Oleh, H. Akhmad Jajuli
MODAL utama bertani dan berkebun itu hanya tiga: tanah, air, dan sinar matahari. Selebihnya, dapat ditangani dan dikerjakan oleh petani dan pekebun itu sendiri, mencakup pengolahan lahan, bibit unggul, pupuk, pemberantasan hama, serta penanganan pasca panen. Namun, masalah air atau irigasi menjadi tantangan serius, terutama bagi para petani yang terbiasa menggarap sawah tadah hujan (non-irigasi teknis).
Masalah yang dihadapi petani selama ini, bahkan sejak ratusan tahun lalu, kini telah ada solusi konkretnya. Presiden Prabowo Subianto pada 30 Januari 2025 lalu menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Penerbitan Inpres ini bertujuan mendukung Program Swasembada Pangan Nasional dan ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, serta sejumlah pihak terkait.
Dengan adanya Inpres ini, pemerintah pusat dapat membantu pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) menangani masalah irigasi yang ada di daerah, bahkan hingga ke tingkat Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau “Mitra Cai”, yaitu kelompok petani penggarap sawah.
Dengan penerbitan Inpres ini, perjalanan air di saluran irigasi mulai dari saluran primer, sekunder, hingga tersier akan lancar. Ke depan, hampir dipastikan tidak ada lagi areal sawah yang kekurangan air. Dengan demikian, petani yang sebelumnya menggarap sawah tadah hujan kini dapat menggarap sawahnya dan memanen hasilnya lebih dari sekali, minimal dua kali panen. Penambahan jumlah penggarapan dan panen ini akan meningkatkan jumlah gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), serta penghasilan setara beras per hektar, yang diperkirakan mencapai minimal 11,6 ton GKP.
Inpres ini juga bertujuan mengoreksi kebijakan terkait pengairan yang selama ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Dalam peraturan sebelumnya, pengaturan irigasi sangat kaku: sawah di atas 3.000 hektar menjadi kewenangan pemerintah pusat, sawah antara 1.000 hingga 3.000 hektar menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dan sawah di bawah 1.000 hektar menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan penanganan air yang masuk ke sawah, yang dikenal dengan saluran cacing, menjadi kewenangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Dengan adanya Inpres ini, pemerintah pusat dapat membantu membangun dan merehabilitasi irigasi yang rusak, meskipun pemeliharaannya tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah dan P3A.
Pengaturan kewenangan penanganan jalan raya secara berjenjang (jalan nasional, provinsi, kabupaten, desa) relatif tidak bermasalah karena masing-masing jalan memiliki titik persimpangan. Namun, berbeda dengan pengaturan pengairan atau irigasi, karena air mengalir secara kontinu dan bersambungan, tanpa boleh berhenti meskipun sejenak. Ketika air tidak mengalir dengan lancar, akan menyebabkan banjir di satu titik atau kekeringan di titik lainnya.
Terbitnya Inpres Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi ini membawa angin segar bagi para petani dan pekebun. Sebentar lagi, jargon baru akan menggema di kalangan petani dan pekebun: “Irigasi Lancar, Produksi Pangan Melimpah.”
Irigasi yang lancar di Banten akan membuat provinsi tersebut tetap berada di posisi peringkat ke-8 sebagai penghasil padi terbesar nasional, atau bahkan mungkin bisa meningkat. Produksi padi nasional pada 2025 diperkirakan mencapai 13 juta ton setara beras, dan tentu saja angka ini akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Hal ini sekaligus memastikan bahwa pada 2028, Indonesia akan benar-benar mewujudkan swasembada pangan nasional.–(****)
*) Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga DPD HKTI Provinsi Banten.