Apa Kabar Aktifis Reformasi 1998
Oleh Dian Martiani
MENJADI mahasiswa IPB tingkat akhir di tahun 1998, mengharuskan kami untuk menjalani masa KKN (Kuliah Kerja Nyata), sebagai salah satu tugas akhir yang harus ditunaikan.
Kami berada dipedesaan sekira dua bulan lamanya, jauh dari hingar bingar pemberitaan. Saya ditempatkan dipelosok Kabupaten Cianjur. Tidak ada TV, apalagi mobile phone atau hand phone (HP). Saat itu, hanya mahasiswa yang betul-betul berasal dari keluarga berada saja yang memiliki HP.
Kondisi ini menyebabkan kami agak kudet (kurang update) terhadap situasi yang berkembang. Sesekali pergi ke kota, ternyata sudah ramai. Isu adanya gerakan mahasiswa yang hendak turun ke jalan. Menginginkan perubahan, mengkritisi kebijkan kontroversi pemerintah saat itu. Pemerintah yang telah dipimpin oleh seorang Presiden Indonesia tiga puluh dua tahun lamanya. Dikenal dengan Pemerintah Orde Baru.
Selepas KKN, barulah kami berkesempatan bergabung dengan rekan-rekan mahasiswa lainnya, menyuarakan idealisme. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) gabungan adalah wadah gerakan Mahasiswa yang saat itu masif menyuarakan gerakan reformasi. Menginginkan adanya perubahan kearah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Betapa Mahasiswa saat itu “gregetan” melihat kondisi negara yang sudah tidak sehat lagi. Korupsi merajalela, Kolusi menjadi budaya, dan Nepotisme mewarnai perekrutan pejabat negara, bahkan aparatur sipil negara. Krisis ekonomi, tingginya harga BBM dan tarif listrik, memicu mahasiswa turun ke jalan, karena tidak sampai hati melihat kebanyakan rakyat Indonesia yang kehidupan ekonominya semakin terpuruk.
Negara saat itu bukan hanya mengalami krisis ekonomi, namun juga mengalami krisis hukum, krisis sosial dan dan budaya. Kondisi ini dikenal dengan istilah krisis multidimensional. Keadaan ini menyulut idealisme Mahasiswa, menuntut perubahan (ke arah yang lebih baik), terpaksa harus turun ke jalan. Hampir semua Pengurus BEM, Pengurus Organisasi Mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan beberapa aktifis gerakan Mahasiswa lainnya saat itu menjadi Tokoh Gerakan Reformasi, bersama Tokoh Nasional Amien Rais, serta sastrawan Taufik Ismail.
Gerakan Reformasi ini menyisakan duka mendalam dengan gugurnya empat Mahasiswa dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 di Jakarta. Mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia Lesmana(1978-1998), Heri Hertanto(1977– 1998),Hafidin Royan(1976– 1998), dan Hendriawan Sie(1975– 1998). Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta (Wikipedia).
Perjuangan berat para mahasiswa ini hendaknya kita hargai dengan menegakkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mahasiswa sebagai unsur pemuda, memiliki ciri khas idealis, berani, dan selalu berpandangan ke depan. Meski sedikit banyak kita telah menikmati buah dari gerakan reformasi ini, sebagai rakyat yang baik, tetap harus mengawal implementasi nilai-nilai yang diperjuangkan para aktifis mahasiswa itu.
Hari ini (21 Mei 2021) duapuluh tiga tahun kemudian, catatan sejarah itu masih terekam jelas dalam ingatan kita. Uforia gerakan itu tetap membuat kita optimis, bahwa negeri ini akan lebih baik, atau setidaknya akan baik-baik saja. Hari ini, peringatan duapuluh tiga tahun gerakan Reformasi, tokoh mahasiswa yang mengusung bersama gerakan Reformasi itu banyak yang telah menjelma menjadi Pejabat Negara. Baik sebagai Kepala Daerah, Birokrat, maupun wakil Rakyat tingkat Daerah dan Pusat.
Semoga idealismenya tetap terjaga. Cita-citanya tetap sama. Kendaraan berjuang boleh berbeda, namun kesejahteraan rakyat tetaplah utama. Mari kita kawal bersama kiprah mereka. Jika orientasinya sudah berbeda, kita jewer saja…ups.
*)Penulis adalah mantan Sekretaris Menteri Sosial Politik BEM IPB 1999-2000