196 Tahun Kabupaten Lebak: Antara Cita dan Realita Pembangunan Daerah

196 Tahun Kabupaten Lebak: Antara Cita dan Realita Pembangunan Daerah

Oleh, Dimas Permana

Wartawan Bantengate.id

Kabupaten Lebak, yang berdiri pada 2 Desember 1828, merayakan hari jadinya yang ke-196 pada Senin, 2 Desember 2024. Sebagai salah satu wilayah strategis di Provinsi Banten, Kabupaten Lebak memiliki potensi besar di berbagai sektor, seperti pertanian, pertambangan, dan pariwisata. Meskipun telah mencapai banyak kemajuan, realita pembangunan di daerah ini masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar cita-cita untuk kemajuan yang lebih baik dapat terwujud.

Bacaan Lainnya

Lanskap alam yang indah dan budaya lokal yang unik menjadi aset berharga. Namun, di usia hampir dua abad ini, Lebak masih dihadapkan pada tantangan besar, terutama di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Kabupaten Lebak relatif dekat dengan Jakarta dan sekarang dapat ditempuh dengan waktu satu jam melalui akses Tol Rangkasbitung – Jakarta atau dua jam menggunakan Kereta Api Rangkasbitung – Tanah Abang.

Visi Pemerintah Kabupaten Lebak 2019-2024 adalah menjadikan Lebak sebagai “Destinasi Wisata Unggulan Nasional Berbasis Potensi Lokal.” Namun, pencapaiannya belum sesuai dengan harapan. Program unggulan, Geopark Bayah Dome, yang diusulkan menjadi Geopark Nasional dan digadang-gadang dapat menjadi daya tarik wisata internasional, masih dalam proses di pemerintah pusat. Meski telah mendapatkan status warisan geologi melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 164 Tahun 2022 yang menetapkan 32 situs warisan geologi yang tersebar di 14 kecamatan di Lebak.

Geopark Bayah Dome, dikelola  dan dikembangkan oleh lembaga tersendiri  berdasarkan Peraturan Bupati Lebak Nomor 1 tahun 2023 tentang  Perubahan Kedua atas Perbup  Lebak Nomor 13e Tahun 2020 tentang Pengelolaan Geopark Bayah Dome.

Geopark Bayah Dome memiliki kubah vulkaniknya yang telah berusia 23 juta tahun, kandungan emasnya, serta zona Citorek yang dikenal sebagai “Negeri di Atas Awan”. Keunikan ini menarik perhatian ahli geologi dunia, namun kurang optimal dalam menarik wisatawan. Fasilitas wisata yang minim, promosi yang kurang, dan belum meratanya ketersediaan infrastruktur menjadi penghambat.

“Geopark Bayah Dome itu bagus, tetapi kalau masyarakat sekitar masih kesulitan akses jalan, air bersih, dan listrik, bagaimana wisatawan mau datang?” ungkap Resiana Amelia, seorang aktivis lokal.

Selain Geopark Bayah Dome, Lebak memiliki sekitar 153 potensi berbagai destinasi wisata unggulan yang tersebar di 15 kecamatan, seperti Pantai Sawarna di Bayah dan Pantai Bagedur di Malingping, yang terkenal akan keindahan alami dan pasir putihnya. Ada pula Gunung Luhur atau “Negeri di Atas Awan” yang menawarkan pemandangan memukau saat matahari terbit, serta Museum Multatuli di Rangkasbitung yang memperkenalkan sejarah kolonial melalui novel Max Havelaar.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, sudah berhasil menjadikan event keparawisataan Kabupaten Lebak masuk dalam Agenda Kharisma Event Nasional (KEN) Kemenpar Ekraf RI. Ketiga event tersebut yaitu Seba Baduy, Seren Taun Cisungsang dan Festival Seni Multatuli.

Seba Baduy, adalah  acara adat masyarakat Baduy yang sudah berlangsung sejak abad 15 silam sebagai “laporan tahunan” secara adat kepada bapak gede (Bupati Lebak), Bupati Pandeglang dan Gubernur Banten. Sementara, acara adat Seren Taun Cisungsang, yaitu adat masyarakat Kaolotan Cisungsang, sebagai ungkapan syukur atas panen raya. Seren Tahun menjadi daya tarik wisatawan. Kemudian Festival Multatuli (FSM), yaitu acara yang mengangkat warisan sastra dan sejarah, juga berkontribusi dalam memperkenalkan Lebak di tingkat nasional dan internasional.

Buruknya kondisi infrastruktur masih menjadi penghambat utama pembangunan di Lebak. Berdasarkan data terkini, dari total panjang jalan kabupaten 1.152,05 kilometer, sekitar 28,21% atau 324,71 kilometer berada dalam kondisi rusak berat. Jalan pedesaan sepanjang 216 kilometer juga memerlukan perbaikan untuk mendukung konektivitas antarwilayah.

Masalah lain yang juga serius adalah kurangnya akses air bersih dan fasilitas dasar. Warga di sejumlah kecamatan seperti sebagian warga di Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Cihara, dan warga Malingping, ketika musim kemarau menderita kesulitan mendapatkan air bersih. Warga Desa Muara, yang menetap di pesisir pantai, dalam setahun hanya empat bulan saja menikmati air tawar. Mereka selama delapan bulan hidup dalam kesulitan air bersih, karena airnya terasa asin. Begitu pula dengan sebagian warga Muncang, Sobang, dan Cigemblong yang masih bergantung pada sumber air alami yang tidak selalu memenuhi standar kesehatan.

Di sisi lain, tingkat kemiskinan di Lebak pada 2024 tercatat sebesar 8,44%, turun dari 8,68% pada tahun sebelumnya. Dengan populasi sekitar 1,49 juta jiwa, ini berarti ada sekitar 111.700 penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski tren penurunan terlihat, angka tersebut masih tergolong tinggi di Provinsi Banten.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lebak tahun 2024 sebesar Rp 3,1 triliun dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 450 miliar. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lebak hingga November 2024 baru mencapai 60,07 persen atau Rp 118,398 miliar dari target Rp 197,1 miliar.

Masyarakat Kabupaten Lebak berharap kepada Bupati Lebak terpilih hasil Pilkada Lebak tahun 2024, dapat memacu dan mengelola potensi daerah secara maksimal sebagai potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, siapapun yang memimpin Lebak, selama bergantung pada bantuan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Banten, Lebak tetap akan sulit berkembang dan tetap menyandang status daerah miskin.—(***)

Pos terkait