Oleh: H. Edi Murpik
DI RUANG kelas sebagai tempat mediasi sederhana, suara Dini Fitria, Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, terdengar begitu dalam dan bergetar. Pada acara islah polemik insiden tuduhan penamparan kepada salah seorang siswa yang “menyita” perhatian publik dalam sepekan terakhir ini, kini sudah selesai dan berakhir dengan penuh haru.
Disaksikan Sekretaris Daerah Provinsi Banten, Deden Apriandhi, Sekda Lebak, Budi Santoso, sejumlah pejabat, para guru, dan pihak keluarga siswa, Dini menyampaikan sesuatu yang tidak sekadar pembelaan pribadi—melainkan jeritan nurani seorang pendidik yang merasa terpojok di antara idealisme dan ketakutan.
“Kalau Bapak-Bapak melihat kenapa murid-murid sekarang banyak yang berambut gondrong, itu karena guru bidang kesiswaan tidak berani mencukur rambut siswa. Mereka takut dilaporkan melakukan bullying di sekolah,” ucap Dini dengan nada terbata-bata.
Kalimat itu bagaikan palu godam yang menghantam jantung dunia pendidikan kita — bukan karena amarah, melainkan karena getir. Getar suara seorang guru yang berjuang menjaga marwah pendidikan, namun justru berisiko dilaporkan ke polisi ketika menegur demi kebaikan bersama. Dalam pertemuan itu pula, Dini memohon jaminan keamanan bagi dirinya dan para guru. Ia mengaku was-was setelah peristiwa yang menimpanya.
“Saya hanya ingin ada batasan yang jelas antara menegur dan mempermalukan. Jangan sampai kami para guru menjadi ketakutan,” katanya.
Dini Fitria dalam forum islah itu, menyatakan, bahwa tindakannya terhadap siswa yang kedapatan merokok di area sekolah semata-mata dilakukan dalam konteks mendidik, bukan karena unsur emosional. Tujuannya hanya mengedukasi siswa yang merokok di sekolah. Tidak ada tendensi pribadi, semua demi kebaikan anak-anak.
Antara ketegasan, ketakutan dan krisis moral di sekolah
Kisah Bu Dini bukan sekadar persoalan hukum atau disiplin sekolah. Ini adalah cermin dari krisis moral dan melemahnya otoritas pendidik yang tengah menggerogoti ruang kelas. Guru—yang dulu dipandang sebagai pembimbing dan teladan—kini kerap diperlakukan seperti tersangka dalam ruang pengabdiannya sendiri.
Di sisi lain, siswa tumbuh di tengah narasi kebebasan yang seringkali tanpa batas; setiap teguran mudah dipersepsikan sebagai penghinaan, dan tindakan disiplin rentan diklaim sebagai kekerasan.
Padahal pendidikan bukan semata transfer pengetahuan. Ia adalah proses pembentukan watak. Tanpa otoritas moral guru yang jelas, sekolah berisiko berubah menjadi bangunan kosong yang hanya menyampaikan materi tanpa membentuk karakter.
Salah satu akar dari kerapuhan dunia pendidikan, menurut saya, kita tidak lagi memiliki Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sekolah Pendidikan Guru sudah dihapuskan beberapa dekade lalu. SPG tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga membentuk jiwa pendidik — dengan bekal psikologi anak, etika mengajar, dan seni mendidik yang berorientasi pada pembentukan karakter.
Dalam literatur pendidikan dikenal “kebohongan semu” atau fenomena pseudo-lie of childhood—perilaku anak yang tampak seperti kebohongan padahal bagian dari perkembangan moral. Tanpa kemampuan memahami dinamika itu, guru mudah salah mengambil tindakan: menegur yang perlu dituntun; membiarkan yang perlu dibina.
Karakter anak dimulai sejak pendidikan usia dini, sejak sekolah di Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan hingga di SLTA. Oleh karenanya, guru di tingkat dasar memiliki peran yang dominan dalam membentuk kepribadian anak.
Dalam teori pendidikan dikenal istilah pedagogi dan andragogi. Pedagogi adalah seni mengajar anak-anak. Di sini, guru menjadi pusat proses belajar, membimbing, mengarahkan, dan membentuk watak. Sedangkan andragogi adalah pendidikan bagi orang dewasa, yang menekankan kemandirian dan pengalaman dalam belajar.
Saat anak-anak masuk pendidikan sekolah dasar, sebagai awal pembentukan karakter diperlukan guru pembimbing yang memahami perkembangan anak. Di sekolah SPG, calon guru dibekali pendidikan mengenal dan memahami karakter anak.
Kini, SPG tinggal kenangan. Guru banyak yang dididik untuk menjadi penyampai kurikulum, bukan pembentuk kepribadian. Padahal, anak-anak butuh sosok yang memahami dunia mereka — bukan sekadar pengajar, tapi pembimbing jiwa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tujuan pendidikan: mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Pendidikan harus menghasilkan insan beriman, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab (Pasal 3).
Pertanyaannya: apakah sistem sekarang memberi ruang bagi guru untuk menjalankan fungsi itu—atau justru membungkam otoritas moral mereka di bawah ancaman pelaporan, tekanan administrasi, dan intervensi luar sekolah?..
Ketika saya sekolah di SMP Negeri 2 Rangkasbitung, tahun 1970-an, guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP) Pak Eman Sulaeman dan Pak Sukarman Nayoko. Pak eman dikenal tegas. Pak Eman, di waktu tertentu pada malam belajar, sering kedapatan “bersembunyi” di sekitar pintu masuk gedung Bioskop Seminar atau Apollo, Rangkasbitung.
Pak Eman, bukan untuk nonton bioskop. Tapi, mengawasi anak-anak didiknya. Jika ketahuan malam itu, ada anak yang menonton, besok pagi pasti di panggil dan di suruh berdiri di tiang bendera sampai siang.
Pengawasan seorang guru BP di luar sekolah sampai saya rasakan ketika masuk sekolah di SMAN 1 Rangkasbitung, di tahun 1970 akhir. Guru BP di SMAN saat itu diantaranya, Pak Kosim, Bu Nurhasanah. Saya lulus SMANSA Rangkasbitung tahu 1981.
Tanggungjawab guru saat itu, sampai di luar sekolah. Guru dengan caranya, dengan pengabdiannya yang ikhlas mendidik anak siswanya tidak mengenal waktu. Seorang guru menginginkan agar anak didiknya tumbuh menjadi generasi yang pintar, cerdas, dan bermoral. Menonton, hiburan, boleh. Asal jangan pada malam belajar. Ada waktunya, malam Minggu.
Ada perliku anak didik yang kenakalannya dipandang sudah kelewat batas, maka siap-siap saja pantat siswa di pukul pakai jidar (penggaris) dari kayu atau di jewer telinga. Tapi tidak ada satu pun siswa yang kena “hukuman” berani lapor kepada orang tuanya, apalagi ke polisi. Kenapa?…karena pasti orang tuanya akan menambah hukumannya.
Dalam hal merokok dilingkungan sekolah, sudah tegas di larang. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan dinyatakan; larangan merokok di tempat umum, termasuk fasilitas pendidikan. Begitupun dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015, secara spesifik menetapkan lingkugan sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Fenomena ketakutan guru bukan hanya soal individu. Di banyak sekolah, guru ragu menegur pelanggaran sederhana—mulai dari kerapian hingga perilaku tak disiplin—karena takut dilaporkan dan dikriminalisasi. Ketegasan dalam mendidik kini seringkali disalahtafsirkan sebagai kekerasan. Padahal tanpa disiplin yang sehat, pendidikan kehilangan kapasitasnya membentuk karakter.
Kita perlu menata ulang batas antara mendidik dan mempermalukan; antara teguran yang membangun dan perlakuan yang melukai; antara disiplin yang beradab dan tindakan yang melanggar hukum. Tanpa kejelasan, sekolah akan terus berkutat dalam ketakutan, dan peran guru sebagai pembentuk akhlak akan tergerus.
Di era digitalisasi, era keterbukaan informasi, begitu mudah di dapat oleh siapapun melalui genggaman alat komunikasi hand phone. Jika saja para orang tua tidak tegas mendidik, membina dan mengarahkan anak-anaknya dengan cara baik sesuai dengan kultur bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, maka akan lahir anak-anak yang tidak bermoral.
KDM: mendukung perlindungan guru dan menegaskan otoritas di sekolah
Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi —memberi perhatian khusus terhadap persoalan kriminalisasi guru. KDM- begitu sapaan akrab — akan membela guru yang dikriminilisasi orang tua atau siswa, karena ketegasannya dalam mendidik. KDM menyiapkan pengacara utntuk membela jika masuk ke ranah hukum.
Dalam sejumlah pernyataan publik, KDM menyoroti bahwa guru saat ini merasa ragu menegur karena takut dilaporkan, sehingga perilaku siswa tak tertib berpotensi makin meluas. Ia bahkan mengusulkan mekanisme perlindungan bagi guru, termasuk gagasan surat pernyataan orangtua yang menyatakan tidak akan mempidanakan guru atas tindakan mendidik yang wajar.
Dalam sebuah akun medos KDM menyatakan; “Hari ini orang tua takut pada anaknya. Anak-anak tidak bisa “dihukum” oleh gurunya di sekolah, karena gurunya takut dikriminalisasi. Itu menjadi problem besar dalam dunia pendidikan kita.”
Saya pernah mengancam akan menutup sebuah sekolah, karena ada anak yang diberi sanksi oleh guru, lalu orang sekampung datang dan mengancam ke sekolah. “Kalau orang tua terus mencampuri sistem pendidikan sekolah — mengatur gurunya, mengatur sekolahnya — maka silakan didik oleh orang tuanya sendiri,” kata KDM.
Kepada anak ada waktunya untuk disayangi, ada saatnya untuk dicium, ada saatnya untuk dipeluk, tapi juga ada saatnya untuk di pelototi, supaya mereka tumbuh menjadi manusia tangguh dan berkarakter.
Gubernur Banten Andra Soni bersama Wakil Gubernur Dimyati Natakusumah tengah melaksanakan program sekolah gratis bagi SMA/SMK swasta di Banten. Program tersebut perlu diiringi dengan perlindungan terhadap guru, agar mereka dapat mendidik generasi penerus di Banten menjadi insan berilmu, bermoral, dan beretika — bukan sekadar lulusan dengan nilai tinggi tapi tanpa karakter.
Di akhir pertemuan, Dini menutup dengan kata sederhana namun bermakna: “Saya teringat pepatah: tidak ngapung kalau disanjung dan tidak terjatuh kalau dirundukan. Saya berusaha menjadi diri sendiri sesuai dengan syariat yang Rasulullah ajarkan.”
Kata-kata itu menandai keteguhan seorang pendidik yang berpegang pada nilai dan iman, bukan pada sorotan publik. Dalam getar suaranya tersimpan pesan besar: guru bukan musuh; guru adalah pelita yang kini redup oleh kabut sistemik dan kebingungan moral.—(***)