“Goblok” di Tengah Duka: Ketika Etika Diperdebatkan, Rakyat Masih Terlunta di Huntara

“Goblok” di Tengah Duka: Ketika Etika Diperdebatkan, Rakyat Masih Terlunta di Huntara
H. Edi Murpik

Oleh: H. Edi Murpik

“Goblok.” Satu kata kasar, penuh emosi, yang tiba-tiba menjadi bahan perbincangan hangat di Banten pada pekan-pekan terakhir Mei 2025. Kata itu terlontar dari mulut seorang anggota DPRD Banten, di hadapan ratusan warga Kampung Cigobang, Desa Banjarsari, Kecamatan Lebak Gedong— yang sudah  lima tahun hidup di tanah Hunian Sementara (Huntara),  menanti kepastian Hunian Tetap (Huntap) yang tak kunjung datang.

Bacaan Lainnya

Lima tahun lalu, di awal kalender pergantian tahun 2020, banjir bandang dan longsor memporak-porandakan Desa Banjarsari, Lebak Gedong. Kini, ratusan kepala keluarga (KK) masih bertahan di tenda-tenda darurat di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Waktu terus berjalan, tapi rumah permanen di kawasan hunian tetap  (Huntap) yang dijanjikan pemerintah tak kunjung menjadi nyata.

Asep Awaludin, anggota DPRD Banten dari Fraksi NasDem, datang berkunjung ke lokasi Huntara, Rabu, 14 Mei 2025. Ia tak hanya menyalami warga dan mendengar keluh kesah mereka—ia menginap di sana, merasakan malam yang dingin dan kenyataan yang getir. Dalam kekesalannya, ia mengucapkan kata yang menggegerkan itu: “Goblok.”

“Tidak ada lagi kata yang pantas selain ‘goblok’, kalau sudah lima tahun bencana berlalu dan pemerintah tidak becus menyelesaikan nasib masyarakat,” ujarnya lantang.

Bagi sebagian orang, kata itu terlalu kasar. Tidak elok diucapkan seorang wakil rakyat. Tapi bagi banyak warga Lebak, yang saban hari hidup dalam ketidakpastian, kata itu justru mewakili rasa frustrasi yang selama ini dipendam dalam diam.

Asep kemudian mengunggah video berdurasi empat menit di TikTok @kang_asep.aw, memperlihatkan kesedihannya atas nasib warga: “Berarti Indonesia aya ieu, euweuh gunana. Betul tidak?. Jadi bangsa kita itu, bangsa apa ini?  Negara kita itu tidak ada manfaatnya buat anak-anak kecil. Namun lima tahun itu, tidak ada apa-apanya.”  Tutur asep.

“Tapi saya membaca situasi di Provinsi Jabar. Di Jabar itu, sudah selesai ternyata sudah empat tahun yang lalu. Berarti pemerintah provinsi, kabupaten atau  pemerintah pusat yang goblok. “Goblok saja. Betul tidak?, Setuju tidak?.

Bukan tanpa sebab ia berkata begitu. Bukan pula semata mencari sensasi. Asep sebagai anggota Legislatif di DPRD Banten adalah bagian dari sistem itu sendiri. Dengan kata tersebut, sesungguhnya  ia sekaligus sedang menggugat dirinya, menggugat lembaganya, dan sistem yang membuat warga korban banjir menanti dalam ketidakpastian. Mereka hidup menderita di tengah Huntara, di atas tanah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) milik negara.

Tanah yang kini warga tempati dengan status di Huntara  adalah tanah negara, wilayah konservasi. Warga,  tidak bisa tinggal di sana selamanya. Tapi relokasi ke hunian tetap (huntap) entah kapan pemerintah merealisasi. Sampai hari ini masih sebatas janji. Penyelenggara negara yang hadir kelokasi terdampak justru kerap datang dalam bentuk formalitas dan pidato, terbelenggu oleh sistem birokrasi—bukan dalam wujud rumah layak huni dan masa depan yang pasti.

Etika dan Rasa Kemanusiaan

Pernyataan Asep tak luput dari kritik. Musa Weliansyah, sesama anggota DPRD dari Fraksi PPP, menilai ucapan itu tidak etis dan mencoreng nama baik pemerintah daerah. Ia melaporkan Asep Awaludin ke Badan Kehormatan Dewan.

“Saya tidak ada masalah pribadi atau politik. Tapi saya kecewa karena seolah-olah pemerintah tidak berbuat apa-apa, padahal kami sudah berjuang sejak awal,” ujarnya kepada Tribunnews.com, 16 Mei 2025.

Tapi, di balik kontroversi kata, ada kenyataan yang jauh lebih menyakitkan—ratusan keluarga masih hidup tanpa kepastian, di tenda-tenda darurat, bertahan di tanah yang tak bisa mereka miliki. Sementara itu, konstitusi kita, tepatnya Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Lalu, untuk siapa negara ini hadir? Untuk siapa kekayaan alam ini dikelola? Pertanyaan itu menggantung di udara, menggema di sela-sela dinding huntara yang rapuh.

Refi Rizali, seorang pemuda asal Selatan Lebak, angkat suara. Baginya, ukuran etika bukan hanya pada kata-kata. “Kalau etika dimaknai sebagai kebiasaan dan diukur dari kepantasan publik, maka yang tidak beretika adalah pejabat yang diam dan bungkam ditengah kesengsaraan rakyat,” katanya, seperti ditulis iNewsLebak.id, 18 Mei 2025.

Etika, dalam situasi krisis, bukan soal sopan santun dalam retorika politik. Etika adalah keberanian mengambil sikap, memilih berpihak kepada yang menderita, dan bertindak nyata. Etika adalah empati yang diwujudkan, bukan sekadar dikhotbahkan.

Janji Pusat dan Harapan Warga

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT), Yandri Susanto, turut memberikan tanggapan. Ia mengaku belum mendalami masalah Cigobang secara menyeluruh, tetapi menyatakan akan mencari solusi.

“Situasi seperti ini membutuhkan kolaborasi antara kementerian dan pemerintah daerah. Saya akan cari data detail terlebih dahulu,” kata Yandri di Serang, 16 Mei 2025.

Yandri juga menyayangkan ucapan “goblok”.  Namun di saat yang sama menekankan pentingnya kerja sama. Tapi ironi muncul di sini: seringkali, yang lebih dipermasalahkan adalah bahasa orang yang marah—bukan alasan mengapa ia harus marah.

Warga Lebak Gedong yang kini menetap di Huntara tidak butuh pidato panjang soal etika. Mereka butuh rumah. Mereka butuh kehadiran nyata dari negara. Jika kemarahan atas penderitaan rakyat dianggap tidak sopan, maka diam dihadapannya jauh lebih menyakitkan. Karena di titik ini, yang rakyat butuhkan bukanlah siapa yang santun dalam bertutur kata, tetapi siapa yang paling cepat dan bisa membuat keputusan agar persoalan tidak terus menggantung tanpa kejelasan.—(***)

*). Penulis  adalah Pegiat Budaya, Pengurus Paguyuban Pasundan di Banten,  dan Dewan Pembina Satria Banten (PPBNI), tinggal di Malingping, Selatan Banten

Pos terkait