H.Sukanta, Ketua SABAKI: Desak Pemerintah dan DPR RI Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

H. Sukanta, Ketua SABAKI

Lebak, BantenGate.id–Bagi masyarakat di Banten Kidul,  hukum adat bukan sekadar entitas budaya, melainkan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia yang telah lebih dulu hadir sebelum republik berdiri. Karena itu, sudah seharusnya RUU Masyarakat adat segera disahkan menjadi undang-undang. Negara harus hadir memberikan perlindungan dan pengakuan yang setara melalui payung hukum nasional.

Bacaan Lainnya

“Tidak ada alasan bagi DPR RI untuk menunda lagi untuk mengesahan RUU Masyaakat Adat. Jika pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, benar-benar berpihak kepada masyarakat adat, maka undang-undang tersebut harus segera disahkan,” kata H. Sukanta, Ketua Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI), di Banten Selatan, pada  Kamis  (30/10/2025).

Dalam konteks masyarakat adat di Kesatuan Adat Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI), masyarakat adat tetap tumbuh dan terjaga di Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Bogor.

Pada tatanan masyarakat adat di Kabupaten Lebak, tercatat ada 522 Kasepuhan yang tersebar di 15 kecamatan— mulai dari Bayah, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigemblong, hingga Leuwidamar dan Curugbitung.

Musyawarah masyarakat adat di Kasepuhan Gelar Alam Sukabumi, 4 Oktobe 2025 lalu.–(foto: dok sabaki)

Namun, jumlah itu bukan sekadar hitungan kampung adat. Di dalamnya hidup struktur sosial yang khas: ada Pupuhu (induk), Sesepuh Kampung, dan Sesepuh Rendangan atau Gurumulan.

Saat ini, SABAKI tengah melakukan inventarisasi dan verifikasi ulang keberadaan Kasepuhan di Banten Kidul sebagai bahan revisi Lampiran Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak.

Langkah ini penting agar keberadaan masyarakat adat benar-benar diakui secara sah sekaligus memperkuat legitimasi perjuangan hak-hak mereka di hadapan negara.

SABAKI didirikan pada tahun 2000 di Rangkasbitung, berdasarkan Perda Nomor 43 Tahun 2000. Sejak itu, kami konsisten memperjuangkan hak masyarakat adat serta melestarikan tradisi dan budaya leluhur.

Lewat Perda tersebut, SABAKI mengajukan penetapan 37 desa adat pada tahun 2022. Masyarakat adat aktif dalam kegiatan budaya seperti Seren Tahun dan berbagai forum kebijakan bersama AMAN dan RMI.

Urgensi Pengesahan UU Masyarakat Adat

Dikatakan Sukanta, tanpa dasar hukum yang kuat, masyarakat adat kerap menjadi korban ketidakadilan — dari konflik lahan, hak kelola sumber daya alam, hingga pengakuan identitas sosial dan budaya. Padahal, masyarakat adat justru terbukti berkontribusi nyata dalam menjaga hutan, melestarikan air, dan menciptakan harmoni sosial berbasis musyawarah dan mufakat.

RUU Masyarakat diinisiasi perancangannya pada tahun 2009 dan mulai dibahas secara resmi di parlemen sejak 2012. Prosesnya mengalami banyak penundaan dan belum juga disahkan hingga kini. RUU ini kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas untuk tahun 2025, namun pembahasannya belum menunjukkan kemajuan berarti. 

Oleh sebab itu, SABAKI menyerukan agar DPR RI mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). UU ini tidak hanya akan menjadi pelindung hukum, tetapi juga membuka ruang bagi kesejahteraan dan kemandirian masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya sendiri.

Dalam waktu dekat, SABAKI akan mengirim surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyampaikan aspirasi masyarakat adat agar UU ini segera disahkan. Surat ini merupakan hasil kesepakatan para sesepuh adat di Kasepuhan Gelar Alam, Cisolok, Kabupaten Sukabumi  yang digelar  4 Oktober 2025 lalu.

“Kami berharap dapat bertemu langsung dengan Presiden untuk membahas dan memperjuangkan lahirnya UU Masyarakat Adat,” tegas H. Sukanta.—(ridwan/dimas)

Pos terkait