Serang, BantenGate.id – Kelestarian budaya dan lingkungan masyarakat adat Baduy kini berada di ambang krisis. Kerusakan tanah ulayat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, dinilai dapat memicu kehancuran ekosistem dan budaya lokal akibat eksploitasi serta keserakahan manusia. Hal serupa juga terjadi dalam kehidupan remaja Baduy yang kini mulai terbiasa berada di konten di media sosial.
Kekhawatiran ini mengemuka dalam diskusi budaya bertajuk Sasapton (Saresehan Saptuan di Gedong Nagara) yang digelar di aula Pendopo Gubernur Banten, Serang, Sabtu (19/4/2025). Forum tersebut dihadiri lebih dari 60 tokoh lintas profesi, seperti budayawan, tokoh adat, jurnalis, hingga kreator konten. Acara ini diinisiasi oleh Rohendi, budayawan sekaligus pejabat di Dinas Pariwisata Provinsi Banten, dengan mengusung tema reflektif: “Baduy Hari Ini.” Budayawan yang hadir antara lain Uday Hudaya, dan Yani Baduy. Selain itu, Afifi, fotografer, Ayi Astaman (konten kreator), Ibnu P. Megananda (Penyair dan Anggota Dewan Kesenian Banten), dan Ocit Abdurrosyid Siddiq (Komunitas Kamus Sunda Banten).
Acara Sasapton yang untuk pertama kali diselenggarakan ini juga dihadiri oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Provinsi Banten serta pejabat dari Kementerian Kebudayaan. Rencananya, forum ini akan terus berlanjut dan digelar setiap Sabtu sore.
Uten Sutendy, budayawan senior, penulis buku Baiat Cinta di Tanah Baduy, dan Yani Baduy, menjadi pemantik utama dalam diskusi tersebut. Uten mengungkapkan bahwa masyarakat Baduy kini menghadapi berbagai masalah, baik secara geografis maupun budaya. Perkampungan Baduy di Desa Kanekes, jumlahnya terus meningkat. Sekarang berjumlah 68 kampung, dari sebelumnya sekitar 50 kampung pada 25 tahun lalu.
Secara budaya, perubahan juga sangat terasa. Anak-anak muda Baduy kini akrab dengan teknologi, termasuk penggunaan ponsel. “Dulu, anak-anak muda Baduy pukul 06.00 pagi sudah ke huma untuk bertani. Sekarang, pukul 06.00 mereka masih di rumah, bermain HP dan mengakses konten yang bertentangan dengan adat,” ujar Uten.
Uten menegaskan bahwa Baduy tidak seharusnya dieksplorasi secara fisik. Justru kekayaan utamanya terletak pada nilai budaya dan adat istiadat yang dapat dijadikan inspirasi pembangunan daerah Banten. Ia mengkritik keras upaya menjadikan Baduy sebagai destinasi wisata umum, karena hal itu telah menyebabkan degradasi nilai adat. Menurutnya, Baduy lebih tepat dijadikan kawasan pembelajaran budaya atau pusat riset.
“Jika harus dibuka untuk pariwisata, perlu sistem klaster yang mengatur kampung mana yang boleh dikunjungi, dan itu pun harus dengan pendampingan dari tokoh adat atau pemandu budaya yang paham adat istiadat Baduy. Tidak bisa dibuka setiap hari. Kawasan Baduy sekarang sudah seperti pasar,” tegasnya.
Menurut Uten, bagi masyarakat Baduy, tanah bukan sekadar tempat bercocok tanam. Tanah adalah tanceb bumi—penyangga semesta. Jika tanah ulayat dirusak, keseimbangan alam dipercaya akan terganggu. “Mereka menjaga hutan, gunung, dan sungai bukan hanya untuk kelangsungan hidup, tapi sebagai wujud keyakinan spiritual. Mereka adalah penjaga jagat,” ucapnya.
Diskusi juga mengangkat kekhawatiran dari para Kokolot, Puun, dan Jaro Baduy terhadap budaya instan yang dibawa pengunjung. Mereka meminta agar konten kreator dan wisatawan tidak menggoda generasi muda Baduy untuk meninggalkan adat mereka. Uten menegaskan pentingnya memilih narasumber yang berkompeten secara adat saat membuat dokumentasi budaya. “Gunakan panduan dari Kokolot, Jaro, atau tokoh adat yang sah,” ujarnya.--(dimas)