Meretas Jalan Takdir: Antara Qodo, Qadar, dan Pilihan Manusia

H. Edi Murpik

Oleh: H. Edi Murpik

Dalam percakapan sehari-hari, takdir kerap dimaknai sebagai garis hidup yang tak bisa diganggu gugat. “Sudah takdir,” begitu banyak orang menuturkan, seolah takdir adalah vonis yang datang dari langit dan tak bisa diubah walau sekuat apapun usaha manusia. Pandangan ini, meski jamak diyakini, sejatinya menyederhanakan makna takdir itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Dalam perspektif Islam, takdir memang merupakan bagian dari rukun iman. Namun, memahami takdir sebagai sesuatu yang absolut tanpa ruang untuk usaha, adalah kekeliruan yang mengerdilkan peran manusia dalam skenario hidupnya.

Ustaz Agus Mustofa, penulis dan pemikir spiritual Islam kontemporer, dalam bukunya Merubah Takdir, menggugat cara pandang sempit ini. Ia menawarkan pemahaman yang lebih aktif, progresif, dan spiritual mengenai takdir, melalui konsep yang menghubungkan antara Qodo dan Qadar.

Menurut Agus Mustofa, takdir bukanlah “hasil akhir” yang datang tiba-tiba tanpa sebab. Ia adalah proses yang lahir dari dua elemen penting: Qodo dan Qadar. Qodo adalah kehendak dan usaha manusia, sedangkan Qadar adalah ukuran atau ketentuan yang menjadi parameter atas hasil suatu usaha. Dengan demikian, takdir muncul sebagai hasil dari pertemuan antara ikhtiar manusia dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta.

Ini berarti, takdir tidak hadir secara tiba-tiba. Ia adalah “produk” dari interaksi manusia dengan hukum-hukum Tuhan. Hukum gravitasi, sebab-akibat, kerja keras, dan keteraturan semesta adalah bagian dari Qadar. Sementara keputusan untuk bertindak, memilih jalan, bersikap sabar atau putus asa, itulah Qodo — bagian dari kehendak manusia yang diberi kebebasan memilih.

Dalam pandangan ini, manusia tidak sedang menanti takdir. Ia sedang menciptakan takdirnya — dengan cara hidupnya sendiri.

Takdir Bisa Diubah: Janji Allah dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an dinyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini menjadi bukti paling kuat bahwa Allah memberi manusia wewenang dan tanggung jawab untuk membentuk kehidupannya. Perubahan tak akan terjadi jika manusia hanya menunggu, tanpa kesadaran dan usaha untuk berubah dari dalam dirinya sendiri.

Agus Mustofa menjadikan ayat ini sebagai salah satu pilar dalam bukunya Merubah Takdir. Ia menekankan bahwa takdir bukan sesuatu yang final, melainkan ruang dinamis yang bisa diintervensi oleh kesadaran, kehendak, dan tindakan manusia.

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan dalam skala sosial atau pribadi selalu dimulai dari perubahan batin: pola pikir, niat, motivasi, dan keyakinan. Jika seseorang percaya bahwa ia tidak bisa mengubah nasibnya, maka ia telah menciptakan takdir kegagalan itu sendiri. Namun, jika ia mengubah cara berpikir, memperkuat tekad, lalu bertindak secara nyata, maka takdir akan bergerak ke arah yang baru — sebuah arah yang ia ciptakan bersama kehendak Allah.

Banyak yang menganggap bahwa mengubah takdir adalah bentuk perlawanan terhadap kehendak Allah. Tapi Mustofa menegaskan, justru dalam upaya mengubah takdir itulah manusia menjalankan kehendak Allah. Sebab Allah tidak menyuruh manusia untuk pasrah dalam ketidaktahuan, melainkan menyuruhnya untuk berpikir, berusaha, dan berdoa.

Misalnya, seseorang lahir dari keluarga miskin — itu bisa jadi bagian dari takdir awal. Namun jika ia belajar dengan tekun, berusaha dengan keras, lalu Allah membukakan jalan rezeki dan kesuksesan, maka takdirnya telah berubah. Di sinilah letak keadilan Tuhan: manusia diberikan pilihan dan daya untuk mengubah keadaan, bukan sekadar menjadi korban nasib.

Agus Mustofa menyebut proses ini sebagai bentuk “transformasi takdir”. Ia menekankan pentingnya kesadaran spiritual yang aktif: bahwa doa, niat baik, dan usaha nyata adalah cara manusia “berdialog” dengan ketetapan Tuhan, bukan menentangnya.

Di era penuh ketidakpastian seperti sekarang, memahami takdir secara aktif menjadi kunci ketahanan spiritual dan emosional. Seperti yang ditegaskan oleh Agus Mustofa, takdir adalah harmoni antara usaha manusia dan hukum Tuhan. Ia bukan garis mati, melainkan ladang kemungkinan.

Merubah takdir bukanlah bentuk kesombongan, melainkan keberanian untuk hidup secara utuh — dengan akal, hati, dan iman. Dan dalam keberanian itu, manusia menemukan jati dirinya: makhluk merdeka yang diberi kehormatan untuk memilih dan mencipta sejarah hidupnya sendiri.

Takdir adalah jalan yang bisa ditempuh, bukan tembok yang menghalangi. Dan setiap langkah menuju perubahan adalah bentuk ibadah — karena sejatinya, Tuhan mencintai hamba-Nya yang terus berusaha.–(***)

*). Penulis tinggal di Malingping, di ujung selatan Banten

Pos terkait