Program Pendidikan Gratis dan Tebus Ijazah Alumni SLTA Swasta di Provinsi Banten

H. Akhmad Jajuli.-(foto: ist)

Oleh,  H. Akhmad Jajuli

WARGA Banten sangat menyambut gembira dan antusias salah satu program unggulan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten, H. Andra Soni, S.M., M.AP dan Dr. H. A. Dimyati Natakusumah, S.H., M.H., masa jabatan 2025-2030 hasil Pilkada 2024 kemarin, yakni “Pendidikan Gratis”.

Bacaan Lainnya

Program unggulan ini tentu memiliki maksud mulia, yaitu untuk meningkatkan Angka Partisipasi Murni (APM) pada tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), meningkatkan keterjangkauan pendidikan bagi warga Banten, serta mengurangi kebodohan di kalangan warga Banten — salah satu tujuan yang dicanangkan sejak terbentuknya Provinsi Banten 24 tahun lalu.

Tingkat Rata-rata lama pendidikan di Banten baru mencapai “Lulus SLTP” (sekitar sembilan tahun) — masih jauh dari target minimum mencapai 12 tahun (lulus SLTA). Apabila nanti tingkat rata-rata lama sekolah sudah mencapai “Lulus SLTA,” wawasan warga Banten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tentu akan meningkat. Selain itu, tingkat penguasaan pengetahuan dan teknologi juga akan berkembang, yang memungkinkan warga Banten mengakses peluang kerja, yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Banten.

Program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh Pemprov Banten saat ini lebih menyasar para siswa SLTA (SMA dan SMK) yang bersekolah di satuan pendidikan SLTA swasta yang tergolong “tidak/kurang mampu secara ekonomi.” Satuan pendidikan SLTA yang tergolong “favorit” (di mana orang tua/wali muridnya tergolong mampu secara ekonomi) tidak menjadi target utama program yang mulia ini.

Dengan adanya “Program Pendidikan Gratis” ini, diharapkan dapat mengurangi kecemburuan atau perasaan “dianaktirikan” dari para pengelola yayasan yang menaungi satuan pendidikan SLTA swasta di Banten. Mulai tahun pelajaran 2025/2026 nanti, kita bisa mengenalkan jargon baru: “Bersekolah di SLTA Negeri dan SLTA Swasta di Provinsi Banten sama terjangkaunya, sama-sama tidak mahal.”

Namun, pelaksanaan program pendidikan gratis di Banten ini tentu harus didasarkan pada data jumlah murid yang benar dan akurat. Patokannya tentu saja adalah DAPODIK (Data Pokok Pendidikan). Ke depan, para alumni SLTP (SMP dan MTs) di Banten tidak hanya akan mengejar bersekolah di SLTA Negeri, tetapi juga di SLTA Swasta. “Sama baiknya dan sama terjangkaunya.” Setelah adanya program ini, pihak pengelola SLTA Swasta akan terpacu untuk terus meningkatkan akreditasi sekolah mereka.

Hingga saat ini, penulis belum memperoleh informasi pasti apakah program pendidikan gratis di Provinsi Banten ini juga akan menjangkau satuan pendidikan Madrasah Aliyah Swasta (MAS). Selama ini, Madrasah-madrasah tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Agama RI.

Program “Tebus Ijazah” SLTA Swasta

Pada tahun anggaran 2026 nanti, saya mengusulkan agar Pemprov Banten juga menganggarkan Program Tebus Ijazah Alumni SLTA di Provinsi Banten (baca: Pembayaran Sisa Tunggakan Biaya Pendidikan Alumni SLTA). Sebagian alumni SLTA swasta di Banten telah menamatkan pendidikan mereka dan dinyatakan lulus, namun mereka belum bisa menerima STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) atau Ijazahnya karena masih ada sisa tunggakan biaya pendidikan saat mereka bersekolah. Berdasarkan data sementara, ada yang sudah “tertahan” setahun hingga 10 tahun dengan sisa tunggakan yang bervariasi antara Rp 500.000,00 hingga Rp 12 juta per murid/alumnus.

Tertahannya ijazah ini tentu membuat mereka (terutama) kesulitan melamar pekerjaan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kejadian ini umumnya disebabkan oleh keterbatasan kemampuan keuangan orang tua/wali siswa. Latar belakangnya bermacam-macam, seperti karena mereka sudah yatim piatu, orang tua/wali sudah tidak bekerja lagi, atau karena berbagai alasan lain yang menyebabkan mereka belum dapat melunasi tunggakan biaya pendidikan.

Saat ini, di Provinsi Banten terdapat 528 satuan pendidikan SMA (Swasta 427, Negeri 161), 724 satuan pendidikan SMK (633 Swasta, 91 Negeri), dan 471 satuan pendidikan Madrasah Aliyah (Swasta 449, Negeri 22). Total terdapat 1.723 satuan pendidikan SLTA (1.509 Swasta, 254 Negeri).

Saya saat ini sedang membantu sejumlah alumni SLTA Swasta di Banten untuk memperoleh bantuan dana “Tebus Ijazah” tersebut. Terdapat 164 orang tua/wali alumni yang mengajukan permohonan bantuan dana tersebut. Mereka tersebar di 24 SLTA dengan total sisa tunggakan mencapai Rp 460.095.000,00 (empat ratus enam puluh juta sembilan puluh lima ribu rupiah). Dari 164 alumni tersebut, tidak ada satu pun yang berasal dari SLTA Negeri — semuanya berasal dari satuan pendidikan SLTA Swasta. Data ini juga menunjukkan bahwa biaya pendidikan di SLTA Negeri di Banten tergolong “sudah tidak ada masalah.”

Jumlah SLTA Swasta yang terjangkau oleh program “Tebus Ijazah” ini baru mencapai 24 sekolah. Saya meyakini bahwa di antara 1.509 satuan pendidikan SLTA Swasta ini masih banyak yang membutuhkan program serupa. Data ini belum termasuk warga Banten yang (pernah) bersekolah di SLTA Swasta di luar Provinsi Banten (seperti di Daerah Khusus Jakarta, Jawa Barat, dan daerah lainnya).

Program “Tebus Ijazah” ini akan membantu mengatasi masalah likuiditas keuangan yayasan/satuan pendidikan sekaligus membantu alumni SLTA memperoleh STTB/Ijazah mereka. Prosedurnya adalah dana bantuan “Tebus Ijazah” akan ditransfer langsung oleh pihak pemberi bantuan ke rekening yayasan/sekolah. Setelah uang diterima oleh pihak sekolah, mereka akan memberitahukan alumnus untuk mengambil STTB/Ijazah mereka masing-masing.

Hal lain yang harus menjadi perhatian Dinas Pendidikan Provinsi Banten adalah masalah transportasi peserta didik SLTA di wilayah perdesaan, terutama di wilayah Banten Selatan. Masalah ini seharusnya bisa diatasi dengan penyediaan kendaraan angkutan pelajar yang dikelola oleh Dinas Perhubungan atau bekerja sama dengan pihak swasta (Organda), dan/atau penyediaan asrama di sekitar sekolah dan bekerja sama dengan pesantren-pesantren yang dekat dengan satuan pendidikan SLTA.

Hampir tidak pernah terjadi seorang peserta didik dikeluarkan dari sekolah akibat tidak membayar SPP atau sejenisnya. Namun, tidak sedikit peserta didik yang terpaksa berhenti di tengah jalan (drop out) karena faktor biaya rutin harian: ongkos transportasi ke sekolah dan biaya jajan sekolah.—(****)

 

*).Penulisi,  Pengamat Pendidikan, tinggal di Kota Serang-Banten

Pos terkait