Oleh: Abah Kasep
“Kadang manusia perlu kesendirian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berdebat dengan orang yang penuh ego—ingin menang sendiri dan merasa paling benar. Tapi ketika kita sendirian, kita bicara jujur dengan diri sendiri dan alam.”
Kalimat itu diucapkan seorang sahabat. Dalam masa mudanya, Hayat (AA) Syahida—Ki Badai Sagara—di kampungnya, Cikelet, Garut Selatan, kerap dianggap “aneh”. Ia menjalani banyak laku tirakat: puasa mutih, puasa ngebleng, menyepi di pinggir hutan, di tepi sungai, hingga di tepi laut. Laku yang bagi sebagian orang tampak melampaui batas kewajaran.
Usia saya dan Ki Badai Sagara tidak terpaut jauh, hanya berselisih sekitar tiga tahun. Kami bersahabat sejak masih aktif di organisasi yang berbeda, tetapi sering bekerja sama. Pertemuan terjadi di seminar, lokakarya, hingga kegiatan sosial. Pada masa muda, kami jarang membicarakan ritual atau spiritualitas. Obrolan hanya seputar tugas. Namun usia mengubah cara pandang. Ketika menua, kami mulai membuka kembali lembar-lembar cerita lama: renungan batin, tirakat, nyepi, hingga pengalaman melewati malam-malam sunyi.
Ternyata, sejak muda kami sama-sama menyukai penyendirian, meski tidak pernah saling menceritakan. Dalam tradisi Nusantara, laku itu memiliki banyak nama: tapa, nyepi, khalwat, tadabur alam. Dulu, ia sering dilekatkan pada dunia mistik. Namun zaman berubah. Apa yang dahulu dianggap klenik, kini justru dibahas dalam jurnal ilmiah, dipraktikkan ilmuwan, selebritas, hingga eksekutif global. Laku batin leluhur menemukan relevansinya kembali di era digital.
Puasa Mutih: Laku Lama yang Kini Bernama Intermittent Fasting
Puasa mutih—yakni hanya makan nasi atau air—beserta puasa ngebleng, dulunya identik dengan para pelaku spiritual dan pendekar. Kini, pola serupa dikenal sebagai intermittent fasting, sebuah tren kesehatan modern yang dipraktikkan selebritas, teknokrat Silicon Valley, hingga para biohacker.
Secara ilmiah, puasa memicu proses autofagi, ketika sel sehat memakan sel rusak sehingga tubuh membentuk sel baru yang lebih kuat. Penelitian tentang proses ini mengantarkan Yoshinori Ohsumi meraih Nobel Fisiologi 2016.
Islam sendiri telah lama menempatkan puasa sebagai alat penyucian jiwa dan raga. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah niscaya kamu akan sehat.” (HR. Thabrani)
Apa yang dulu disebut tirakat, kini dipahami sebagai detoksifikasi ilmiah.
Menyepi: Dari Khalwat Sufi hingga Biohacking Silicon Valley
Menyepi di hutan, tepi sungai, ruang gelap, atau tempat sunyi dulu dianggap mistis. Kini, neurosains menyebut kesunyian sebagai metode untuk meningkatkan kejernihan berpikir dan kapasitas otak. Dunia teknologi menamainya sebagai biohacking, inner engineering, atau deep focus work.
Dalam biografi Steve Jobs karya Walter Isaacson (2011), diceritakan bahwa Jobs rutin melakukan retret alam, mempraktikkan meditasi Zen, menyepi sebelum mengambil keputusan penting, dan bekerja dalam ruang sunyi sebagai sumber ide orisinal. Jony Ive bahkan menyebut kesunyian sebagai “bahan bakar kreativitas Apple”.
Dalam biografi Elon Musk karya Ashlee Vance (2015), disebutkan bahwa Musk kerap menyendiri untuk melakukan deep thinking, menjalani nature reset sejak muda, menerapkan biohacking untuk fokus ekstrem, serta mempraktikkan intermittent fasting, sebagaimana ia akui dalam Podcast Lex Fridman (2022). Menurut Musk, manusia membutuhkan ruang hening untuk memahami persoalan besar.
Tradisi Islam pun memosisikan menyepi sebagai ruang penyucian diri. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang…” (QS. Al-A‘raf: 205)
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Diam bukan sekadar tidak berbicara; ia adalah cara mendidik batin.
Senyap: Ruang Pendidikan Batin
Riset neurosains menunjukkan bahwa kesunyian meningkatkan aktivitas otak kanan, memperkuat stabilitas emosi, serta mendorong kreativitas lewat hormon endorfin, dopamin, serotonin, dan melatonin.
Studi Harvard Medical School menemukan bahwa kesendirian mendalam meningkatkan kemampuan refleksi, kejernihan berpikir, kreativitas tingkat tinggi, dan kualitas pengambilan keputusan. Dari perspektif ilmiah, kesunyian adalah mesin peningkat kecerdasan.
Sejatinya, kesunyian bukanlah hal baru. Para nabi dan tokoh spiritual telah lama mempraktikkannya. Nabi Ibrahim AS berkhalwat di padang pasir. Nabi Musa AS menyendiri di Gunung Sinai. Nabi Muhammad SAW bermeditasi di Gua Hira sebelum turunnya wahyu pertama. “Dia (Allah) mendapatinya sedang bertafakur di Gua Hira…” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Di Nusantara, para pendekar, raja, dan guru sufi sudah menjalani tirakat sejak lama, jauh sebelum dunia modern menyebutnya biohacking. Kesunyian dan kesendirian bukan hanya tradisi kuno; ia adalah kebutuhan mental lintas zaman. Dari padepokan tua hingga ruang meditasi perusahaan teknologi, manusia selalu mencari jalan untuk mendengar suara batinnya sendiri.
“Di tengah dunia yang penuh debat dan ego, kita butuh menyendiri. Kita butuh tempat untuk berbicara jujur dengan diri sendiri,” kata Ki Badai Sagara, menutup diskusi pada suatu malam yang hening.—(***)








