Menjalin Rasa, Merawat Asa: Pelita Kehidupan dari Tanah Pasundan

H. Edi Murpik

Oleh: H. Edi Murpik

Di tengah kehidupan dunia modern yang menuntut segalanya serba instan—tak sedikit dari kita justru merasa semakin jauh: dari sesama, dari alam, bahkan dari diri sendiri. Hidup menjadi gaduh, tapi hati sepi. Teknologi mendekatkan jarak, tapi kadang memisahkan makna. Menjalin rasa, merawat asa, melalui: silih asah, silih asih, silih asuh, silih aping, silih geuing,  ajaran leluhur  di tanah Pasundan “dibumikan” kembali  sebagai pelita kehidupan.

Bacaan Lainnya

Dalam suasana batin yang penuh kegalauan itulah, kearifan lokal hadir bukan sebagai nostalgia masa lalu, melainkan sebagai pelita: penunjuk arah, penyejuk jiwa. Tanah Pasundan menyimpan warisan luhur—bukan sekadar adat, tetapi nilai-nilai hidup yang membentuk manusia untuk lebih nyunda, lebih manusa, dan lebih insani.

Sejatinya bagi urang Sunda, ia tidak tumbuh sebagai individu yang terpisah dari lingkungannya. Seorang anak tidak hanya milik orang tuanya, tapi juga milik masyarakat. Yang muda menghormati yang tua bukan karena takut, tapi karena tahu: dari merekalah warisan ilmu dan rasa diturunkan. Yang kuat melindungi yang lemah bukan karena unggul, tapi karena sadar bahwa kekuatan sejati adalah kemampuan untuk mengayomi.

Seorang anak tak hanya dibesarkan oleh orang tuanya, tapi juga oleh nilai yang mengikat masyarakatnya: nilai silih — yang berarti saling. Filosofi itu membentuk watak kolektif masyarakat Sunda: lembut dalam kata, kuat dalam empati, dan dalam dalam makna.

Nilai-nilai ini bukan sekadar etika sosial. Ia adalah jalan spiritual menuju pengenalan terhadap diri dan akhirnya kepada Sang Pencipta. Dalam sebuah hadist diriwayatkan:”Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”(Barang siapa mengenal dirinya, sungguh ia akan mengenal Tuhannya).

Inilah jiwa dari “silih” — yang berarti “saling.” Tidak ada yang berjalan sendiri. Hidup adalah tentang saling merawat.

Peradaban dunia bergerak begitu cepat.  Manusia dipacu untuk menjadi yang tercepat, yang terpintar, dan yang paling menonjol. Dalam keramaian itu, banyak dari kita merasa asing, bahkan terhadap diri sendiri. Banyak yang merasa lelah, sepi, dan kehilangan arah. Di sinilah filosofi leluhur itu kembali menjadi oase.

Budaya urang Sunda menyimpan satu warisan tak ternilai yang tidak hanya menyentuh sisi sosial, tetapi juga spiritual dan kemanusiaan. Warisan itu terangkum dalam lima kata yang sederhana namun sarat makna: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih Aping, Silih Geuing.

Kelima kata ini, yang secara harfiah berarti saling mengasah, saling mengasihi, saling mengasuh, saling melindungi, dan saling menguatkan, adalah bagian dari pandangan hidup masyarakat Sunda yang telah diwariskan turun-temurun dari para karuhun — leluhur yang hidup selaras dengan alam dan manusia.

Lima prinsip itu  bukan sekadar petuah budaya, tetapi adalah jalan hidup untuk menjadi manusia seutuhnya — yang mengenali dirinya melalui laku sosial dan spiritual, hingga sampai pada pengenalan terhadap Sang Pencipta.

Di balik kesederhanaannya, filosofi ini bukan sekadar ajaran etika sosial. Ia adalah bentuk cinta yang konkret. Ia adalah perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, dan solidaritas dalam tindakan nyata.

Silih Asah: Berbagi Wawasan, Bukan Saling Menjatuhkan

Mengasah di sini bukan tajam dalam arti senjata, tapi tajam dalam pikiran dan rasa. Leluhur Sunda meyakini bahwa ilmu bukan milik satu orang, melainkan harus dibagikan. Saling mengasah berarti saling memperkaya pengetahuan, saling belajar, tanpa ada yang merasa paling benar.

Di dunia digital sekarang, kita terlalu mudah terpancing untuk berdebat, menyanggah, bahkan menghujat. Filosofi silih asah mengingatkan kita bahwa belajar adalah proses kolektif. Tidak ada yang lahir tahu segalanya. Maka, jadikan pertemuan sebagai ruang untuk memahami, bukan menghakimi.

Dalam budaya Sunda, silih asah adalah tentang berbagi ilmu, saling membuka pikiran, dan tumbuh bersama. Ini sejalan dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an:

“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Islam sangat menjunjung ilmu pengetahuan. Maka ketika orang Sunda menjadikan ilmu sebagai titipan yang harus dibagikan, bukan disembunyikan, itu adalah bentuk nyata dari ibadah. Dalam dunia hari ini yang dipenuhi hoaks dan debat kosong, silih asah menjadi panggilan untuk mencerdaskan, bukan menjatuhkan.

Silih Asih: Kasih Sayang yang Menembus Batas

“Silih asih” adalah bentuk cinta yang tidak melulu romantis. Ini adalah cinta yang hadir dalam bentuk kepedulian: mengulurkan tangan saat ada yang jatuh, mendengarkan saat ada yang ingin bicara, menghargai tanpa syarat.

Di tengah kehidupan urban yang individualistis, kita sering lupa betapa pentingnya sapaan tulus, perhatian kecil, atau sekadar hadir untuk orang lain. Silih asih adalah panggilan untuk kembali menjadi manusia yang peka — terhadap rasa sendiri, dan rasa orang lain.

Silih asih menumbuhkan empati dan kasih sayang kepada siapa pun, bahkan kepada mereka yang berbeda. Islam menegaskan:”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”(QS. Al-Anbiya: 107)

Silih asih mengajarkan kita mencintai tanpa syarat, menolong tanpa pamrih, dan menyapa tanpa syak wasangka. Cinta dalam ajaran ini tidak berhenti di hati, tapi bergerak dalam tindakan.

Silih Asuh: Menjadi Penuntun, Bukan Penguasa

Mengasuh bukan berarti merasa lebih tahu, tapi berani menuntun dengan kerendahan hati. Leluhur Sunda percaya bahwa hidup adalah proses mendidik dan dididik. Yang lebih tua membimbing yang muda, bukan untuk mengendalikan, tetapi untuk menerangi jalan.

Dalam kehidupan kekinian, silih asuh bisa berarti menjadi teman diskusi yang bijak, menjadi mentor yang membesarkan hati, atau sekadar menjadi orang yang tidak buru-buru menghakimi saat seseorang tersesat. Karena setiap kita, pada waktunya, pernah butuh dituntun.

Menjadi pembimbing tidak berarti menjadi penguasa. Silih asuh berarti mendidik dengan kasih sayang, membimbing tanpa menyakiti. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda:”Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka dalam kehidupan, kita semua dituntut untuk membimbing dan dibimbing — dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Silih asuh mengingatkan bahwa mendidik bukan hanya tugas guru atau ulama, tapi laku keseharian dari orang yang peduli terhadap sesamanya.

Silih Aping: Menjadi Pelindung, Bukan Penghukum

Ketika banyak orang merasa terancam — secara fisik, psikologis, maupun sosial — silih aping menjadi nilai yang sangat relevan. Dalam masyarakat Sunda, perlindungan adalah tanggung jawab bersama. Kita tidak membiarkan yang lemah disingkirkan, atau yang berbeda dikucilkan.

Hari ini, banyak yang terluka karena kata-kata, karena penghakiman, karena diamnya orang-orang di sekitarnya. Maka, silih aping mengajak kita menjadi pagar yang ramah: melindungi, bukan mengekang. Menjadi tempat berlindung, bukan tempat yang menakutkan.

Dunia tidak selalu ramah. Orang bisa merasa tersisih, terancam, bahkan kehilangan harapan. Maka silih aping hadir sebagai nilai untuk saling menjaga, melindungi martabat dan keamanan lahir-batin. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.(QS. Al-Hujurat: 10)

Persaudaraan dalam Islam bukan hanya nasab, tetapi juga iman dan kemanusiaan. Menjaga kehormatan orang lain, menjaga rahasia, dan menjaga dari keburukan adalah bentuk nyata dari silih aping. Ia adalah perlindungan yang tidak bersifat represif, melainkan kasih sayang yang membuat orang merasa aman.

 Silih Geuing: Saling Menguatkan di Tengah Kerapuhan

Tidak semua orang bersuara tentang lukanya. Banyak yang berjalan dengan beban yang tak terlihat. Di sinilah silih geuing hadir — sebagai bentuk keberanian untuk menguatkan orang lain, bahkan saat kita sendiri belum sepenuhnya pulih.

Dalam dunia yang menuntut untuk selalu “kuat,” ajaran ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah keberanian untuk saling bersandar. Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk saling menguatkan. Kita hanya perlu hadir, dan tidak meninggalkan.

Ketika seseorang terjatuh, kita diminta hadir bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengangkatnya. Silih geuing adalah bentuk solidaritas yang mengokohkan iman, semangat, dan harapan. Ini tercermin dalam hadits Rasulullah SAW:”Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan kelembutan mereka ibarat satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan berjaga dan demam.”(HR. Muslim)

Nilai-nilai luhur: silih asah, silih asih, silih asuh, silih aping, silih geuing, bukan sekadar warisan budaya Sunda, tapi sebuah jembatan spiritual. Nilai itu, bukan hanya panduan etika sosial, tetapi juga jalan untuk ma’rifatullah — pengenalan terhadap Allah. Ketika sedang mengasah pikiran, menebar kasih, membimbing, melindungi, dan saling menguatkan sesama, sesungguhnya kita sedang menempuh jalan pengenalan diri yang sejati.–(****)

 

*). Penulis, Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten, tinggal di Malingping, ujung selatan Banten

Pos terkait