Oleh: H. Edi Murpik
Di tengah keramaian pengunjung Kebun Raya Bogor, terdapat ruang sunyi yang memeluk sejarah, spiritualitas, dan kebijaksanaan leluhur Sunda. Tak jauh dari jembatan gantung merah, berdiri sebuah komplek makom keramat yang tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan—menyimpan kisah agung tentang sosok perempuan: Ratu Galuh Pakuan Alam, atau yang juga dikenal Ratu Kentring Manik.
Ratu Kentring Manik, salah seorang istri dari Sri Baduga Maharaja – Sang Pamanah Rasa – dikenal sebagai putri spiritual Kerajaan Pajajaran. Ia adalah entitas luhur yang diyakini membawa kekuatan Ibu Alam, penjaga harmoni antara manusia dan semesta.
Pada Minggu, 15 Juni 2025, saya berziarah ke tempat ini. Di sana, saya memanjatkan doa untuk Bunda Ratu Galuh Pakuan. Saya disambut hangat oleh Kang Rohman, juru kunci makam keramat tersebut.
“Sudah lama Abah Kasep tidak datang,” sapanya ramah sambil tersenyum. Kami berbincang sejenak, sebelum saya memintanya memimpin doa ziarah. Dalam suasana hening dan khusyuk, kami larut dalam doa-doa yang dipanjatkan ke hadirat Allah SWT—memohon ketenangan bagi Bunda Ratu Kentring Manik, Mbah Jepra, Mbah Baul, dan Solendang Galuh Pangkuan, di alam keabadian.
Hari itu, cukup banyak peziarah yang hadir. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa Barat: Sumedang, Citayam, Cianjur, dan tentu saja, Bogor.
Menurut Kang Rohman, makam Bunda Kentring Manik dan Mbah Jepra pertama kali ditemukan sekitar tahun 1946 oleh ayahnya, yang kala itu bekerja sebagai petugas kebersihan dan penjaga hutan kecil di dalam kawasan Kebun Raya Bogor—wilayah yang saat itu belum terbuka untuk umum.
“Waktu itu, ayah saya sering mimpi didatangi seorang ibu berjubah putih. Ibu itu mengajak ke sebuah tempat di tengah leuweung (hutan), tempat yang kini menjadi makam ini. Di sana ada batu besar. Kata beliau, itu makam karuhun—ibu Galuh dari zaman Pajajaran.”kata Kang Rohman.
Setelah mengalami mimpi serupa beberapa kali, ayahnya bersama para pegawai Kebun Raya Bogor, membuka semak dan menemukan batu besar seperti nisan alami, tertutup lumut dan akar pepohonan. Sejak saat itu, kawasan tersebut dipelihara dan hingga kini banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.
Kini, Kang Rohman meneruskan tugas ayahnya sebagai juru kunci generasi kedua. Ia, dikenal sebagai sosok bersahaja, lembut, dan penuh penghormatan terhadap nilai-nilai kasepuhan Sunda. Ia tidak hanya menjaga makam secara fisik, tapi juga spiritual: memandu ziarah, menyiapkan bunga tabur, serta memimpin doa.
Menurut berbagai kisah, Bunda Ratu Kentring Manik bukan hanya tokoh legenda, melainkan simbol cinta kasih, kebijaksanaan, dan keteguhan batin seorang perempuan Sunda—pengayom tanah Pakuan Pajajaran.
Nama Kentring Manik atau Galuh Pakuan Alam merujuk pada perempuan yang mencapai laku suci dan menjadi pelindung alam serta peradaban. Dalam tradisi lisan para juru kunci dan peziarah, Bunda Ratu dikenal bukan hanya cantik secara ragawi, tapi juga bening batinnya.
Bersisian dengan Makam Bunda Ratu Galuh, di bagian atas, terdapat pula Makam Mbah Jepra—tokoh tua bijak yang diyakini sebagai pendamping spiritual pada jamannya. Mbah Jepra atau Syekh Jafar Shodiq, dikenal sebagai pertapa yang setia. Selain itu, pada bagian luar terdapat Makam Mbah Baul dan Solendang Galuh Pangkuan.
Bunda Ratu Galuh menjadi simbol keberdayaan perempuan dalam tradisi Sunda. Ia bukan hanya permaisuri atau tokoh mitologis, tetapi representasi dari Ibu Bumi yang memberi dan mengayomi. Di tengah isu lingkungan dan krisis kemanusiaan, kehadiran sosok seperti Bunda Ratu Galuh Pakuan terasa begitu relevan—mengajak kita kembali pada nilai-nilai kesederhanaan, kelembutan, dan hormat terhadap alam.
Kebun Raya Bogor seluas 87 heketar bukan hanya kaya akan flora langka atau sejarah panjangnya. Tapi suasana batin yang ditawarkan. Banyak pengunjung datang ke sini bukan hanya untuk berwisata, berziarah, tapi juga untuk menyembuhkan. Ada yang datang setelah kehilangan, ada yang datang untuk menenangkan pikiran, dan ada yang datang hanya untuk duduk diam di bawah pohon besar dan langka.
Kebun Raya Bogor, sepertinya punya cara sendiri untuk merawat perasaan. Daun-daun yang jatuh seperti pengingat bahwa segala yang hidup akan luruh, dan yang luruh akan menjadi terkubur dalam tanah. Sebuah filosofi sederhana dari alam untuk manusia.—(***)
*). Penulis, Pengurus Paguyuban Pasundan di Provinsi Banten