Seren Taun Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu 2025: Warisan Leluhur yang Terus Menyala

Wakil Bupati Lebak, H. Amir Hamzah (tengah) saat menghadiri acara Seren Taun Kasepuhan Cisitu.--(foto: ist)

Di tengah rimbunnya kaki Gunung Halimun, di sebuah kampung adat yang telah berumur lebih dari tiga abad, masyarakat Kasepuhan Cisitu kembali menggelar upacara adat Seren Taun, Minggu 20 Juli 2025. Acara adat Seren Taun, sebuah prosesi sakral yang tidak hanya menandai berakhirnya musim panen, tetapi juga menjadi bentuk syukur mendalam atas anugerah kehidupan.

Bacaan Lainnya

Seren Taun bukan sekadar pesta panen. Ia adalah untaian nilai, cinta pada tanah, penghormatan terhadap leluhur, dan ikhtiar menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan tema yang diusung—Tradisi, lain kudu dipigusti tapi kudu dipupusti” bahwa adat bukan untuk disembah, melainkan untuk dirawat dengan penuh cinta, berlangsung meriah.

Selama sepekan penuh, dari 14 hingga 21 Juli, kampung adat Cisitu dipenuhi semangat gotong royong dan kebahagiaan. Tak hanya warga lokal, para tamu dari berbagai penjuru tanah air pun hadir, termasuk tokoh nasional seperti Anggota Komisi X DPR RI, H. Adde Rosi Khoerunnisa, yang menyampaikan apresiasi tulus.

“Tradisi ini bukan hanya milik Cisitu, tapi juga kebanggaan Indonesia. Kita perlu menjaganya bersama,” ujarnya di hadapan ribuan warga yang hadir.

Wakil Bupati Lebak,  H. Amir Hamzah, bersama jajaran pejabat Pemda Lebak, seperti Kadisbudpar Lebak, Imam Rismahayadin, Kaban Kesbangpol, H. Sukanta, dan Direktur Badan Pengelola Geopark Bayah Dome, juga turut hadir dalam prosesi puncak. Kehadiran mereka menandakan bahwa tradisi bukan hanya soal budaya, tapi juga pintu masuk menuju penguatan identitas daerah dan penggerak ekonomi rakyat.

Kadispar Lebak, Imam Rismahayadin, saat prosesi memasukan padi ke dalam leuit (lumbung) padi.–(foto: ist)
Rangkaian Acara dan Doa

Tradisi Seren Taun di Cisitu telah berlangsung sejak tahun 1685, dijaga turun-temurun oleh masyarakat adat. Upacara ini tidak berlangsung dalam satu hari, tetapi dalam serangkaian kegiatan yang penuh makna spiritual, sosial, dan ekologis.

Beberapa prosesi penting meliputi; Ngajayak – Prosesi menjemput padi dari sawah, sebagai bentuk penghormatan atas hasil bumi yang melimpah, Rasul Pare di Leuit – Penempatan padi di lumbung adat yang menandai kesiapan menghadapi musim tanam baru, serta simbol ketahanan pangan lokal, Salamet Beberes Ngueh – Kaum ibu dan gadis remaja menyiapkan kudapan tradisional, menebar semangat gotong royong dan kebersamaan, dan Bubuka – Pembukaan acara dengan seni tradisi Sunda: calung, angklung buhun.

Kemudian acara,  jaipongan, yang membawa suasana haru sekaligus harapan, Balik Taun Rendangan – Musyawarah adat untuk mengevaluasi hasil panen, menyampaikan kondisi sosial, dan merumuskan harapan masa depan, Ngareremokeun – Persembahan seni dan doa kepada Nyi Pohaci Sanghyang Asri, Dewi Padi dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, dan Memasukkan Padi ke Leuit – Prosesi inti yang diselimuti suasana khidmat dan penuh doa.

Suara Luhur

Di tengah puncak acara, Abah H. Yoyo Yohenda, Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu, berdiri dengan mata berkaca-kaca, suaranya lembut namun menggetarkan:

“Seren Taun bukan sekadar panen. Ini adalah pertemuan antara rasa syukur, semangat gotong royong, dan ikatan kami dengan leluhur. Ini adalah jalan hidup kami.”

Abah Yoyo juga menyampaikan aspirasi penting, bahwa selain menjaga tradisi, masyarakat Cisitu juga ingin menjadi bagian dari pembangunan daerah, termasuk melalui permohonan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dari Kementerian ESDM, agar sumber daya alam di daerah mereka dapat dikelola sendiri oleh warga, bukan hanya menjadi penonton. Permintaan pembangunan jalan menuju Cisitu pun menjadi harapan besar demi konektivitas dan kesejahteraan.

Seren Taun adalah cermin peradaban—bahwa di tengah dunia yang terus berubah, masyarakat adat tetap menjadi penjaga nilai-nilai luhur. Tradisi ini bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi yang kokoh untuk melangkah ke masa depan dengan identitas yang kuat.

Dalam setiap bunyi kentongan, denting angklung, aroma nasi liwet, dan senyum anak-anak yang berlarian di halaman rumah adat, Seren Taun mengajarkan kita satu hal: bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari kesederhanaan yang penuh makna, dan syukur adalah energi yang menghidupkan semesta.

Acara adat Seren Taun Cisitu 2025  sudah selesai. Namun kisahnya terus hidup, berhembus bersama angin Gunung Halimun, dan tumbuh dalam hati setiap anak negeri yang masih percaya, bahwa tradisi bukanlah warisan masa lalu—melainkan nyala api masa depan yang tak boleh padam.–( ridwan/red)

Pos terkait