Sejarah Kasepuhan Lebak dan Seruan SABAKI untuk Perlindungan Hutan Adat

Sejarah Kasepuhan Lebak dan Seruan SABAKI untuk Perlindungan Hutan Ada

Oleh: H. Edi Murpik

(Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten)

Bacaan Lainnya

 

Di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, hamparan hutan alami bukan hanya menjadi bentang alam, tetapi juga ruang hidup masyarakat adat. Di wilayah ini, terutama di selatan Banten Kidul,  peradaban adat sudah ada dan terus berkembang. Selama ratusan tahun, kehidupan  masyarakat yang dibingkai kearifan lokal, tetap  hidup  berdampingan dengan alam.

Namun, derasnya arus modernisasi, ekspansi industri, serta alih fungsi lahan yang tidak terkendali membuat keberadaan hutan dan tanah adat semakin terancam.

Dalam laporan Media Wongabay, edisi 12 November 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Indonesia untuk memperkuat perlindungan wilayah adat, menghentikan kriminalisasi masyarakat adat, serta mempercepat pengakuan hak komunal sebagai bagian dari komitmen internasional mengenai Indigenous Peoples Rights.

Seruan PBB jelas: lindungi tanah adat, selesaikan konflik struktural, dan tegakkan hukum yang berpihak kepada masyarakat adat. Pertanyaannya, apakah pemerintah merespons desakan tersebut dengan serius?

Wilayah Kasepuhan di Lebak memiliki sejarah panjang, jauh sebelum masa Kesultanan Banten. Masyarakat adat dikenal sebagai pewaris budaya agraris dan spiritual berbasis tradisi Sunda Wiwitan, serta pengelola hutan melalui sistem adat yang telah terbukti menjaga kelestarian lingkungan.

Beberapa kasepuhan tertua di antaranya: Kasepuhan Cisungsang, sebagai pusat adat yang dikenal sebagai komunitas pewaris rajah agraris sekaligus pengelola hutan adat sejak puluhan generasi. Kemudian, Kasepuhan Citorek, yang terkenal dengan pengelolaan hutan larangan (leuweung tutupan) yang masih lestari.

Lalu,  Kasepuhan Cibedug dan Cicarucub, yang menerapkan sistem leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan. Selain itu, Kasepuhan Guradog, Margaluyu, Ciptagelar, serta sejumlah kasepuhan lainnya yang tersebar di perbukitan selatan Lebak.

Dalam tradisi Kasepuhan, hutan atau leuweung dikelola secara komunal melalui tiga pembagian utama: Leuweung Tutupan atawa Hutan Larangan yang tidak boleh dibuka untuk alasan apa pun. Fungsi utamanya menjaga ekologi dan spiritualitas komunitas.

Ada juga yang disebut Leuweung Titipan, yaitu kawasan hutan cadangan ekologis yang dijaga ketat sebagai kawasan penyangga. Kemudian, Leuweung Garapan, yaitu area yang boleh dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat melalui aturan adat yang ketat, seperti nyacar, nugal, dan ngaseuk. Sistem ini terbukti menjaga kelestarian hutan, mata air, dan lingkungan selama ratusan tahun.

Penetapan Tanah Adat, Masih Setengah Jalan

Kementrian Lingkungan Hidup, telah menerbitkan sejumlah Surat Keputusan Hutan Adat untuk beberapa kasepuhan, di antaranya: SK.10085/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.3/12/2022 tentang Penetapan Status Hutan Adat dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cibedug seluas ± 1.268 hektare di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.

Kemudian, SK tentang Penetapan Status Hutan Adat dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu seluas ± 1.967 hektare di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak; SK Menteri LHK No. 6748/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.3/2016 tentang Penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang; SK tentang Penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas ± 490 hektare di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak; dan SK Menteri LHK Nomor: SK.10084/MenLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2022 Tanggal 23-12-2022, tentang Penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cisungsang seluas ±1.599 hektare di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.

Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Sementara, Pemerintah Kabupaten Lebak, Banten, bersama Legislatif telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.

Dalam SK Kemen LH tercantum kewajiban dan larangan tentang pengelolaan hutan adat.  Kewajiban  yang harus dipatuhi, diantaranya; menjalankan pinsip pengelolaan hutan, memanfaatkan hutan adat sesuai dengan kearifan lokal, mempertahankan fungsi hutan adat, memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan adat, melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutan adat berpa kerusakan hutan,kebakaran hutan .

Sedangkan larangan, diantaranya; menyewakan areal hutan adat, mengubah status dan fungsi hutan adat, memperjualbelikan dan/atau mememindahtangankan areal hutan adat kepada pihak lain, menebang pohon pada areal hutan adat dengan fungsi konservasi, menggunakan peralatan mekanis pada areal hutan adat dengan fungsi konservasi, membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam pada areak hutan adat dengan fungsi konservasi dan menananam kelapa sawit pada areal hutan.

Meski sejumlah wilayah tanah adat telah mendapatkan penegasan pengakuan, konflik tanah tetap berlanjut. Penyebab utamanya ialah ketiadaan peta wilayah adat dalam tata ruang daerah, yang dapat di akses dengan mudah oleh masyarakat adat. Akibatnya, perusahaan tambang, perkebunan, hingga pariwisata sering mendapatkan izin di wilayah adat yang telah digarap secara komunal selama berabad-abad. Kriminalisasi warga, intimidasi, dan pemaksaan pengosongan lahan menjadi cerita berulang.

Investasi besar di sektor tambang dan infrastruktur memang membuka lapangan kerja, tetapi sering kali mengorbankan ruang hidup masyarakat adat. Penurunan hutan tutupan (hutan larangan) di Banten menjadi bukti nyata. Hutan berubah menjadi lahan gundul, seperti di wilayah Cipamumbulan, Cibeber, Bayah dan Cibareno. Dampaknya, sumber air mulai berkurang, sering terjadi bencana longsor dan satwa endemik kehilangan habitat.

Pembalakan liar masih marak akibat minimnya pengawasan. Di sisi lain, masyarakat adat tetap menjadi benteng terakhir pelestarian hutan melalui sistem adatnya.

Pengakuan Tanah Adat adalah Kunci Pelestarian

Ketua SABAKI, Ki Sukanta, menegaskan bahwa Masyarakat Kasepuhan Adat telah menjaga hutan sebelum Republik Indonesia berdiri. Karena itu, pengakuan resmi terhadap wilayah adat tidak boleh lagi ditunda.

“Masyarakat Adat Kasepuhan sudah menjaga hutan sejak sebelum republik ini lahir, kendatipun tanpa pengakuan tanah adat dan sertifikat wilayah adat, tapi perjuangan tidak pernah padam. Para Kasepuhan tetap menjaga dan melindungi hutyan,” kata Ki Sukanta.

Ia menekankan bahwa pelestarian hutan harus dimulai dari: Undang-Undang Hukum Adat, Pemetaan partisipatif wilayah adat, Integrasi wilayah adat dalam RTRW, dan Sertifikat Tanah Adat (STA) yang diakui negara.

Bagi masyarakat adat Banten Kidul, hukum adat adalah bagian dari sejarah bangsa yang telah ada jauh sebelum negara berdiri. Oleh karena itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat yang kini mangkrak di DPR RI, menjadi kebutuhan mendesak.

“Tidak ada alasan bagi DPR RI untuk menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat. Jika pemerintah benar-benar berpihak kepada masyarakat adat, undang-undang tersebut harus segera disahkan,” ujar H. Sukanta, Kamis (30/10/2025).

Kearifan Lokal, Membuktikan Pelestarian Hutan

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan hutan di wilayah Kasepuhan jauh lebih rendah dibanding kawasan hutan produksi atau hutan negara. Faktor utamanya adalah: larangan keras menebang pohon di hutan larangan; aturan adat sebelum membuka ladang; gotong royong dalam setiap tahapan bercocok tanam; dan hubungan spiritual masyarakat dengan hutan sebagai titipan leluhur.

Di Kabupaten Lebak, Banten, terdapat 522 Kasepuhan yang tersebar di 15 kecamatan, mulai dari Bayah, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigemblong, hingga Leuwidamar dan Curugbitung. Dalam struktur sosial adat, terdapat: Pupuhu (induk), Sesepuh Kampung, dan Sesepuh Rendangan atau Gurumulan

SABAKI yang didirikan pada tahun 2000, saat sedang melakukan inventarisasi dan verifikasi ulang jumlah kasepuhan di wilayah Kabupaten Lebak, sebagai bahan revisi Lampiran Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kasepuhan.

Sementara, Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Lebak, Akhda Jauhari, menyatakan, pihaknya mengapresisasi perjuangan SABAKI dalam memperjuangkan pengakuan wilayah tanah masyarakat adat dan regulasi hukum masyarakat adat.

“Kami  siap membantu dalam penerbitan sertifikat tanah adat, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk menjawab persoalan tersebut, pihaknya dalam waktu dekat akan mengadakan audiensi  dengan para pemangku adat kasepuhan di Banten Kidul,”kata Akhda, yang pernah bertugas sebagai Kepala ATR/BPN di Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.–(***)

Pos terkait