Simfoni Kehidupan: Dulu Diam di Tepi, Kini Mengaku Raja di Seberang

Simfoni Kehidupan: Dulu Diam di Tepi, Kini Mengaku Raja di Seberang
Sudirman Indra

Oleh Sudirman Indra

Bacaan Lainnya

Manusia hadir ke dunia bukan karena kebetulan, tetapi karena bagian dari rencana agung Sang Pencipta. Sejak napas pertama dihembuskan, cinta orang tua menjadi selimut hangat yang melindungi dari kerasnya dunia yang belum dikenali.

Masa kecil dilalui dengan tangan-tangan yang membimbing, langkah demi langkah dituntun dengan sabar. Namun ketika waktu berjalan, kehidupan menuntut kemandirian. Perjalanan dimulai—penuh harap, penuh semangat, hingga akhirnya tiba di satu titik: jalan terputus.

Di hadapan terbentang sungai yang dalam dan luas. Tak ada jembatan, tak ada perahu. Hanya diam, hanya ragu.

Duduk sejenak. Hening. Lalu datang seseorang yang memberi arah. “Jembatannya di sana,” katanya.

Langkah diteruskan. Yang ditemukan bukanlah jembatan kokoh dari beton atau besi, melainkan sebatang bambu tua. Goyah, licin, dan tampak rapuh. Tapi itulah satu-satunya jalan. Dengan keberanian dan keyakinan, jembatan itu dilintasi.

Dan di seberang, dunia baru menanti. Ada tangan-tangan yang membantu, wajah-wajah yang percaya, dan pelukan yang menguatkan. Kehidupan kembali dibangun. Langkah demi langkah, hari demi hari, semuanya berubah. Menjadi lebih baik. Lebih berarti.

Namun seringkali, ketika keberhasilan telah diraih, ketika nama mulai dikenal, ketika materi mulai mengalir—hati perlahan berubah. Muncul rasa memiliki. Muncul rasa hebat. Muncul keyakinan bahwa semua ini tercipta karena kepintaran dan kerja keras diri sendiri.

Lupa. Bahwa pernah berdiri lemah di tepi sungai. Lupa. Bahwa pernah diberi petunjuk. Lupa. Bahwa pernah meniti jembatan bambu yang bahkan bukan milik sendiri. Lupa. Bahwa keberhasilan bukan hanya tentang diri, tapi tentang semua tangan yang pernah membantu, semua doa yang pernah diam-diam dipanjatkan, dan semua kesempatan yang pernah diberikan.

Manusia memang kerap begitu. Sudah mencicipi garam, tapi lupa bahwa garam berasal dari air laut.

Jangan pernah lupakan jembatan bambu yang pernah dititi. Jangan angkuh berdiri di seberang jika lupa siapa yang dulu menunjuk arah. Karena tanpa jembatan itu, mungkin langkah akan tetap terhenti di tepi—menanti, tanpa pernah sampai.

*). Penulis  Pemerhati sosial, lahir dan dibesarkan di Kalimantan Barat

Pos terkait