KDM: Pemimpin Bocah Angon yang Mengguncang Narasi Politik

Kang Dedi Mulyadi (KDM) memikul beras untuk diserahkan kepada Ayu Aryani.--(foto: KDM)

Oleh,  H. Edi Murpik

 

Bacaan Lainnya

KETIKA citra pemimpin sering kali dikonstruksi lewat layar kaca, media sosial, atau foto-foto rapih dalam ruang kerja mewah, ada satu sosok yang justru menembus batas itu semua. Dia tak hanya muncul di kanal YouTube, tapi juga hadir nyata di gang sempit, rumah reyot, sawah-sawah tandus, hingga kandang kambing warga miskin. Itulah Kang Dedi Mulyadi (KDM)—tokoh yang kini semakin populer tak hanya di tanah Pasundan, tapi juga ke penjuru nusantara dan bahkan mancanegara.

KDM, yang akrab disapa “Bapak Aing” oleh masyarakat Jawa Barat, seperti punya kekuatan khas. Ditekan, ditantang, bahkan difitnah sekalipun, ia bukannya melemah. Justru semakin kuat. Semakin membumi. Semakin dicintai.

Tak bisa dimungkiri, sepak terjang KDM, Gubernur Jawa Barat, pemimpin yang turun tangan dan bukan hanya turun perintah telah membedakan dirinya dari banyak pejabat lain. Ia bukan tipe pemimpin yang menjaga jarak dengan rakyat. Alih-alih, ia datang ke rumah-rumah warga miskin tanpa protokoler kaku, kadang hanya ditemani dua-tiga staf, berbaju biasa, beralas sandal jepit, dan menenteng tas kain.

Lewat akun YouTube dan media sosial pribadinya, KDM mendokumentasikan pertemuannya dengan rakyat kecil. Tapi ini bukan konten sekadar mencari simpati. Narasi yang dibangun KDM kuat: pemimpin harus hadir, menyapa, menyentuh, dan mendengar langsung jeritan rakyatnya.

Gaya belusukannya tak hanya jadi tren, tapi menjadi harapan. Ia menggugah kesadaran publik bahwa pejabat seharusnya tak hanya berada di balik meja, tapi juga hadir di tengah masalah rakyat. Karena itu, tidak heran jika setiap konten yang diunggahnya di YouTube ditonton jutaan orang — dari ibu-ibu di Cianjur sampai buruh migran di Taiwan.

Ditekan  dan diancam

Bak sebuah peribahasa;  semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Semakin besar cinta rakyat, semakin besar pula resistensi dari kelompok yang merasa terusik. KDM tidak hanya ditekan oleh sekelompok orang yang merasa terusik, ia juga diancam keselamatan jiwanya.

Belum lama ini, sekitar  9 Mei 2025, publik dikejutkan dengan pemasangan spanduk di sejumlah titik jalan utama di Bandung. Tulisan di spanduk itu cukup menyindir dan frontal: “KDM Lain Bapak Aing (KDM Bukan Bapak Saya),”. Sebuah pesan simbolik bahwa ada pihak-pihak yang ingin meruntuhkan citra KDM di mata publik.

Tapi yang menarik, alih-alih membuat publik berpaling, aksi itu justru memantik simpati lebih besar. Di media sosial, warga merespons dengan tagar #BapakAingTetapKDM dan bahkan ramai-ramai memposting kisah pribadi mereka saat disambangi KDM.

Tindakan menekan KDM, justru malah berbalik dan semakin memperkuat posisinya. Ibarat bara api, tekanan adalah oksigen. Ia makin menyala.

Dalam tradisi sunda yang diwariskan secara turun-temurun oleh para sesepuh Sunda, dikenal sebuah ramalan agung dari Prabu Siliwangi, raja besar dari Kerajaan Pajajaran. Ramalan ini tak tertulis dalam prasasti, tapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda sebagai bagian dari Wangsit Siliwangi—warisan batin yang mengandung pesan luhur, jauh melampaui zamannya.

Salah satu wangsit paling dikenal berbunyi:“Engké, bakal lahir pamingpin nu nyaah ka rahayat. Anjeunna téh lain ti karaton, lain ti kulawarga menak. Anjeunna budak leutik, tukang ngarit, budak angon, asalna ti Lebak Cawene (Kelak, akan lahir seorang pemimpin yang mencintai rakyat. Ia bukan dari istana, bukan dari keluarga bangsawan. Ia adalah anak kecil, penggembala, tukang mencari rumput, berasal dari Lebak Cawene).

Wangsit ini menyiratkan bahwa pemimpin sejati tidak selalu lahir dari garis keturunan raja, tapi dari rasa cinta terhadap rakyat dan kehidupan yang penuh laku prihatin. Budak angon (anak penggembala) adalah simbol kerendahan hati, kerja keras, dan kepekaan terhadap alam serta sesama makhluk. Dari kehidupan yang bersahaja, lahirlah watak kepemimpinan yang tidak terkotori ambisi pribadi.

Lebak Cawene, dalam wangsit dimaknai sebagai ruang sunyi, lembah penggemblengan batin, tempat di mana pemimpin masa depan dibentuk oleh kesunyian, penderitaan, dan kerja nyata, bukan oleh gemerlap dunia.

Ramalan ini menjadi semacam harapan abadi: bahwa saat zaman gelap datang, saat pemimpin lalim berkuasa, akan lahir seseorang dari kalangan biasa—yang akan membawa kembali cahaya. Ia akan memimpin bukan dengan kata-kata, tapi dengan rasa, bukan dengan jabatan, tapi dengan pengabdian.

Masyarakat Sunda, hingga kini masih menanti dengan keyakinan:“Budak angon ti Lebak Cawene bakal datang, nalika rasa geus pareumeun obor (Anak penggembala dari Lebak Cawene akan datang, ketika rasa telah padam seperti obor yang kehabisan nyala).

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pemimpin besar dalam sejarah Islam, dikenal karena keadilan, kepedulian, dan keberaniannya. Salah satu kisah yang sangat terkenal dan menggambarkan ketulusan hati selama kepemimpinannya, adalah ketika ia sendiri turun langsung membantu rakyatnya yang kelaparan.

Suatu malam, Khalifah Umar, sedang berjalan mengelilingi kota Madinah untuk melihat kondisi rakyatnya secara langsung. Ia tidak ingin hanya menerima laporan dari para pejabatnya, tetapi ingin menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinannya.

Dalam perjalanannya, ia mendengar suara tangis anak kecil dari sebuah rumah yang sangat sederhana. Ia mendekat dan mendengar suara seorang ibu yang sedang merebus air di dalam panci. Namun, tidak ada makanan di dalamnya. Sang ibu sengaja merebus air untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan, agar mereka tertidur karena menyangka ibunya sedang memasak makanan.

Melihat hal tersebut, hati Umar bin Khattab terenyuh. Ia segera kembali ke Baitul Mal, mengambil sekarung gandum, lemak, dan beberapa bahan makanan lainnya. Tanpa menyuruh pelayan atau pengawalnya, Umar memikul sendiri karung gandum tersebut di pundaknya. Ketika salah satu sahabatnya menawarkan diri untuk membantunya, Umar menolak seraya berkata, “Apakah kamu akan memikul dosaku di Hari Kiamat nanti?”

Langkah itu, dilakukan seorang KDM. Bagaimana ia memikul sendiri  sekarung beras dan diantar ke rumah Ayu Aryanti, seorang anak sekolah yang dijumpai KDM tengah menggantikan ayahnya sebagai tukang sapu, karena sakit.

Dalam suatu perjalan, KDM melihat Ayu Aryanti, seorang pelajar kelas 2 di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jawa Barat, sedang menyapu jalan. Remaja itu tengah menggantikan tugas ayahnya karena sakit.  Di usianya yang masih sangat muda, Ayu sudah menunjukkan ketegaran dan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Di saat kebanyakan teman seusianya sibuk dengan pelajaran dan masa remaja, Ayu justru harus memikul beban yang berat demi keluarganya.

 

KDM  sambil berurai air mata menyerahkan sekarung beras yang ia pikul dari warung dan diserahkan kepada Ayu Aryanti.–(foto: KDM)

Doa Rakyat Jelata Menembus Langit

Mengapa KDM semakin kuat?.. Jawabannya mungkin tidak bisa dijelaskan dengan teori politik biasa. Sebab, yang menguatkan KDM bukan hanya menguasai  wilayah Jawa Barat, tapi sangat memahami keadaan rakyat.

Selain itu, yang terutama adalah do’a rakyat kecil. Doa orang tua renta yang air matanya diusap KDM. Doa anak yatim yang dapurnya kembali mengepul berkat uluran tangannya. Doa tukang tambal ban, ibu penjual gorengan, petani di pelosok Majalengka, Cianjur dan  daerah lainya yang tak pernah berharap banyak, tapi sekali disapa pemimpin—mereka merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya. Doa-doa rakyat kecil itu,  yang menguatkan  KDM. Do’a  dari rakyat  jelata yang tulus itu menembus bumi, menembus langit dan menembus alam ars.

Banyak pejabat bicara tentang “kerakyatan”, tapi sedikit yang benar-benar hidup bersama rakyat. KDM adalah pengecualian. Ia bukan hanya bicara soal rakyat, tapi bersama rakyat.

Sebagai mantan Bupati Purwakarta dua periode, mantan Wakil Ketua DPRD Jabar dan mantan anggota DPR RI, KDM dikenal berani menabrak arus. Ia tidak segan menentang kebijakan yang menurutnya merugikan masyarakat, meskipun itu berarti melawan partai atau rekan se-fraksi. Baginya, politik bukan soal kekuasaan, tapi soal pengabdian.

Misalnya, ia getol membela petani lokal saat kebijakan pupuk bersubsidi mulai menyulitkan mereka. Ia juga turun langsung membantu warga yang rumahnya ambruk atau hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa menunggu birokrasi panjang.

Julukan “Bapak Aing” bukan lahir dari strategi branding. Ia tumbuh secara organik dari interaksi KDM dengan rakyat. Masyarakat Sunda merasa bahwa KDM bukan hanya pemimpin, tapi juga pelindung, pembela, dan teman ngobrol yang tak menggurui. Julukan itu lahir karena kedekatan emosional yang nyata.

Tak sedikit warga yang rela berjalan kaki hanya untuk bertemu KDM saat ia berkunjung. Mereka datang bukan karena mobilisasi massa, tapi karena rasa memiliki.

Saya teringat pada suatu hari, ketika saya masih sekolah di SMP di Kota Rangkasbitung, Banten. Seorang nenek pernah berkata; “ceng nu rajin nungtut elmu, nu rajin ibadah, nurut ka kolot. Engke, bakal aya pamingpin nu nyaah ka rahayat. Urang bakal dipingpin ku budah angon, ti Lebak Cawene ( nak, yang rajin menunut ilmu, rajin sekolah, rajin ibadah, patuh kepada orang tua. Nanti bakal lahir pemimpin yang mengayomi rakyat.  Ia seorang gembala, dari Lebak Cawene-red).

Sosok Lokal yang Mendunia

Kepopuleran KDM tak hanya berhenti di Jawa Barat atau Indonesia. Kanal YouTube-nya dilihat dan dikomentari oleh warga negara asing yang terpukau dengan gaya kepemimpinan dan kerendahan hatinya. Beberapa video KDM bahkan dijadikan bahan referensi oleh pengamat sosial luar negeri tentang praktik kepemimpinan berbasis empati.

Ia menjadi bukti bahwa untuk menjadi pemimpin besar, tak harus berada di Jakarta atau duduk di kementerian. Dari daerah pun bisa bersinar, asal tulus dan berpihak pada rakyat.

Fenomena KDM adalah pengingat bahwa di tengah politik yang kerap dipenuhi pencitraan, masih ada ruang untuk ketulusan. Bahwa pemimpin tak harus membangun jarak dengan rakyat. Bahwa keberpihakan nyata lebih penting dari retorika panggung.

Semakin ditekan, di ancam, seorang KDM tak goyah. Semakin ditekan KDM, semakin kuat. Ia tetap turun ke sawah, ke dapur rakyat, ke tempat yang jarang disambangi pejabat. Karena bagi KDM, kuasa sejati bukan di kursi tinggi, tapi di hati rakyat. Dan selama doa rakyat kecil masih mengalir untuknya, Bapak Aing akan tetap berdiri tegak — bukan karena kekuatan politik, tapi karena cinta dan keyakinan bahwa pemimpin harus hadir, dan ada bersama rakyatnya.–(****)

 

*). Penulis, pegiat budaya sunda tinggal di ujung Selatan Banten

Pos terkait