Rineksa Panca Satya: Falsafah Luhur Dayeuhluhur dan Nilai Adat Sunda

Rineksa Panca Satya: Falsafah Luhur Dayeuhluhur dan Nilai Adat Sunda
Kang Oos Supyadin.-

Oleh: Kang Oos Supyadin, SE., MM.

Di balik sejarah panjang Kerajaan Sunda Galuh, tersimpan sebuah falsafah luhur yang jarang dibahas namun memiliki nilai kehidupan yang tetap relevan hingga hari ini. Falsafah itu bernama Rineksa Panca Satya, lima janji suci yang diucapkan Prabu Gagak Ngampar saat mendirikan Kerajaan Dayeuhluhur.

Lebih dari sekadar sumpah seorang raja, Rineksa Panca Satya memuat ajaran mendalam tentang kepemimpinan, kerendahan hati, cinta tanah air, serta penghormatan terhadap sesama—kearifan lokal yang kembali menjadi rujukan penting dalam memahami budaya Sunda.

Pada masa silam, jauh sebelum peta dan batas administratif modern dibuat, tanah Sunda pernah berdiri megah di bawah Kerajaan Sunda Galuh. Sekitar tahun 1333–1482 Masehi, pusat pemerintahannya berada di Kawali, dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana—seorang raja bijaksana yang dikenal mampu menjaga harmoni di antara berbagai wilayah kekuasaannya.

Prabu Niskala Wastu Kencana memiliki dua istri. Dari istri pertama lahirlah seorang putra yang kelak menjadi Prabu Susuk Tunggal, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, Bogor. Sementara dari istri kedua terlahir Prabu Dewa Niskala, penerus tahta di Kawali (Galuh). Dua garis keturunan ini kelak memainkan peran penting dalam menyatukan, sekaligus menyebarkan nilai-nilai luhur tatanan Sunda.

Sang raja juga memiliki adik sepupu bernama Prabu Linggawesi, ayah dari Prabu Gagak Ngampar dan Prabu Banyak Cakra. Karena pertalian darah itulah, Prabu Gagak Ngampar dan Prabu Dewa Niskala sebenarnya merupakan saudara sepupu. Namun dalam dinamika kekuasaan, persaudaraan kadang diuji oleh ambisi dan masa depan kerajaan.

Asal-usul Dayeuhluhur dan Sebuah Keputusan Bijak

Ketika Prabu Niskala Wastu Kencana menua, tahta Kawali diwariskan kepada Prabu Dewa Niskala. Di sisi lain, Gagak Ngampar yang masih muda memiliki keinginan kuat untuk memimpin Kawali. Demi menghindari konflik dan pertumpahan darah antar saudara, sekaligus memperkuat pertahanan dari arah timur, Prabu Dewa Niskala memilih solusi yang elegan: ia memberikan sebuah wilayah penting di sebelah timur Sungai Cijolang untuk dipimpin Gagak Ngampar. Wilayah itu kelak dikenal dengan nama Kerajaan Dayeuhluhur.

Prabu Gagak Ngampar berangkat dari Kawali bersama para ponggawa, prajurit, serta perbekalan. Rombongan ini menempuh jalur panjang melalui Pongpet, Matenggeng, Cilulu, hingga akhirnya tiba di sebuah bukit kecil yang kemudian dinamakan Geger Nya’an. Di sinilah mereka bermukim sementara sambil membangun pusat kerajaan baru di Salang Kuning.

Pada titik inilah, Prabu Gagak Ngampar mengucapkan sebuah sumpah luhur yang kelak menjadi fondasi moral kerajaan Dayeuhluhur: Rineksa Panca Satya.

Wilayah Kekuasaan Dayeuhluhur

Di bawah Gagak Ngampar, Dayeuhluhur—yang tetap menjadi bagian dari Kerajaan Kawali—membentang luas:

  • Barat: Sungai Cijolang
  • Timur: Kademangan Caduk / Wangon
  • Selatan: Sagara Anakan dan Pegunungan Tugel Igel
  • Utara: Leuweung Wates, hutan rimba Pegunungan Pembarisan

Bukan hanya wilayahnya yang luas, tetapi nilai-nilai yang melandasinya pun sangat dalam.

Makna Rineksa Panca Satya dalam Tradisi Adat Sunda. Rineksa Panca Satya bukan sekadar sumpah seorang raja. Ia adalah cermin nilai-nilai kearifan Sunda yang diwariskan untuk kehidupan. Rineksa berarti upaya mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh; panca berarti lima; satya berarti janji. Maka Rineksa Panca Satya berarti: “lima janji luhur yang dijaga sepenuh hati.

Berikut makna dari masing-masing satya:

  1. Satya Pertama

“Andika kudu apal ragragna kalakay di Walungan Cijolang nepi ka walungan gede.” “Kamu harus mengetahui gugurnya daun kering dari Sungai Cijolang hingga ke Sagara Anakan.”

Makna: Pemimpin—dan manusia—hendaknya memahami tugasnya secara menyeluruh, hingga hal terkecil sekalipun. Ini mengajarkan kecermatan, keluasan berpikir, serta kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.

  1. Satya Kedua

“Andika ulah tanggah ka gunung, tapi kudu tungkul ka laut jeung sing jadi sagara kahirupan.” “Janganlah engkau mendongak ke gunung, tetapi tunduklah kepada laut dan jadilah lautan kehidupan.”

Makna: Kerendahan hati adalah sumber keteduhan. Seperti lautan yang menampung sungai, manusia diajak untuk menjadi tempat berlabuh bagi sesama—menolong semampunya dan memberi tanpa pamrih.

  1. Satya Ketiga

“Andika ulah ngaleutikeun hate batur komo ngahina bisi mantak sial.” “Jangan mengecilkan hati orang lain, apalagi menghina, karena bisa mencelakakanmu.”

Makna: Setiap orang memiliki martabat. Menghina hanya menanam luka yang kelak mungkin kembali pada diri sendiri. Falsafah ini menanamkan empati dan penghormatan terhadap sesama.

  1. Satya Keempat

“Andika kudu sare bari nyaring jeung nyaring bari sare.” “Engkau harus tidur dalam keadaan terjaga, dan terjaga dalam keadaan tidur.”

Makna: Jangan lengah. Hidup membutuhkan kewaspadaan, tapi bukan kecemasan. Kita perlu mampu menempatkan diri dalam berbagai keadaan, tanpa kehilangan ketenangan.

  1. Satya Kelima

“Lemah cai jeung saeusina alam ieu téh getih jeung nyawa andika nu kudu dipusti-pusti jeung diagungkeun.” “Tanah air dan alam semesta adalah darah dan nyawamu—rawatlah dan muliakanlah.”

Makna: Cinta tanah air bukan slogan, melainkan laku hidup. Alam adalah bagian dari diri kita, maka menjaganya berarti menjaga kehidupan itu sendiri.

Jika kita menyimak dari awal hingga satya kelima, Rineksa Panca Satya bukan hanya milik sejarah Dayeuhluhur atau masyarakat adat Sunda. Nilai-nilainya tetap relevan hari ini—di tengah dunia yang serba cepat dan kerap memecah perhatian kita.

Falsafah ini mengajak kita untuk lebih peka, lebih rendah hati, lebih menghargai sesama, lebih waspada terhadap keadaan, dan lebih mencintai lingkungan. Nilai-nilai universal yang menuntun manusia menuju kehidupan yang paripurna.

Semoga warisan leluhur ini dapat terus menjadi cahaya bagi generasi sekarang dan yang akan datang.–(***)

Rahayu

*) Penulis adalah Pengurus Dewan Adat Kabupaten Garut, sekaligus Pemerhati Kesejarahan &  Budaya.

Pos terkait