MENJELANG tibanya bulan Ramadan 1446 H lalu, saya menyusuri pesisir Lebak Selatan, Banten, bersama sahabat dan sesama aktivis. Dari Pasir Putih di Kecamatan Cihara hingga Darmasari, Bayah, kami mengambil gambar untuk sebuah video klip. Di sela perjalanan, berhenti sejenak di warung dekat Jembatan Pantai Cantigi—ngopi, makan gorengan, melepas lelah. Tak jauh dari tempat itu, terlihat tumpukan batu bara (stockpile) yang siap diangkut para tengkulak.
Di sana, saya bertemu dengan—sebut saja—Mang Ujang, lelaki paruh baya, warga asli Kecamatan Cihara. Awalnya ia tampak enggan bicara. Raut wajahnya kusut, seperti menyimpan luka lama yang belum sembuh.
Setelah perbincangan mencair, saya baru tahu: Mang Ujang adalah penambang batu bara ilegal yang dua kali menjadi korban tipu daya oknum lembaga. Satu truck tambang hasil keringatnya dibawa dengan janji pembayaran dua hari. Namun, janji itu tinggal janji. Ia justru mendapat ancaman.
Sambil menunggu hasil keringat selama satu minggu dibayar, ia mengais rezeki dari memungut rumput laut, di sekitar Pantai Cantigi dan Karang Beureum. Uang hasil penjualan rumput laut sebesar Rp200 ribu yang baru saja diterima dan sedianya untuk makan anak dan isterinya, dipalak oknum lembaga lain. Ia diancam akan dilaporkan ke aparat penegak hukum karena menambang secara ilegal di kawasan Perum Perhutani.
Cerita Mang Ujang bukan fiksi. Ia nyata, dan mewakili ratusan warga Lebak Selatan yang hidup di ambang batas legalitas dan kebutuhan perut.
Keindahan Alam vs Kerusakan Alam
Melintasi pesisir selatan antara Sukahujan dan Sawarna, setelah melewati jembatan Cihara, tampak tulisan besar: Geopark Bayah Dome. Gagah berdiri sebagai tanda bahwa Pemerintah Kabupaten Lebak sedang mengusung kawasan ini untuk mendapat pengakuan sebagai Geopark Nasional. Bayah Dome bukan sembarang tempat—ia adalah struktur geologi purba, sisa aktivitas vulkanik bawah laut jutaan tahun silam.
Dalam laman BantenGate.id (25/6/2025); Menggali Potensi Pariwisata Kabupaten Lebak dan Pengembangan Geopark Bayah Dome”, dituliskan, bahwa geopark adalah sebuah tempat yang bisa dikunjungi untuk berlibur atau bersantai bersama keluarga dan rekan sejawat. Sementara, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, geopark adalah area dengan batas tertentu, berupa area publik, dengan cakupan dan ruang lingkup geoheritage yang penting, berupa area alami dengan kepentingan geologis.
Dan jika mengacu pada Perpres Nomor 9 Tahun 2019, geopark atau taman bumi adalah sebuah wilayah geografis tunggal atau gabungan yang memiliki situs warisan geologi (Geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek Warisan Geologi, Keragaman Geologi, Keanekaragaman Hayati, dan Keragaman Budaya.
Geopark Bayah Dome yang didalamnya meliputi Geosite Bayah, Cilograng, Cibeber, Panggarangan, Cigemblong, Cihara, Sajira dan Curugbitung, adalah hampara taman bumi atau hamparan taman alam. Taman bumi di kawasan Geopark Bayah Dome ini, sesungguhnya “syurga” di tatar Banten Kidul.
Namun ironisnya, di balik upaya dan harapan besar tersebut, tambang ilegal justru terus tumbuh di tanah yang sama. Satu wilayah, dua wajah. Di satu sisi, terdapat geowisata yang seharusnya dilestarikan karena berpotensi memberikan dampak ekonomi yang menjanjikan bagi masyarakat sekitar. Namun di sisi lain, batu bara dari dalam “perut bumi” di kawasan Perum Perhutani terus dikeruk secara ilegal.
Tumpukan atau stockpile batu bara menggunung di pinggir Jalan Nasional III Malingping–Bayah, menanti untuk diangkut oleh truk. Jalan yang sama dilalui ribuan wisatawan, namun juga dilintasi truk-truk fuso pengangkut batu bara yang melebihi batas tonase kekuatan jalan.
Geopark tentu bukan sekadar tentang bebatuan purba—ia tentang pilihan masa depan. Apakah kita akan membangun masa depan hijau, atau terus menggali demi hari ini dan mengorbankan esok?. Harapan itu hanya akan menjadi nyata bila negara hadir di tengah rakyat yang mendambakan keadilan.
Agar Geopark Bayah Dome dapat seiring dengan kehidupan masyarakat lokal, tentunya diperlukan langkah strategis, diantaranya; Legalitas Tambang Rakyat atau menutupnya dengan tegas dan bijak. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dan Pemerintah Provinsi Banten, dan Perum Perhutani III KPH Banten, perlu membentuk tim khusus untuk mengedukasi masyarakat. Jika dilegalkan, diperlukan ketegasan area batas, sehingga cita-cita yang diusung Geopark Bayah Dome, dapat terwujud. Sementara, jika penambangan batu bara ditutup, diperlukan solusi kongkret, karena menyangkut isi perut rakyat.
Geopark Bayah Dome, yang tengah diperjuangkan ke pemerintah pusat untuk disahkan menjadi kawasan status Geopark, sebagaimana yang sudah di sandang oleh Geopark Taman Nasional Ujung Kulon dan Taman Nasional Geopark Ciletuh di Sukabumi, Jawa Barat. Perjuangan ini tinggal menunggu pengesahan dari Presiden.
Geopark Bayah Dome menjadi simbol perubahan paradigma—dari eksploitasi menjadi konservasi. Tiga pilar utama—perlindungan, pendidikan, dan ekonomi lokal—didorong untuk menjadi landasan pembangunan yang adil dan inklusif. Dalam Masterplan 2020–2030, geopark ini diarahkan menjadi destinasi wisata inklusif kelas dunia.
Pemangku kebijakan, agaknya, diperlukan membangun sebuah Kemitraan Ekonomi Hijau. Kolaborasi antara pemangku geopark dengan komunitas lokal seperti penambang, petani rumput laut, pelaku wisata, dan UMKM. Oleh karena, Geopark bukan hanya tentang kawasan, tapi ekosistem ekonomi baru yang inklusif. Di sekitar destinasi wisata di Selatan Lebak, sudah tumbuh dan berkembang industri pariwisata.
Pantai Bagedur dan Pantai Sawarna selama sepekan liburan lebaran Idul Fitri 1446 H, dikunjungi ratusan ribu wisatawan lokal. Warung UMKM di kawasan wisata, menu makanan dan minuman, nyaris sama. Menjual produk pabrik; air mineral kemasan, kopi kemasan, mie kemasan dan produk kemasan pabrik lainya.
Pelaku UMKM yang menjajakan produk makanan dan kerajinan lokal, seperti; makanan leumeung khas Malingping, goreng pisang tanduk, sale pisang khas Sawarna, gula aren, kopi tubruk khas Cijaku atau Panggarangan, pais lauk impun, koja atawa kaneron yang terbuat dari rotan khas Cilograng, dan produk hand made rakyat Lebak Selatan, tak ada. Produk itu tidak ditemukan. Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Lebak, nampaknya diperlukan hadir di tengah slogan yang kencang tentang pengembangan UMKM.
Alangkah seru dan indah, jika disudut wisata itu ada produk lokal. Kata kembangkan dan majukan produk UMKM, tentunya tidak hanya seindah yang diucapkan. Produk UMKM tak hanya jadi sebuah slogan; di cinta, di bela, dan di beli. Betapa serunya, ketika makanan khas Malingping, leumeung berbahan beras ketan, hadir di tempat wisata.
Leumeung dihidangkan dari mulai proses pembuatan; beras ketan yang sudah di racik dengan bumbu, lalu dimasukan kedalam ruas bambu dan dibakar diatas bara kayu di sudut wisata itu. Pengunjung bisa bermain (mungkin) gitar, bernyanyi tentang alam, sambil menunggu matangnya leumeung atau sambil (mungkin) menatap bintang dilangit ditengah suasana malam ditepian pantai.
DOB Kabupaten Cilangkahan
Tokoh masyarakat, tokoh adat dan kaum sarungan, serta para aktivis dan masyarakat dalam wadah Bakor PKC tengah berjuang untuk terwujudnya Daerah Otonomi Baru (CDOB) Kabupaten Cilangkahan. Warga Lebak Selatan yang meliputi 11 kecamatan, ingin memisahkan diri dari Kabupaten Lebak, karena merasa terlalu jauh dari pusat pemerintahan di Rangkasbitung.
Perjuangan ini bukan hal baru. Sudah lebih dari dua dekade. Usulan tersebut telah tercatat dalam Ampres, sudah masuk dalam rancangan pembahasan RUU Kabupaten Cilangkahan di DPR RI, dan tinggal menunggu pengesahan. Namun, proses itu menjadi tertunda, karena moratorium pemekaran wilayah pada tahun 2004. Semangat perjuangan itu tak pernah pudar dan tetap menyala, dengan target: Kabupaten Cilangkahan dengan Ibu Kota Malingping, segera terwujud.
Kabupaten Lebak memiliki luas wilayah 3.427 km² dengan kekayaan alam yang luar biasa. Pantai-pantai eksotis seperti Sawarna, Karang Beureum, Karang Taraje, Darmasari, Tanjung Layar, Goa Langir, dan Legon Pari menjadi daya tarik wisata. Ada juga air terjun seperti Curug Kanteh, Curug Munding, dan Curug Ciporolak. Kemudian, Gunung Luhur, dikenal sebagai “negeri di atas awan”, serta situs purbakala seperti Kosala dan Cibedug, turut menjadi bagian dari sejarah yang mengakar.
Dengan terwujudnya DOB Kabupaten Cilangkahan, masyarakat Selatan Lebak meyakini tata kelola pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, akan lebih efektif. Dekatnya pusat pemerintahan akan mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan pengawasan lingkungan, termasuk mewujudkan Geopark Bayah Dome, sebagai kawasan destinasi geowisata dan edukasi .–(dimas)