KDM bermain Lumpur Bersama Anak-Anak di Sawah: Filosofi Belajar dari Ayat Kauniyah

KDM - GubernurJawa Barat, yang akrab di sapa "Bapa Aing" tengah bermain lumpur bersama anak-anak desa di sawah.--(foto: kdm)

Oleh: H. Edi  Murpik

 

Bacaan Lainnya

DI TENGAH riuhnya dunia digital, ada sebuah pemandangan yang hangat dan langka dari Kampung Pakuan, Subang, Jawa Barat. Bukan kabar peresmian proyek, bukan pula agenda formal kenegaraan. Tapi tentang seorang pemimpin, Dedi Mulyadi (KDM) yang akrab di sapa Bapak Aing Gubernur Jawa Barat – tengah bermain lumpur di sawah bersama anak-anak, mengajarkan untuk  mengaji ayat kauniyah.

Hari itu, sawah yang baru diolah di Kampung Pakuan menjadi arena bermain dengan tawa dan kebersamaan. KDM dengan celana tergulung dan baju yang tak lagi bersih, berlarian di tengah lumpur bersama anak-anak. Bukan pencitraan, bukan sekadar konten media sosial. Yang tampak adalah seorang pemimpin yang benar-benar larut dalam permainan, tertawa lepas, berbaur tanpa jarak.

“Pak Gubernur kena lumpur! Hahaha!” teriak Egi, bocah desa yang larinya kencang sekali, menghindari kejaran sang gubernur yang juga tertawa bahagia.

Momen itu sederhana. Tapi di balik kesederhanaannya, tersembunyi makna yang dalam. Sebuah pelajaran yang mungkin tak akan didapat di dalam kelas atau di balik layar gadget.

Dalam pandangan John Dewey, tokoh besar pendidikan progresif, belajar sejati lahir dari pengalaman langsung. Anak-anak tidak bisa tumbuh hanya dengan mendengar, mereka harus mengalami. Dunia adalah ruang kelas terbesar, dan sawah yang becek itu adalah laboratorium kehidupan—tempat anak-anak belajar kebersamaan, kerja keras, dan menyatu dengan alam.

KDM yang akrab di sapa “Bapa Aing” tengah bermain lumpur bersama anak-anak desa di sawah.–(foto: kdm)

Dewey percaya bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia. Ia menolak sekolah yang menjauhkan anak dari kehidupan nyata. Dan hari itu, di tengah sawah, KDM tampak sedang mewujudkan visi itu: menghadirkan pendidikan yang hidup, riil, dan membumi.

Di zaman ketika anak-anak lebih akrab dengan layar sentuh ketimbang tanah, momen seperti ini terasa langka. Banyak dari mereka tak lagi tahu bau lumpur basah, atau bagaimana rasanya melihat benih padi tumbuh dari dekat. Mereka terpisah dari akar, dari alam, dan dari realitas yang membentuk kehidupan sesungguhnya.

KDM  sepertinya ingin mengajak kita:“Mari kita ajak anak-anak untuk lebi mengenal dunia, mengenal alam jagat raya. Kita ajarkan anak-anak untuk belajar  memahami ayat kauniyah, ayat yang terhampar di alam jagat raya,”.

Ayat kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang terdapat di alam semesta. Melalui ciptaan-Nya, manusia diajak berpikir dan mengambil pelajaran. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (QS. Ali Imran: 190)”.

Dalam Surah Ibrahim, Allah SWT mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa  yang tersebar  di alam jagat raya.  Kita diminta untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Salah satu ayat yang berkaitan dengan tadabbur (perenungan) adalah:“Alam tara kaifa daraba Allahu matsalan kalimatan thayyibatan kasyajaratin thayyibah, ashluhaa tsaabitun wa far’uhaa fis-samaa’. Artinya; “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit,” (QS. Ibrahim: 24).

Ayat ini mengajak manusia untuk merenungi perumpamaan yang Allah sampaikan. Melalui tadabbur, seseorang akan memahami bahwa iman yang kokoh seperti pohon kuat yang menebar manfaat. Ini menunjukkan pentingnya berpikir dalam-dalam atas pesan-pesan Al-Qur’an, tidak sekadar membaca tanpa makna.

Permainan itu ditutup dengan tawa bersama. KDM – Sang gubernur – kini penuh lumpur, berendam di selokan sawah dengan airnya yang mengalir cukup beras. Anak-anak menyiram kepala KDM yang penuh lumpur dengan air bersih, seolah membilas sisa-sisa rutinitas birokrasi. “Wah, ini spa ala sawah,” canda KDM sambil mengusap wajah.

Hari itu, bukan hanya anak-anak yang belajar. Kita pun diingatkan, bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai di rapor atau hafalan di kepala. Pendidikan sejati adalah ketika pemimpin mau hadir, kotor bersama, dan mengajarkan lewat contoh.

KDM bukan guru di kelas. Tapi ia mengajarkan banyak hal: tentang keberanian menjadi sederhana, tentang pentingnya pengalaman langsung, dan tentang sikap seorang pemimpin. Karena terkadang, pelajaran paling penting tidak datang dari podium—tapi dari sawah yang basah, lumpur yang lengket, dan tawa anak-anak yang jujur.—(***)

 

*). Penulis pegiat budaya tinggal di Malingping, ujung Selatan Banten

 

Pos terkait