BAGI pendengar setia Radio Panorama FM 94,4 MHz, suara hangat, santun, dan penuh canda Ua Muhi Sambas Saridam, sepertinya sudah menjadi sahabat yang setia menemani di udara. Tak banyak yang tahu, pria kelahiran 1977 di pedalaman Lebak ini sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan komunikasi atau broadcasting. Semua ia pelajari secara otodidak—dengan semangat, rasa penasaran, dan keyakinan bahwa suara tulus akan selalu sampai ke hati pendengar.
Kecintaannya pada radio berawal dari masa kecil di tahun 1980-an. Saat itu, di tempat kelahirannya, Desa Cijaku, Kecamatan Cijaku, di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, radio adalah teman setia warga desa di kala malam, pengusir sepi dan pembawa kabar dunia luar. Bahkan, Roni Al Chudri—yang oleh pendengar radio dikenal sebagai Abah Bimala sebagai pemilik Panorama FM—pernah membuat stasiun radio kecil di rumahnya. Ua Muhi, yang kala itu masih anak-anak, sudah merasakan sensasi menjadi penyiar, meski hanya untuk lingkup kampung.
Perjalanan Ua Muhi ke dunia siaran tidaklah mulus. Panorama FM berdiri sekitar 2005, dan saat pertama melamar, ia belum diterima. Kemudian, ia merantau ke Jakarta, untuk bekerja. Rasa ingin bisa menjadi penyiar, Ua Muhi menimba pengalaman siaran di Radio RDI, Radio Mercy, dan Radio Roxi, sambil bekerja di apotek.
Ua Muhi dalam perjalannya hidupnya pernah menjadi office boy, dipercaya menjadi pengelola apotek, hingga merintis usaha di berbagai bidang seperti konveksi, pupuk kompos, dan mandor bangunan—semua ia jalani dengan kerja keras.
Tahun 2018 menjadi titik balik. Ua kembali ke Cijaku dan bertemu lagi dengan Panorama FM. Di bawah bimbingan Abah Bimala, ia resmi diterima menjadi penyiar.
“Awalnya grogi, tapi lama-lama jadi kebiasaan,” ujarnya sambil tertawa mengenang masa-masa awal saat bincang bersama BantenGate.id, di studio Panorama, Muara Binuangeun, selatan Banten, Jumat (15/8/2025) sore.
Bagi Ua, menjadi penyiar bukan sekadar memutar lagu atau membacakan berita. Setiap siaran adalah panggung tanpa tirai—ada tawa dan suka cita. Persaaan suka di saat pendengar menelepon memberi doa dan semangat, tapi ada pula duka ketika harus menebar tawa di udara sementara hati tengah berduka. “Kadang hati sedang sedih, tapi di radio kita harus tetap memberi semangat,” ungkapnya.
Radio Panorama FM 94,4 Mhz, memiliki jangkauan siaran yang cukup luas. Selain warga eks Kewedanaan Cilangkahan yang meliputi 10 kecamatan di Lebak selatan, gelombangnya menjangkau Cibaliung, Sumur, Pelabuhanratu, hingga menyeberang ke Belitung dan Sumatera. Di warung kopi, di rumah nelayan, hingga di perjalanan, suara Ua Muhi menjadi pengikat rasa bagi pendengar yang mungkin tak pernah bertatap muka dengannya.
Genre musik yang ia bawakan pun fleksibel. Ua menyukai lagu-lagu country dan pop, namun karena pendengar di selatan Banten lebih menyenangi dangdut, ia pun menyesuaikan. Selain itu, ia juga mengasuh acara lagu-lagu Sunda dan dongeng—program yang memiliki banyak penggemar setia. Tak jarang, pendengar yang merasa dekat dengannya mengirim hasil panen seperti beras, pisang, atau labu sebagai tanda terima kasih.
Ua Muhi, dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Sanadi dan Marsah (alm). Ia sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Ua Muhi tumbuh tanpa sosok ayah, karena saat berusia 4 tahun ibunya diceraikan. Ia dibesarkan oleh sang ibu, seorang single parent yang penuh kasih sayang, dan kemudian diasuh oleh Uben Subandi—ayah dari Roni Al Chudri.
Dari balik kaca studio Radio Panorama yang mungil di Binuangeun, sebuah kawasan wisata di selatan Banten, suara Ua Muhi terus mengalun, menembus batas wilayah dan waktu. Dari pedalaman Lebak ia dilahirkan, di udara ia dikenal. Dan satu hal yang diyakininya, “Radio itu unik. Kita tidak bertatap muka, tapi bisa dekat di hati.”–(dimas)