Mencegah Disharmoni Antar Pemimpin

H. Akhmad Jajuli.-

Oleh,  H. Akhmad Jajuli

 

Bacaan Lainnya

Saya merasa sangat terkejut setelah membaca tulisan Ahmad Hakiki Hakim (AHH) berjudul “Manuver Politik di Balik Kursi Kedua: Ketika Wakil Menggugat Garis Komando” yang dimuat di situs Kabarindo79.com, edisi Rabu, 23 April 2025.

Penulis artikel tersebut adalah mantan aktivis media kampus SIGMA di UIN SMHB Serang, mantan jurnalis di beberapa media, mantan anggota KPU Lebak, serta eksponen tim sukses Prabowo–Gibran pada Pilpres 2024.

Keterkejutan saya muncul karena sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah benar ketidakharmonisan telah terjadi, padahal pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten baru saja berlangsung sekitar 40 hari yang lalu? Apakah benar Wakil Gubernur Banten, Dr. H. R. A. Dimyati Natakusumah (ADN), mulai “menyalip di tikungan sambil menaburkan oli” demi kepentingan pribadi dalam Pilkada Banten 2029 mendatang? Apakah tidak terlalu prematur kesimpulan yang disampaikan AHH terkait kiprah ADN? Dan sejumlah pertanyaan menggelitik lainnya.

Saya mengenal ADN cukup lama, sejak kami sama-sama aktif di DPW PPP Provinsi Banten tahun 2004. Saya juga pernah menjadi tim sukses ADN & H. Erwan Kurtubi (saat itu Sekda Kabupaten Pandeglang) pada Pilkada Pandeglang 2005.

Sementara itu, dengan Gubernur Banten saat ini, Andra Soni (AS), saya pernah beberapa kali bertemu dan rutin berkomunikasi melalui WhatsApp.

Sejarah Disharmoni Antar Pemimpin

Di tingkat nasional, kita mengenal kisah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1956. Beliau menilai bahwa setelah Pemilu pertama 1955 dan terbentuknya Konstituante, semestinya segera dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, Presiden Soekarno berpendapat bahwa Konstituante belum menghasilkan UUD baru, dan belum ada mekanisme resmi untuk pemilihan Presiden–Wapres berdasarkan UUD yang tetap.

Akibatnya, sejak 1956 hingga 1972, posisi Wakil Presiden RI kosong. Baru pada masa Orde Baru jabatan itu diisi kembali oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973), diikuti oleh Adam Malik (1978), Umar Wirahadikusumah (1983), Sudharmono (1988), Try Soetrisno (1993), dan B. J. Habibie (1998).

Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembalinya Indonesia ke UUD 1945, serta membubarkan Dewan Konstituante.

Di tingkat daerah, disharmoni juga pernah terjadi. Misalnya, di Kabupaten Purwakarta antara Bupati H. Hambali dan Wakilnya, H. Dedi Mulyadi (KDM). KDM kemudian menjadi Bupati dua periode, anggota DPR RI, dan kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat (2025–2030).

Kisah serupa terjadi di Kabupaten Garut antara Aceng Fikri dan Dicky Chandra, di Kabupaten Indramayu antara Bupati Hj. Nina Agustina dan Wakil Bupati Lucky Hakim, serta di Kota Serang dan Kota Cilegon antara wali kota dan wakil wali kota mereka masing-masing.

Disharmoni Merugikan Rakyat dan Pemimpin

Pemimpin ibarat orang tua bagi rakyatnya. Jika mereka kompak dan harmonis, rakyat merasa terayomi dan pelayanan publik berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika pemimpinnya tidak akur, rakyat menjadi korban.

Ketidakharmonisan juga bisa menjadi bumerang bagi karier politik pemimpin. Seperti yang terjadi pada Hj. Nina Agustina, H. Helldy Agustian, H. Sanuji Pentamarta, H. Syafrudin, dan H. Subadri Ushuludin—semuanya gagal melanjutkan jabatan atau mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2024.

Pasangan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah meraih suara sah sebesar 55,88% pada Pilkada Banten 2024, mengalahkan pasangan Hj. Airin Rachmi Diany dan H. Ade Sumardi. Hasil ini dianggap sebagai kejutan politik karena berbagai survei sebelumnya menempatkan Airin–Ade di posisi unggul.

Namun kemenangan ini harus diimbangi dengan kerja nyata demi memenuhi harapan rakyat, bukan sekadar pencitraan semu.

Pemerintah Provinsi Banten memiliki sumber daya alam dan manusia yang memadai, serta APBD di atas Rp13 triliun. Potensi ini hanya akan terwujud jika kepemimpinan AS dan ADN berlangsung secara harmonis dan profesional.

Sebagai contoh, pada masa lalu Gubernur Joko Widodo memberi tugas khusus kepada Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di bidang pengawasan dan pembinaan aparatur. Demikian juga Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah.

Adalah hal yang manusiawi jika AS ingin kembali mencalonkan diri di Pilkada 2029, dan ADN pun ingin naik kelas menjadi Gubernur. Namun, cara untuk mencapai cita-cita itu tidak boleh mengorbankan rakyat.

Wagub sebaiknya diberi porsi tugas yang proporsional, bukan hanya menjadi “ban serep”. Sebaliknya, Wagub juga harus sadar perannya sebagai orang kedua, bukan langsung ingin menjadi yang pertama.

Teladan bisa kita ambil dari sosok H. Benyamin Davnie, yang sabar mendampingi Hj. Airin sebagai Wakil Wali Kota Tangerang Selatan dua periode. Ia kemudian terpilih sebagai Wali Kota dua periode (2020–2025 dan 2025–2030).

Tunjukkan kinerja terbaik selama lima tahun ke depan, dan serahkan hasil akhirnya kepada kehendak Allah SWT dan pilihan rakyat pada 2029.

Majulah terus Banten-ku, di bawah kepemimpinan yang bijaksana dan adil. Jadilah Banten yang maju, mandiri, makmur, dan sejahtera secara berkeadilan. Aamiin.–(****)

*). Penulis adalah mantan pengurus DPD KNPI Provinsi Banten, 2001–2004.

Pos terkait