Langgam Ayat dalam Tarawih

Langgam Ayat dalam Tarawih
Ocit Abdurrosyid Siddiq

BERBEDA dengan kelaziman di tempat lain, di mushola kampung kami, imam tarawih dijadwalkan secara bergilir. Ada enam orang imam yang bergantian memimpin. Pertama, seorang haji warga biasa. Bacaan suratnya kalem. Saking kalemnya, kadang diprotes oleh jamaah perempuan yang berada di barisan belakang. Kata mereka, suaranya kurang terdengar.

Bacaan Lainnya

Imam kedua, seorang guru madrasah. Usianya sudah sepuh, suaranya amat perlahan. Bawaan ngantuk. Ini pun kadang menuai protes dari jamaah, lagi-lagi jamaah perempuan.

Imam ketiga adalah Ketua RT di lingkungan kami. Orangnya masih muda, suaranya lantang, gerakannya cepat. Bahkan, Al-Fatihah bisa dia lisankan dalam satu tarikan napas. Jamaah banyak yang suka.

Imam keempat adalah seorang haji yang pedagang. Punya kebiasaan pelupa. Kadang surat yang dibaca tertukar antara rakaat pertama dan rakaat kedua. Walau sebetulnya tidak ada dalil qath’i yang mengatur tentang itu.

Surat yang tertukar? Ya, sejatinya tidak ada aturan yang mengharuskan membaca surat apa pada rakaat ke berapa. Hanya kebiasaan untuk memudahkan mengingat rakaat dan jumlahnya.

Biasanya, sejak hari pertama hingga hari ke-15, berurutan mulai At-Takatsur hingga Al-Lahab pada rakaat pertama. Dan rakaat kedua, Al-Ikhlas. Kalau sudah sampai Al-Lahab, jamaah sumringah. Pertanda sebentar lagi tarawih selesai.

Pada hari ke-16 hingga akhir Ramadan, posisi Al-Ikhlas diganti dengan Al-Qadr. Al-Qadr di rakaat pertama, rakaat kedua berurutan mulai At-Takatsur hingga Al-Lahab. Karena kadang lupa jumlah rakaat, saat diimami Pak Haji ini, kami kerap sujud sahwi.

Imam kelima, ya saya. Kata jamaah, lagi-lagi khususnya perempuan, suara saya terdengar dengan jelas. Bahkan, kata mereka, merdu. Mungkin efek sering memegang mic di ruang rumah bernyanyi. Iya, karaoke!

Dan imam keenam adalah seorang pensiunan PNS asal Ponorogo, Jawa Timur. Walau sudah puluhan tahun tinggal di Banten, dialek jawanya masih kental. Termasuk ketika membaca ayat dalam salat. Medok dan mengayun.

Suaranya lembut. Nadanya seperti langgam Jawa. Saya dan jamaah lainnya menyukainya. Kami merasa betah berlama-lama apabila beliau yang menjadi imam. Alasannya ya itu tadi, langgam Jawa-nya nyaman di telinga. Easy listening.

Walau dengan langgam Jawa, tidak mengubah makhrajul huruf dan kaidah tajwid. Panjang-pendeknya pas. Tentu saja disertai cengkok seperti kawih atau senandung dalam karawitan.

Bila beliau jadi imam, saya kerap teringat dengan langgam Jawa ketika beberapa waktu lalu sempat menjadi polemik. Waktu itu, langgam Jawa dipakai saat acara di Istana Negara.

Banyak kalangan bereaksi atas penggunaan langgam Jawa bagi bacaan kitab suci. Alasannya, tata cara bacaan sudah baku diatur dalam tujuh model: nahawan, bayati, hijaz, shaba, ras, jiharkah, dan syika.

Padahal, beda orang, beda lidah. Beda lidah, beda intonasi. Beda suku, beda kebiasaan pelafalan. Artinya, sejatinya perkara gaya pelafalan kitab suci itu terbuka dengan beragam cara seperti di atas.

Seperti halnya seni bacaan dalam salat berjamaah di negara tertentu yang videonya sempat viral. Bila kita menyimaknya, tidak masuk ke dalam salah satu seni bacaan dari tujuh model tersebut. Langgam yang bukan di Nusantara ini malah terdengar seperti kawih.

Bila langgam Jawa dalam bacaan kitab suci lantas dimaknai sebagai mendegradasi marwah kitab suci, hanya karena langgam Jawa akrab dalam dunia seni di Jawa, mengapa pada yang lain tidak dipersoalkan?

Wali Band dalam salah satu tembangnya melantunkan “Robbana aatina fiddunya hasanah, wafil aakhiraati hasanah, waqinnaa adzabannar,” dengan gayanya dan diiringi dentuman drum serta petikan gitar, adalah varian lain dari tujuh model tersebut.

Kalimat dalam tembang grup musik tersebut bukan hanya bagian dari isi kitab suci. Tetapi ia adalah untaian doa yang merupakan permohonan kepada Tuhan. Artinya, gaya band itu sejatinya lebih ekstrem dibanding langgam Jawa.

Lha, itu kan bukan sedang ngaji? Itu kan dalam pertunjukan musik! Nah, itu dia. Ayat suci dilafal dengan langgam Jawa ketika ngaji diprotes, mengapa ketika diteriakkan di atas panggung hiburan dengan hentakan musik dianggap tak masalah? Urrraaaa..!

Malam ini giliran imam keenam yang memimpin tarawih. Saya menantinya karena suka dan merindukan gayanya dengan langgam Jawanya. Shollu sunnatat-tarawihi rak’ataini jami’atan rahimakumullah. Rahimakumullaaaaaah..!–(****)

*)Tangerang, Ahad, 16 Maret 2025, Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar

Pos terkait