Oleh Rohendi, S.Pd., S.Par
KALEMBAK. Sebuah kata dalam bahasa Sunda yang memiliki arti terendam oleh air bah. Namun, bagi masyarakat pesisir Banten, terutama di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, kata Kalembak memiliki makna yang lebih dalam—sebuah pengingat akan tragedi maha dahsyat, meletusnya Gunung Krakatau pada 26-27 Agustus tahun 1883 silam.
Tradisi acara haul kalembak dimulai empat tahun setelah tragedi Krakatau. Setiap tanggal 24 Syawal atau 24 hari setelah perayaan Idul Fitri, warga berkumpul di Masjid Al-I’tihad—di tepi sungai yang mengarah langsung ke Selat Sunda, tempat tsunami dulu datang.
Masyarakat dengan sukarela datang membawa makanan seadanya: yang paling khas adalah bubur sop—bubur encer dengan irisan daun bawang, seledri, dan kalau ada, potongan ayam. Sederhana, tapi penuh makna. Sebab makanan ini adalah lambang kerelaan dan ketulusan, kenangan yang dibagi bersama, dalam sunyi dan syukur. ini dimulai empat tahun setelah tragedi Krakatau.
Nama-nama para korban dibacakan dalam doa. Tak jarang air mata jatuh perlahan. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena keinginan untuk menjaga kisah mereka tetap hidup. Dalam haul itu, para keturunan korban memohon agar arwah leluhur diterima dengan baik, dan agar generasi berikutnya dijauhkan dari bencana serupa.
Dulu, kabar haul disampaikan dari rumah ke rumah oleh para juru kabar yang memakai pakaian adat Sunda—bendo, sinjang, dan payung kebesaran. Kini, haul tetap berjalan meski zaman berubah. Tanpa diundang pun warga datang. Karena bagi mereka, ini bukan hanya tradisi. Ini adalah cara paling manusiawi untuk mengenang.
Di tengah zaman digital dan segala percepatan hidup, Haul Kalémbak tetap menjadi nadi budaya di Labuan. Tak lagi seramai dulu, mungkin. Tapi getaran batinnya tetap terasa, terutama bagi mereka yang tahu, bahwa dari abu bisa tumbuh akar. Dari kehilangan bisa lahir kekuatan.
Kini, Haul Kalémbak tengah diperjuangkan untuk masuk dalam daftar warisan budaya tak benda, sebagai bagian dari Geopark Nasional Ujung Kulon. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa melestarikan alam dan sejarah, jika kita tak menjaga ingatan dari mereka yang pernah menghadapinya langsung?
Jejak Tragedi Gunung Krakatau Meletus
Gunung Krakatau tak pernah benar-benar hilang dari ingatan. Ia bukan sekadar gunung berapi yang berdiri di Pulau Rakata, di antara Selat Sunda yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Ia adalah saksi bisu atas duka mendalam yang pernah melanda bangsa ini—satu dari tragedi paling mengerikan yang pernah terjadi di muka bumi.
Letusan Gunung Krakatau pada 26–27 Agustus 1883 bukan hanya mengguncang bumi, tapi juga mengguncang batin ribuan jiwa. Dentumannya terdengar hingga Sri Lanka, Karachi, Perth, bahkan Sydney.
Dunia pun dibuat terperangah. Langit menggelap oleh abu, suhu bumi menurun, dan iklim global berubah. Tapi bagi Banten dan Lampung—dua wilayah yang kala itu menjadi pusat kehidupan dan perniagaan—itu bukan sekadar kabar dari kejauhan. Itu adalah luka yang nyata, duka yang datang tiba-tiba dalam bentuk gelombang air raksasa dan batuan pijar.
Ketika Krakatau memuntahkan jutaan ton batu, magma, dan abu vulkanik yang menutupi area hingga 827.000 km², sebagian besar gunung itu ambruk ke laut. Tak lama, tsunami besar menyusul—tingginya mencapai 42 meter di pesisir Jawa Barat, 24 meter di selatan Sumatera. Gelombang itu membawa bukan hanya air, tapi batu karang seberat puluhan ton. Kampung-kampung tersapu bersih. Hutan-hutan rata dengan tanah. Dan manusia-manusia—ribuan di antaranya—lenyap tak bersisa, terkubur bersama cerita yang belum sempat selesai.
Pulau Sebesi, yang hanya berjarak 13 kilometer dari pusat letusan, kehilangan seluruh penduduknya. Sekitar 3.000 orang tewas tanpa sempat menyelamatkan diri. Di Ketimbang (kini Desa Banding, Rajabasa, Lampung Selatan), hujan abu panas menewaskan 1.000 orang. Menurut catatan resmi Hindia Belanda, total korban mencapai 36.417 jiwa. Tapi ada pula yang menyebut jumlahnya jauh lebih besar: lebih dari 120.000 orang.
Semoga tak ada lagi dentuman sekeras itu. Semoga tak ada lagi gelombang setinggi itu. Dan semoga kita tetap mengingat, dengan cara yang paling manusiawi: mengenang, mendoakan, dan meneruskan kisahnya. Rahayu. Dari Labuan, untuk dunia. —(red)
*) Penulis adalah seorang budayawan, pembina sanggar seni Ciwasiat dan pejabat di Dinas Pariwisata Provinsi Banten,