100 Hari Tanpa Arah: Gubernur Banten Andra Soni Gagal Menjawab Amanah Rakyat

Hakiki Hakim

Oleh: Hakiki Hakim 

(Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik)

SERATUS hari pemerintahan Andra Soni sebagai Gubernur Banten bukanlah awal yang menjanjikan. Sebaliknya, ini justru menjadi potret suram kepemimpinan yang kehilangan arah, kendali, dan komitmen etis terhadap janji perubahan. Alih-alih membenahi tata kelola pemerintahan, Andra Soni malah terseret dalam arus pragmatisme politik yang menempatkan loyalitas di atas kompetensi.

Bacaan Lainnya

Hingga hari ini, Provinsi Banten belum memiliki Sekretaris Daerah (Sekda) definitif. Kondisi ini secara struktural melumpuhkan koordinasi antarperangkat daerah. Fakta bahwa berkas seleksi Sekda dikembalikan oleh Kementerian Dalam Negeri karena dinilai cacat etik merupakan tamparan keras terhadap kredibilitas panitia seleksi—dan tentu saja menjadi tanggung jawab penuh gubernur sebagai pengambil keputusan akhir. Di sinilah akar krisis itu berada: manajemen talenta yang diabaikan, meritokrasi yang dikorbankan, dan praktik transaksional yang semakin mencolok.

Sebanyak 14 jabatan eselon II hingga kini masih dijabat oleh pelaksana tugas (Plt), bahkan puluhan kepala bidang strategis dibiarkan kosong. Birokrasi provinsi seperti berjalan dengan kaki pincang. Ini bukan sekadar disfungsi administratif, melainkan kelumpuhan sistemik akibat ketidakmampuan gubernur mengeksekusi hak prerogatifnya secara visioner dan bertanggung jawab.

Stagnasi struktural ini berdampak langsung pada tersendatnya proyek-proyek pembangunan prioritas. Contoh paling nyata adalah kisruh Rumah Sakit Cilograng di Kabupaten Lebak, yang hingga kini masih kekurangan tenaga medis dan sarana pendukung. Proyek yang semula dijanjikan sebagai ikon pelayanan kesehatan daerah perbatasan, kini tak lebih dari proyek mangkrak yang menyedot anggaran tanpa hasil.

Lebih jauh, janji efisiensi anggaran yang didengungkan Andra Soni saat kampanye kini terbukti ilusi. Tidak ada pemangkasan anggaran siluman, tidak ada transparansi belanja APBD, dan tidak ada reformasi nyata dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Bahkan, laporan masyarakat terkait dugaan korupsi di Sekretariat DPRD (Setwan) Banten telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini menjadi indikator bahwa praktik busuk anggaran tetap lestari di balik jargon “perubahan”.

Ironisnya, dalam situasi genting seperti ini, Plt Kepala Dinas Pendidikan justru membuat pernyataan diskriminatif yang menyebut warga Tangerang sebagai “kampungan”. Komentar ini bukan hanya mencederai etika kepemimpinan publik, tetapi juga menunjukkan arogansi birokrasi yang seolah kebal dari evaluasi dan disiplin. Anehnya, Gubernur Andra Soni memilih bungkam—seolah lebih nyaman dalam diam ketimbang bersikap sebagai pemimpin yang tegas menegakkan norma publik.

Ketiadaan cetak biru pembangunan, nihilnya peta jalan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, serta tidak adanya indikator kinerja yang terpublikasi membuat publik bertanya-tanya: apa sebenarnya yang dikerjakan Andra Soni selama 100 hari ini? Banten seolah dikemudikan tanpa kompas, tanpa arah, dan tanpa tanggung jawab moral.

Kegagalan ini bukan sekadar persoalan teknokrasi, tetapi menyangkut etika kepemimpinan. Ketika kekuasaan tidak ditujukan untuk melayani rakyat, yang muncul adalah stagnasi birokrasi, matinya inovasi, dan menguatnya elitisme politik yang anti-kritik. Gubernur Andra Soni harus sadar bahwa jabatan adalah kontrak sosial, bukan privilese kekuasaan.

Sebagai pemerhati kebijakan publik dari Lebak, saya menyatakan dengan tegas: 100 hari ini adalah kegagalan total. Bukan karena terlalu cepat menilai, melainkan karena dalam waktu singkat inilah karakter kepemimpinan diuji. Dan Andra Soni telah gagal membuktikan kapasitas, keberanian, dan konsistensi dalam menunaikan amanat rakyat Banten.

Sudah saatnya masyarakat Banten bersuara lebih lantang. Demokrasi tidak berjalan dengan kesabaran buta. Rakyat tidak butuh pemimpin yang sibuk merias citra; yang dibutuhkan adalah tindakan nyata, arah yang jelas, dan kebijakan yang berpihak. Jika Gubernur tidak segera merespons kritik dengan perubahan nyata, maka rakyat punya hak moral dan politik untuk mengoreksi, bahkan menggugat pemerintahan ini secara terbuka.

Jika awalnya saja sudah limbung, jangan salahkan rakyat bila pada akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil kembali mandat yang pernah mereka berikan.-(***)

*). Penulis tinggal di Lebak, Banten

Pos terkait