Seni Rengkong, Simbol Syukur dan Harmoni dalam Tradisi Seren Taun Masyarakat Adat Cisitu

Seni Rengkong, tetap lestari di masyarakat kasepuhan adat Cisitu.--(foto: ridwan)

Lebak, BantenGate.id—Dalam setiap dentang bambu yang beradu, dalam setiap langkah kaki yang menghantar padi menuju leuit, kesenian Rengkong, tetap hidup di tengah masyarakat adat Kasepuhan Cisitu. Warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun ini,  menjadi salah satu  penting dalam upacara adat Seren Taun.

Bacaan Lainnya

Rengkong bukan sekadar alat bantu memanggul padi. Ia adalah warisan budaya masyarakat Sunda yang sarat makna dan spiritualitas. Dalam upacara Seren Taun ke-340 yang digelar tahun ini, rengkong kembali memainkan peran sentral. Suara khasnya—hasil gesekan bambu dan tali ijuk—berpadu dalam irama alami yang menggugah suasana sakral dan penuh rasa syukur.

Secara fisik, rengkong terbuat dari potongan bambu kuat yang diikat dengan tali ijuk. Fungsinya sederhana: mempermudah membawa ikatan padi dari sawah menuju leuit (lumbung padi). Namun saat digunakan dalam prosesi adat, alat ini menjelma menjadi pertunjukan budaya yang unik. Para lelaki adat mengenakan pakaian tradisional Sunda, memanggul rengkong sambil menari mengikuti irama alam dan suara bambu yang bergema di sepanjang arak-arakan padi.

“Setiap bagian dari rangkaian Seren Taun memiliki makna ritual tersendiri. Salah satunya adalah rengkong, yang bukan hanya membawa padi, tapi juga membawa doa dan rasa syukur kepada leluhur dan Sang Pencipta,” ungkap Reza Indrawan, warga adat Cisitu, Jumat (25/7/2025).

Tradisi Seren Taun sendiri telah berlangsung sejak tahun 1685. Ia adalah perayaan puncak dari musim panen, di mana hasil bumi diarak secara simbolis menuju leuit sebagai bentuk penghormatan kepada alam, leluhur, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam konteks ini, rengkong bukan hanya alat, melainkan simbol dari keharmonisan antara manusia dan lingkungan, antara kerja keras dan spiritualitas.

Nama “rengkong” berasal dari kata “reng” yang berarti bunyi, dan “kong” yang bermakna besar atau agung. Sehingga rengkong dimaknai sebagai suara besar yang menggemakan puji-pujian dan penghormatan atas karunia panen yang melimpah.

Keberadaan rengkong menjadi bukti nyata bagaimana budaya, seni, dan keyakinan hidup berdampingan dalam keseharian masyarakat adat. Ia hadir tidak hanya dalam seremoni, tapi juga dalam kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menghargai hasil bumi dengan penuh rasa syukur.

Seren Taun dan rengkong adalah pengingat bahwa di balik kemajuan zaman, masih ada ruang di hati masyarakat adat untuk menjaga denyut nadi tradisi. Di Cisitu, budaya bukan sekadar peninggalan—ia adalah napas kehidupan itu sendiri.

Pos terkait