Banten Masuk Daerah Terbanyak Pemain Judi Online

Banten Masuk Daerah Terbanyak Pemain Judi Online

Jakarta, Bantengate.id– Lonjakan praktik judi online (judol) di Indonesia makin menimbulkan dilema: di satu sisi dianggap “jalan pintas” ekonomi oleh sebagian warga, di sisi lain menggerus keuangan rumah tangga dan memicu masalah sosial baru. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan, jutaan warga Indonesia tercatat terlibat judol dengan perputaran dana yang sudah menyentuh ratusan triliun rupiah dalam beberapa tahun terakhir.

Bacaan Lainnya

Yang mengkhawatirkan, mayoritas pemain justru berasal dari kelompok usia produktif. Berdasarkan data demografi PPATK yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sekitar 40% pemain judol berusia 30–50 tahun, disusul kelompok usia 21–30 tahun dan bahkan sudah merambah anak di bawah 10 tahun.

Banten Masuk Daftar Hitam Judol

Di tingkat wilayah, sejumlah provinsi di Pulau Jawa tercatat sebagai kantong terbesar pemain judi online. Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menduduki posisi teratas, disusul Provinsi Banten yang masuk jajaran lima besar nasional.

Berdasarkan data yang dipaparkan Relawan TIK dan pemerintah daerah, Banten tercatat memiliki sekitar 150 ribu lebih pemain judi online dengan nilai transaksi mencapai kisaran Rp1 triliun. Angka itu menempatkan Banten di peringkat atas baik dari sisi jumlah pemain maupun nilai uang yang berputar.

Situasi ini ironis karena banyak kantong judol berada di wilayah dengan tantangan ekonomi dan pengangguran yang relatif tinggi. Judi online kerap dipandang sebagai “peluang cepat” mendapatkan uang, padahal secara nyata justru menguras penghasilan dan tabungan keluarga.

Ekonomi Rakyat yang Terkikis

Dari perspektif ekonomi rumah tangga, dana yang lari ke judi online berarti kebocoran langsung dari ekonomi rakyat. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan pokok, pendidikan anak, usaha kecil, hingga tabungan darurat, berpindah ke platform judi yang sebagian besar berbasis luar negeri.

PPATK dan berbagai kementerian berulang kali mengingatkan bahwa pola kecanduan judol sering berujung pada:

  • hutang menumpuk,

  • penjualan aset keluarga,

  • konflik rumah tangga, hingga

  • risiko pidana jika pemain mulai mencari jalan pintas ilegal demi menutup kekalahan.

Di daerah seperti Banten, tingginya jumlah pemain judol menambah beban kerja aparat, tokoh masyarakat, dan pegiat literasi digital yang harus mengimbangi masifnya promosi judi di media sosial dan pesan instan.

Cloudflare & Jagat Infrastruktur Judol

Di level hulu, pemerintah kini menyoroti lapisan infrastruktur digital yang dimanfaatkan situs-situs judol. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyebut layanan seperti Cloudflare banyak digunakan sebagai “bunker” ribuan situs judi online, terutama untuk menyembunyikan alamat IP dan mempermudah perpindahan domain ketika diblokir.

Dari sampel sekitar 10 ribu situs judol, lebih dari 76% di antaranya menggunakan layanan Cloudflare, menurut data yang pernah dirilis Komdigi bersama lembaga riset. Perusahaan itu juga disebut belum memenuhi kewajiban administratif sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia, sehingga pemerintah membuka opsi penindakan lebih tegas. Langkah ini memunculkan perdebatan: di satu sisi, pemblokiran infrastruktur ditujukan untuk memutus ekosistem judi online; di sisi lain, Cloudflare juga dipakai banyak pelaku usaha legal, media, dan UMKM digital.

Dilema Kebijakan & Jalan Keluar

Dilema yang muncul kemudian adalah bagaimana memberantas judi online tanpa memukul ekonomi digital rakyat. Pemerintah didorong mengombinasikan beberapa langkah:

  • penindakan tegas terhadap server dan jaringan judol,

  • penutupan akses transaksi ke rekening dan dompet digital terkait,

  • peningkatan literasi digital dan keuangan, terutama di wilayah dengan tingkat judol tinggi seperti Banten,

  • penyediaan alternatif ekonomi yang nyata bagi warga yang selama ini terjebak pada iming-iming “cuan instan”

Bagi ekonomi rakyat, persoalan judol bukan lagi sekadar isu moral, tetapi soal ke mana uang belanja keluarga mengalir setiap hari. Selama dana rumah tangga bocor ke meja judi virtual, upaya pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi lokal akan selalu tertatih. (dimas)

Pos terkait