Oleh: Hayat (AA) Syahida
Dalam perjalanan batin manusia, ada satu wilayah sunyi yang sering terlupakan: ruang hening di dalam diri. Di tengah riuh pikiran yang melompat ke masa lalu dan berlari ke masa depan, tubuh sesungguhnya terus berbisik.
Ia mengirimkan pesan cinta yang halus, namun tak selalu kita dengar. Inilah yang oleh sebagian ajaran sufi disebut sebagai riksā salira—menyelidiki diri, memeriksa raga, rasa, dan napas sebagai jalan pulang kepada Sang Khalik.
“Tutuplah sejenak matamu, rasakan keluar–masuknya napas secara alami dalam kelembutan. Maka engkau akan merasakan sesuatu yang lebih dekat di dalam dirimu. Sering kita mencari Tuhan di luar tubuhmu, padahal Dia lebih dekat daripada urat lehermu. Bukan Tuhan yang jauh dari kita, tetapi pikiranmulah yang terlalu bising. Duduklah, pejamkan matamu dalam hening, maka engkau akan merasakan kedekatan dengan-Nya.”
Firman Allah menegaskan kedekatan itu: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”(QS. Qaf: 16)
Ketika Pikiran Menyedot Energi Tubuh
Pikiran manusia adalah sumber energi, namun juga sumber kebocoran energi terbesar. Dalam kondisi diam saja, pikiran mengonsumsi sekitar 20 persen energi tubuh. Apalagi bila ia berkelana tak terarah—melompat pada penyesalan masa lalu atau kecemasan masa depan. Pikiran yang gaduh tak hanya melelahkan, tetapi juga menguras vitalitas, merusak keseimbangan, bahkan menurunkan daya tahan tubuh.
Pepatah Sunda mengingatkan:“Cai teu meunang kiruh, hate teu meunang rudet.”(Air tak boleh keruh, hati tak boleh gaduh.) Hening membantu kita menjernihkan air hati itu.
Hening bukan sekadar diam. Ia adalah keputusan untuk mengistirahatkan pikiran, melepaskan diri dari setiap penolakan, kekhawatiran, dan perlawanan batin. Dalam hening, kita mengembalikan perhatian kepada tiga hal yang sering kita abaikan: napas, rasa, dan raga.
Dengan berkonsentrasi pada napas:pikiran-pikiran liar mulai mereda, tubuh masuk ke keadaan rileks, sel-sel tubuh memperbaiki dirinya, aliran energi kembali harmonis, dan imunitas meningkat.
Tubuh yang rileks adalah tubuh yang sedang menyembuhkan. Pada titik inilah kita mulai mendengar pesan cinta tubuh yang selama ini tertutup oleh kebisingan pikiran.
Pesan Cinta di Balik Setiap Penyakit
Dalam perspektif batin, setiap penyakit membawa pesan. Bukan untuk menakutkan, tetapi untuk menyadarkan. Penyakit Tumor, sering lahir dari emosi yang dipendam: kesedihan yang berlarut, kekecewaan, rasa takut yang tak pernah kita keluarkan. Penyakit Kanker, berakar dari luka batin yang lama, endapan energi negatif yang dibiarkan menumpuk.
Sementara, Autoimun: tubuh sedang berkata: “Engkau terlalu sering membohongi dirimu sendiri demi menyenangkan orang lain.” Mulut berkata ya, tapi hati berkata tidak. Pergolakan itu menjadi racun. Tubuh mengajak kita untuk kembali jujur kepada diri sendiri.
Hening tidak menyembuhkan dengan melawan penyakit. Hening menyembuhkan dengan cara berbeda—dengan tersenyum kepada setiap keadaan, menerima diri apa adanya, tidak lagi memerangi hidup, tetapi berdamai dengan setiap pasang surut yang Tuhan hadirkan.
Sikap ini sejalan dengan ajaran para karuhun Sunda: Nampa kana kanyataan, ngahaturkeun nuhun kana sagala kaayaan (menerima kenyataan, bersyukur atas segala keadaan.)
Dalam hening, kita berkata YES pada kehidupan—pada berkah kekinian yang Tuhan hadirkan tanpa kita sadari.
Riksa salira adalah jalan keheningan yang membawa kita pulang pada diri sejati. Pulang pada Tuhan yang dekat. Pulang pada tubuh yang setia menjaga kita selama ini. Pulang pada napas yang tak pernah berhenti bekerja, bahkan saat kita melupakannya.
Semoga kita semua dilimpahi kesehatan, keberkahan, dan hidup yang semakin berkualitas.
Aamiin.—(***)








