Tehaer Endasmu!

Ocit Abdurrosyid Siddiq
Oleh, Ocit Abdurrosyid Siddiq

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah,” yang kurang lebih bermakna bahwa memberi itu merupakan aktivitas mulia dibandingkan menjadi penerima.

Bacaan Lainnya

Seseorang yang sedang memberi, biasanya posisi tangannya ada di atas. Sebaliknya, orang yang menerima pemberian, tangannya berada di bawah.

Hadits ini menjadi semacam anjuran bagi orang yang berkecukupan untuk mau dan terdorong berbagi, membantu, dan menolong orang lain yang papa dan dhuafa, dengan cara memberikan sebagian hartanya.

Zakat, infak, dan sodaqoh merupakan media bagi orang-orang berkecukupan untuk membantu golongan yang tidak mampu. Lewat zakat, infak, dan sodaqoh, terjalin hubungan sosial di antara umat Islam di atas nilai-nilai kemanusiaan.

Namun sayangnya, hadits ini kadang dipakai sebagai justifikasi atau pembenar oleh sekelompok orang yang memosisikan dirinya sebagai penerima dan merasa nyaman menempatkan tangannya pada posisi di bawah.

Zakat, infak, dan sodaqoh yang sejatinya ditujukan kepada kelompok orang berkecukupan agar mau dan terdorong untuk menyisihkan sebagian hartanya, malah dipolitisasi oleh kaum papa dan dhuafa sebagai pembenar atas kelakuannya.

Dengan dalih bahwa dalam ajaran agama juga ditegaskan demikian, maka mereka lebih memilih dan merasa nyaman di zona aman menjadi kelompok masyarakat yang menempatkan tangannya di bawah, atau menjadi kelompok penerima.

Wujud nyata dari keyakinan semacam ini adalah bermunculannya para pengemis. Mereka hadir di ruang-ruang publik sembari menyertai diri dengan dalil sebagai dalih dan alasan pembenar atas tindakannya.

Apalagi belakangan ini menjelang hari raya Idul Fitri, jumlah pengemis di ruang-ruang publik semakin bertambah. Mereka bisa kita temukan di jalan raya, trotoar, terminal, mal, di bawah traffic light, bahkan di teras-teras rumah ibadah.

Dalam konteks yang berbeda, mental pengemis ini juga bisa kita temukan pada perilaku segelintir orang yang mendadak meminta tunjangan menjelang Lebaran, yang kita kenal dengan istilah THR.

Tunjangan adalah komponen di luar pendapatan utama atau gaji seseorang yang bekerja. Pemberiannya juga dianggap sebagai hak pekerja dan kewajiban bagi perusahaan. Tunjangan merupakan tambahan gaji yang diberikan kepada karyawan di luar gaji pokok.

Pada prinsipnya, tunjangan merupakan hak dari setiap pekerja sebagai bentuk kompensasi atas pekerjaan yang dilakukannya. Jadi, tunjangan itu diberikan pada orang yang bekerja pada suatu lembaga.

Pemberi tunjangan dan penerima tunjangan, antara keduanya ada keterikatan dan keterkaitan hubungan sebagai pekerja dan lembaga tempat kerja yang sama. Tunjangan bukan diberikan pada pekerja yang bekerja di tempat lain.

Tunjangan bukan untuk orang yang tidak bekerja. Tunjangan itu lazimnya dari perusahaan kepada karyawan. Dari atasan ke bawahan. Dari bos ke anak buah. Tidak terikat dalam pekerjaan tapi minta tunjangan? Tunjangan endasmu!

Belakangan ini, mendadak ada segelintir orang atau kelompok yang meminta tunjangan berupa THR. Padahal antara dirinya dengan orang, lembaga, instansi, atau perusahaan yang dituju, tidak memiliki keterkaitan pekerjaan.

Atas perilaku yang tidak elok ini, beberapa pihak langsung cepat tanggap untuk mengantisipasi ulah niradab ini. Pihak aparat penegak hukum telah menegaskan diri akan menindak dengan keras apabila menemukan tindakan tersebut.

Beberapa petinggi organisasi kemasyarakatan atau ormas telah mengeluarkan edaran bagi seluruh anggotanya untuk tidak melakukan langkah meminta-minta kepada perorangan, perusahaan, juga pemerintahan, dengan dalih minta THR.

Para petinggi NGO juga melakukan hal yang sama. Semoga saja instruksi tersebut dilakukan secara tulus dan dipatuhi oleh para anggotanya di lapangan. Bukan hanya dalam rangka pemenuhan normatif belaka. Tidak “lain di tulisan, lain di lapangan”.

Bahkan Dewan Pers telah sejak dini mengeluarkan edaran, yang antara lain berbunyi larangan bagi jurnalis untuk meminta THR. Dewan Pers menyebutkan bahwa “Perusahaan pers dan organisasi pers dilarang meminta-minta THR dan atau bentuk lainnya kepada pihak mana pun”.

Tidak cukup di situ, Dewan Pers juga mewanti bahwa apabila ditemukan tindakan sebagaimana dimaksud, maka “Dewan Pers menyatakan hal tersebut sangat tidak pantas dilakukan sehingga akan menjadi catatan evaluasi terhadap organisasi yang bersangkutan”.

Jadi, bila aparat sudah menyampaikan komitmen, bila para petinggi organisasi dan lembaga sudah menurunkan instruksi, bila seseorang tidak memiliki ikatan dalam satu pekerjaan yang sama, namun masih ada oknum memaksa minta tunjangan atau THR, maka yang layak baginya adalah “Tehaer Endasmu!”.–(****)

*)Penulis adalah Pegiat Budaya Banten

Pos terkait