Datang di Anta, Pai Balapeh: Harmoni  Acara Adat Awal Pengabdian Bupati dan Wabup Tanah Datar

Acara adat 'Datang Dianta, Pai Balapeh', menyambut Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar.--

Tanah Datar, BantenGate.id—Di bawah langit cerah Luhak Nan Tuo, semilir angin membawa lantunan doa dan harapan masyarakat Tanah Datar, Sumatera Barat. Hari itu bukan sekadar seremonial pemerintahan, tetapi peristiwa budaya yang sarat makna: prosesi adat “Datang di Anta, Pai Balapeh” digelar untuk menyambut dan menyerahkan secara adat Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar periode 2025–2030.

Bacaan Lainnya

Prosesi yang berlangsung khidmat di Kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Tantejo Gurhano, Batusangkar, Rabu 16 April 2025, menjadi penanda bahwa kepemimpinan baru resmi diterima secara adat oleh masyarakat.

Dalam falsafah Minangkabau, “Datang di Anta, Pai Balapeh” bermakna datang diantar, pergi dilepas—sebuah simbol penyerahan anak kemenakan oleh para niniak mamak (pemangku adat laki-laki) kepada pemerintah, sekaligus bentuk restu dan kepercayaan untuk memimpin daerah dengan amanah.

Kegiatan dimulai dari Gedung Indojolito, kediaman resmi Bupati, di mana Eka Putra beserta istri disambut oleh niniak mamak dan bundo kanduang (tokoh perempuan adat). Bersama-sama mereka mengarak Wakil Bupati Ahmad Fadly, yang kemudian bergabung untuk menuju lokasi utama prosesi di kantor LKAAM.

Prosesi ini bukan semata seremoni, melainkan perwujudan nilai adat Minangkabau yang hidup dalam struktur sosial masyarakatnya. Bupati dan wakil bupati, dalam adat, dipandang bukan sekadar pejabat, tetapi anak kemenakan yang diberi amanah oleh kaum adat, dan harus mengemban nilai-nilai tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan—tiga pilar keseimbangan antara pemimpin adat (niniak mamak), agama (alim ulama), dan intelektual (cadiak pandai).

Simbol Restu dan Tanggungjawab

Dalam sambutannya, Bupati Eka Putra menegaskan bahwa prosesi ini menjadi kekuatan moral dan spiritual untuk memimpin daerah. “Melalui kegiatan ini, kami merasa tidak sendiri. Ini adalah simbol dukungan dari semua unsur masyarakat dalam mewujudkan harapan bersama menuju Tanah Datar yang madani, maju dan berkelanjutan, berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan yang diberikan, dan menyebut prosesi ini baru bisa dilaksanakan setelah melewati sejumlah agenda nasional pasca pelantikan, termasuk retreat kepala daerah dan rangkaian kegiatan Ramadhan hingga Idul Fitri.

Senada dengan itu, Wakil Bupati Ahmad Fadly menyebut prosesi adat ini sebagai bentuk pengesahan kultural atas amanah pemerintahan yang diemban.

“Kami menyadari bahwa jalan ke depan tidak mudah. Namun, dengan mengedepankan nilai kebersamaan, kami optimis bisa melangkah lebih kuat. Bersama niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai, kita jalin sinergi menuju kemajuan Tanah Datar.”

Adat dan Pemerintahan: Dua Pilar yang Saling Menguatkan

Ketua LKAAM Tanah Datar, Aresno Dt. Andomo, dalam pidatonya menekankan bahwa prosesi ini tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga sebagai pengingat bahwa pemerintah dan adat bukan dua hal yang terpisah.

“Prosesi ini menjadi pengikat antara adat dan pemerintahan, agar setiap kebijakan senantiasa berpijak pada kearifan lokal. Ini warisan budaya yang harus terus dijaga dan dilestarikan, bukan hanya di Tanah Datar, tetapi sebagai contoh bagi daerah lain di Minangkabau.”

Ia menambahkan, keselarasan antara adat dan pemerintahan sangat penting untuk mewujudkan tata kelola yang inklusif, berakar pada identitas lokal, dan tanggap terhadap tantangan zaman.—(yen)

Pos terkait