Borong Emas dan Dolar: Di Mana Nasionalisme Kita?

Sudirman Indra

Oleh, Sudirman Indra

 

Bacaan Lainnya

FENOMENA  masyarakat yang memborong emas dan dolar belakangan ini tampak semakin mencolok. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan isu pelemahan rupiah, langkah ini dinilai sebagai strategi untuk melindungi nilai kekayaan pribadi. Namun, di balik langkah yang tampak rasional itu, ada pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: apakah ini juga mencerminkan makin lunturnya rasa cinta dan tanggung jawab terhadap negara?

Perilaku menimbun aset asing seperti dolar secara besar-besaran bisa memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan memperlemah daya tahan ekonomi nasional. Di satu sisi, ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kestabilan ekonomi dalam negeri. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa kepentingan pribadi kini kian menyingkirkan semangat kebersamaan yang dulu pernah kita junjung tinggi sebagai bangsa.

Jika kita berkaca ke era 1960-an, situasinya jauh berbeda. Masyarakat Indonesia saat itu hidup dengan semangat nasionalisme yang kuat. Rasa bangga menjadi bagian dari NKRI begitu tinggi. Presiden Soekarno dihormati sebagai tokoh revolusioner, dan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dipenuhi gairah dan makna. Rakyat masih segar mengingat betapa beratnya perjuangan untuk bebas dari penjajahan. Kemerdekaan bukan sekadar sejarah, melainkan napas hidup sehari-hari.

Yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain bukan hanya soal jumlah penduduk atau luas wilayahnya, melainkan karakter budaya yang melekat kuat: gotong royong, semangat juang, dan kebersamaan. Dulu, dengan hanya bermodalkan bambu runcing, rakyat Indonesia berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap. Bukan karena kekuatan fisik semata, tapi karena ada keyakinan kolektif dan keberanian budaya yang mendorong semangat untuk merdeka. Inilah yang disebut local wisdom—kearifan lokal yang menjadi tulang punggung perjuangan bangsa.

Namun kini, nilai-nilai luhur itu tampaknya mulai terkikis. Individualisme dan kepentingan pribadi lebih sering dikedepankan, sementara semangat gotong royong semakin jarang kita temui dalam kehidupan sosial. Ketika krisis ekonomi datang, yang dilakukan bukan memperkuat solidaritas dan mempercayai kemampuan bangsa, tetapi justru berebut menyelamatkan diri masing-masing dengan membeli emas dan dolar secara besar-besaran.

Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari berbagai akar permasalahan. Kemiskinan yang masih merajalela, ketimpangan sosial yang kian tajam, serta praktik korupsi yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara—semuanya turut menyumbang pada melemahnya rasa memiliki terhadap bangsa.

Namun, ini bukan akhir cerita. Justru di tengah tantangan ini, kita dituntut untuk bangkit. Kita perlu menyadari bahwa nasionalisme bukan sekadar jargon di dinding sekolah atau pidato resmi. Nasionalisme adalah kesadaran bahwa nasib Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama. Cinta tanah air tidak cukup hanya dengan menyanyikan lagu wajib, tapi juga harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari—seperti menjunjung kejujuran, peduli pada lingkungan, dan tidak menambah beban ekonomi nasional dengan tindakan spekulatif.

Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Warisan ini seharusnya menjadi kekuatan, bukan justru kita abaikan. Dalam menghadapi krisis global, bangsa yang solid dan percaya pada kekuatan dalam negerinya akan jauh lebih mampu bertahan.

Kini saatnya kita membangkitkan kembali semangat juang itu. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, kebersamaan, dan semangat pantang menyerah. Jika dulu bambu runcing menjadi simbol perjuangan fisik, kini semangat persatuan dan kepedulian sosial harus menjadi bambu runcing modern untuk melawan tantangan zaman.–(***)

*). Penulis adalah pegiat pendidikan dan pemerhati sosial

Pos terkait