Refleksi Idul Qurban: Menghidupkan Kembali Jiwa Pengorbanan di Tengah Dunia yang Serakah

H. Edi Murpik

Oleh: Edi Murpik

Hari ini, Jumat 6 Juni 2025,  umat Islam tengah merayakan Idul Adha atau Idul Qurban. Suara takbir dan tahmid  menggema dari masjid ke masjid.  Anak-anak bersorak riang melihat hewan; domba, sapi, kerbau, yang diikat di halaman masjid, untuk di potong sebagai qurban, yang dagingnya akan diberikan kepada tetangga, terutama kaum fakir  dan dhu’afa.

Bacaan Lainnya

Daging kurban yang dibagikan ke rumah-rumah para dhu’afa adalah simbol semangat pengorbanan, semangat kepedulian dengan sesama. Sebuah pengorbanan dari jiwa yang ikhlas, dari hambanya kepada Allah SWT.

Bahwa kebaikan itu harus menjangkau yang terpinggirkan. Bahwa anak bangsa hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang saling menguatkan. Bayangkan jika semangat berkorban itu menular ke ranah pendidikan: betapa banyak anak Indonesia bisa menggapai cita-citanya jika para pemimpin, pengusaha, dan masyarakat bersedia mengikhlaskan sebagian harta dan waktunya untuk mencerdaskan bangsa. Bayangkan jika semangat qurban itu tumbuh dalam dunia birokrasi dan politik: berapa banyak keputusan yang lebih adil, jujur, dan berpihak kepada rakyat kecil yang bisa lahir?

Idul Adha memang selalu begitu: meriah, semarak, tapi juga penuh makna. Di balik perayaan itu, tersimpan kisah agung tentang keikhlasan dan pengorbanan—kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, yang menjadi simbol cinta sejati kepada Tuhan dan kemanusiaan.

Hari di mana kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, mengajarkan kepada dunia bahwa puncak cinta kepada Tuhan adalah kesediaan melepaskan apa yang paling dicintai, demi ketaatan dan kemaslahatan.

Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Kisah itu bukan sekadar dongeng spiritual. Ia adalah nyala obor moral yang menuntun manusia untuk menjadikan keikhlasan dan pengorbanan sebagai fondasi dalam kehidupan sosial. Bahwa cinta sejati kepada Tuhan tak pernah menjauhkan kita dari kemanusiaan. Justru, ia menuntun kita untuk lebih peduli, lebih memberi, lebih membersamai sesama.

Era Digital: Kecepatan Meninggalkan Kepedulian

Namun, sayangnya semangat Idul Qurban seringkali hanya tertinggal dalam takbir malam itu. Kita hidup di era globalisasi dan digitalisasi yang menggiring manusia pada individualisme ekstrem. Dalam dunia yang berlomba menjadi yang tercepat, terkaya, dan terpopuler, nilai keikhlasan menjadi barang langka. Amal kebaikan kini sering dikalkulasi, untuk sebuah kepentingan sesaat.

Kita menyaksikan, di banyak tempat, kepentingan pribadi dan kelompok lebih dikedepankan daripada kemaslahatan bersama. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa jeda. Hutan ditebangi, gunung dikuliti, laut dicemari—semuanya demi menumpuk pundi-pundi kekayaan yang tak jarang hanya dinikmati segelintir orang.

Lalu ketika hujan turun, banjir menelan rumah warga. Ketika kemarau tiba, tanah retak dan anak-anak menangis kehausan. Seolah kita lupa bahwa bumi bukan warisan nenek moyang yang bebas dieksploitasi, tetapi titipan Tuhan yang harus dirawat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya dunia ini adalah manis dan hijau (penuh kenikmatan). Dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian khalifah di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR. Muslim)

Qurban: Menyemai Kepedulian, Menumbuhkan Peradaban

Idul Adha seharusnya menjadi pengingat bahwa peradaban besar tidak dibangun oleh keserakahan, tetapi oleh semangat pengorbanan. Daging kurban yang dibagikan ke rumah-rumah dhuafa adalah simbol bahwa kebaikan itu harus menjangkau yang terpinggirkan. Bahwa anak bangsa hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang saling menguatkan.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)

Ayat ini menegaskan bahwa inti dari qurban bukan sekadar ritual menyembelih, tapi kesadaran akan nilai ketaqwaan: rela memberi, ikhlas melepaskan, dan tidak tamak terhadap dunia.

Di tengah dunia yang semakin serakah, Idul Qurban adalah oase yang menyejukkan. Ia mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang “aku” dan “kami”, tapi tentang “kita”. Anak-anak bangsa di pelosok negeri menanti kepedulian. Alam semesta menangis minta dirawat. Dunia butuh lebih banyak orang seperti Ibrahim—yang rela melepaskan demi kebenaran, dan seperti Ismail—yang tabah dalam ketaatan.

Saatnya kita bertanya dalam hati: Sudahkah kita berqurban hari ini—bukan hanya kambing atau sapi, tetapi ego kita, kemalasan kita, keengganan kita untuk peduli?

Semoga Idul Adha ini menjadi titik balik. Dari dunia yang mementingkan diri sendiri menuju masyarakat yang berbagi. Dari kerakusan menuju keberkahan. Dari keserakahan menuju ketaqwaan.–

Wallahu a’lam bish-shawab.-

*). Penulis, Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten, tinggal di Malingping, ujung selatan Banten

Pos terkait