi karena keterbatasan dana. Ia mengetuk hati para dermawan yang ingin menyisihkan sebagian hartanya demi kelangsungan pendidikan dan syiar Islam di kampung kecil, di ujung selatan Banten.

Dari puncak bukit tempat pondok berdiri, nun di  bawah sana, terbentang luas pemandangan laut biru. Di saat malam tiba, kerlip lampu nelayan di kejauhan seolah menjadi saksi bisu perjuangan seorang anak desa yang ingin membuat perubahan. Kampung yang dahulu terisolasi kini perlahan menjadi pusat harapan.

Dalam setiap langkahnya, Gojali senantiasa mengingat firman Allah, Surah At-Tahrim ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”

Dari lingkungan keluarga, ia memulai gerakan pendidikan ini. Bukan karena merasa lebih alim atau lebih mampu, tetapi karena keyakinan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang memberi manfaat bagi sesama.

Santri Ponpes Al Ma’arij, saat belajar di halaman ponpes.–(foto: BG)

Kini, Pondok Pesantren Al Ma’arij terus berjalan di tengah berbagai keterbatasan. Harapannya satu: agar tempat ini menjadi ma‘arij—tangga yang membawa anak-anak desa menuju ketinggian ilmu, iman, dan akhlak mulia.

Pondok Pesantren Al Ma’rij, didirikan berdasarkan Akta Notaris Notaris Nomor 06 Tanggal 5 Januari 2022, dengan nama Yayasan Al Maarij Hafdzan Cipunaga, NSP 510236022174.

Program pendidikan yang dikelola di pesantren ini terdiri atas dua jenjang: program enam tahun bagi lulusan SD/MI dan tiga tahun bagi lulusan SMP/MTs. Kegiatan santri meliputi pembinaan tilawatil quran, latihan pidato dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia), olahraga, kesenian, keterampilan, dan kepramukaan. Selain itu, mereka juga rutin melantunkan marhaban dan mempelajari kitab Aqidatul Awam.

Saat ini, pondok telah memiliki asrama santri, ruang kelas, dapur umum, kamar mandi, dan lapangan untuk kegiatan luar kelas. Namun, seiring bertambahnya jumlah santri, dibutuhkan tambahan ruang kelas dan bangunan majelis sebagai tempat salat berjamaah.

Semoga banyak tangan yang tergerak untuk mendukung perjuangan ini. Sebab setiap jengkal pondasi yang dibangun, setiap sajadah yang dibentangkan, dan setiap doa yang dipanjatkan di pesantren ini adalah bagian dari amal jariyah yang pahalanya tak akan pernah putus.—(dimas)

Pos terkait