Oleh: Hayat (AA) Syahida
(Pendiri Padepokan Badai Sagara)
Dalam dunia politik, suasananya kadang mirip gelanggang silat yang digabung sama arena Ninja Warrior: siapa kuat, siapa licin, siapa tahan mental, siapa paling jago pura-pura santai padahal deg-degan. Di tengah arena itu, muncul sosok Jokowi —anak tukang kayu dari Solo—yang jurusnya sering bikin lawan bingung sampai perlu ngopi tiga kali buat mikir cara menghadapinya.
Gerakan Jokowi itu semacam silat freestyle: zig-zag, tipuan kiri tapi beloknya ke kanan, kadang diam tapi ternyata sudah nyerang. Lawan yang mencoba membaca pola langkahnya sering berakhir dengan ekspresi “loh, kok gitu?” Jokowi ini seperti gabungan aliran silat Jawa, strategi pasar malam, sampai kebijaksanaan kakek-kakek di pos ronda—diramu dalam gaya yang tidak ada di buku manapun.
Mulai dari Solo, dua kali menang telak. Lalu ke Betawi, menang pula. Setelah itu naik gelanggang nasional. Para pendekar senior mungkin mengira ia cuma pemula dengan tampang kalem, eh ternyata pendekar kawakan Prabowo Subianto pun bisa terjungkal dua kali. Pas lagi pegang sabuk juara nasional, serangan datang dari kiri-kanan, dari depan-belakang, bahkan dari “ibu angkat” yang mendadak menuduhnya anak durhaka. Tapi seperti ahli tenaga dalam, serangan itu nyampe… tapi hilang sendiri sebelum mengenai sasaran.
Rahasia kehebatannya bukan cuma pada kemampuan bertahan sambil tetap tersenyum. Jokowi ahli meracik jurus dari berbagai aliran politik: sedikit koalisi sana, sedikit kompromi sini, ditambah kemampuan mengayomi elite ekonomi sambil tetap menenangkan massa. Tidak semua jurus ia tunjukkan. Kadang baru sadar ada manuvernya setelah hasilnya kelihatan, dan lawan baru bisa bilang, “Lho, kok udah jadi?”
Seperti pendekar sejati, Jokowi tahu pentingnya kuda-kuda. Kuda-kuda yang dimaksud tentu bukan kuda beneran, tapi fondasi besar seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan SDM, dan reformasi birokrasi—semacam latihan fisik politik jangka panjang. Dengan pondasi sebesar itu, lawan politik yang mau menjatuhkannya butuh ekstra energi dan extra sabar.
Dalam urusan narasi, Jokowi juga jago. Ia mengerti kapan harus bicara, kapan harus diam, kapan harus tersenyum, dan kapan harus pakai jaket bomber biar kelihatan gagah. Pandemi, gejolak dunia, drama politik dalam negeri—semuanya ia gunakan untuk menjaga ritme, seperti pemain silat yang tahu kapan harus menangkis dan kapan harus menyikut tanpa kelihatan keras.
Akhirnya, jurus silat Jokowi bukan cuma soal kekuatan fisik politik, tapi juga soal visi. Ia bukan tipe pendekar yang bertarung buat sehari dua hari; ia mengincar gelanggang yang lebih luas: Indonesia yang inklusif, dan percaya diri menghadapi dunia luar.
Justru karena selalu bikin penasaran, jurus Jokowi jadi sulit ditebak. Senjata pusaka ijazahnya , tanpa dikeluarkanpun lawanya sudah tidak berkutik malah siap masuk kerangkeng dan sekarang para pendekar pencari pusaka ijazah palsu mulai kebingungan langkah, ijazah tetap tidak keluar, tertutup rapat dijaga mahluk goib.
Dan bagi siapa pun yang ingin menantangnya di gelanggang politik Indonesia, satu hal penting: jangan cuma siap pukulan, tapi siap juga kejutan. Karena membaca jurus Jokowi itu sulit, menebaknya lebih susah lagi—ibarat mau nebak isi kotak misteri tapi kotaknya juga misterius.—(****)








